Peringkat Utang dan Prospek Ekonomi: Two Different Things

Lembaga pemeringkat internasional Standard & Poor’s (S&P) pada 21 Mei 2015 meningkatkan prospek peringkat utang Indonesia dari “stabil” menjadi “positif”. Peringkat utang Indonesia saat ini menurut S&P adalah ‘BB+’: Considered highest speculative grade by market participants.

Banyak pihak menganggap perubahan atau peningkatan status peringkat utang ini menunjukkan keyakinan dunia internasional terhadap prospek ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, peningkatan status ini diharapkan dapat menarik investor berinvestasi di Indonesia.

Di tengah-tengah kondisi ekonomi yang sedang menurun, perubahan peringkat ini cukup mengejutkan. Karena ada persepsi di masyarakat bahwa peningkatan peringkat utang dari suatu negara mengindikasikan ekonomi akan membaik. Banyak pihak kemudian bertanya-tanya, apakah benar ekonomi Indonesia dalam waktu dekat ini akan menjadi lebih baik? Harian Kompas pada 22 Mei 2015 juga menurunkan tulisan di halaman 1 dengan judul “Ketahanan Perekonomian Indonesia Diakui”. Padahal, peningkatan peringkat utang sama sekali tidak ada kaitannya dengan prospek ekonomi. Peringkat utang hanya mencerminkan tingkat kemampuan bayar atas utang-utang yang diterbitkan (oleh suatu perusahaan/negara), dan memengaruhi tingkat suku bunga pinjaman.

S&P secara eksplisit mengatakan (dikutip dari laman S&P) bahwa peringkat utang bukan merupakan rekomendasi beli atau investasi, tetapi lebih menunjukkan tingkat relatif kemampuan bayar dari penerbit utang (kreditor):


While investors may use credit ratings in making investment decisions, Standard & Poor’s ratings are NOT indications of investment merit. In other words, the ratings are not buy, sell, or hold recommendations, or a measure of asset value. Nor are they intended to signal the suitability of an investment. They speak to one aspect of an investment decision—credit quality—which in some cases, may include our view of what investors can expect to recover in the event of default.

In evaluating an investment, investors should consider, in addition to credit quality, the current make-up of their portfolios, their investment strategy and time horizon, their tolerance for risk, and an estimation of the security's relative value in comparison to other securities they might choose.

Yang dimaksud dengan investment decisions adalah keputusan investasi pada surat utang (dalam hal ini, surat utang negara), bukan keputusan investasi pada sektor riil atau sektor-sektor lainnya. Dengan kata lain, peringkat utang tidak ada hubungannya sama sekali dengan prospek ekonomi.

Instead, ratings express relative opinions about the creditworthiness of an issuer or credit quality of an individual debt issue, from strongest to weakest, within a universe of credit risk. The likelihood of default is the single most important factor in our assessment of creditworthiness.

For example, a corporate bond that is rated ‘AA’ is viewed by Standard & Poor’s as having a higher credit quality than a corporate bond with a ‘BBB’ rating. But the ‘AA’ rating isn’t a guarantee that it will not default, only that, in our opinion, it is less likely to default than the ‘BBB’ bond.

Perubahan prospek peringkat utang Indonesia dari “stabil” menjadi “positif” ini hanya dikarenakan oleh satu faktor penting saja, yaitu penghapusan “subsidi BBM” yang mana dipercaya dapat memperkuat keuangan negara serta meningkatkan kemampuan pemerintah membayar utang-utangnya. Dengan kata lain, penghapusan “subsidi BBM” dipercaya akan mengurangi risiko default utang pemerintah Indonesia.

Sedangkan apa dampak pengurangan subsidi BBM terhadap kehidupan masyarakat dan ekonomi nasional, sama sekali tidak tercermin pada, atau di luar ruang lingkup, peringkat utang tersebut. Apakah penghapusan subsidi BBM meningkatkan inflasi dan tingkat kemiskinan, sama sekali tidak asa hubungannya dengan credit ratings.

Peringkat utang Indonesia saat ini seharusnya jauh lebih baik dari peringkat yang sekarang diberikan oleh S&P, yaitu ‘BB+’, bahkan dapat mencapai setidak-tidaknya ‘AA’: Very strong capacity to meet financial commitments. Alasannya, tingkat utang pemerintah Indonesia hanya sekitar 26 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) (pada 2013), sehingga masuk kategori sangat sehat sekali. Bahkan pada 2012 rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB hanya 24,03 persen. (Secara konsensus disepakati batas aman rasio utang negara terhadap PDB adalah sekitar 60 persen).

Bandingkan dengan Spanyol yang memperoleh peringkat utang BBB (dengan prospek “stabil”), dua peringkat di atas Indonesia, dengan rasio utang yang mencapai 97,7 persen dari PDB (pada 2014). Atau bandingkan dengan Italia yang memperoleh peringkat utang ‘BBB-‘ dengan prospek “stabil”, satu peringkat di atas Indonesia, dengan rasio utang sebesar 132,1 persen dari PDB.

Malaysia yang mempunyai rasio utang sebesar 54,8 persen dari PDB (pada 2013) juga dapat memperoleh peringkat utang ‘A-‘ dengan prospek “stabil”, tiga peringkat di atas Indonesia. Padahal, pemerintah Malaysia ketika itu, 2013, juga memberi subsidi BBM kepada rakyatnya.

Jadi, sudah sejak lama peringkat utang pemerintah Indonesia seharusnya masuk kategori baik dan layak investasi. Tetapi, ekonomi Indonesia sejak 2011 menunjukkan tren penurunan dengan tingkat pertumbuhan 6,49 persen (2011), 6,23 persen (2012), 5,78 persen (2013) dan 5,01 persen (2014).

Perubahan prospek peringkat utang Indonesia ‘BB+’ dari “positif” menjadi “stabil” tidak berarti mengindikasikan prospek perekonomian Indonesia akan menjadi lebih baik.

Sekali lagi: Peringkat utang dan prospek ekonomi merupakan dua hal yang berbeda.

--- 000 ---

Comments

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial