Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Pada tulisan sebelumnya dengan judul “Ini Alasannya Mengapa Ekonomi Pertanian Terpuruk Untuk Jangka Panjang” (lihat: http://bit.ly/1D9RMum) dijelaskan bahwa produktivitas sektor pertanian, yaitu output per hektar, pada prinsipnya stagnan dari tahun ke tahun, bahkan cenderung menurun, kecuali ada terobosan inovasi teknologi baru yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman secara signifikan. Dan biasanya inovasi teknologi dimaksud memerlukan waktu yang panjang, dan setelah itupun peningkatan produktivitas akan stagnan lagi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) produktivitas padi selama periode 1993-2013 (= 20 tahun) hanya naik 0,82 persen rata-rata per tahun. Lihat kolom D, baris 21, tabel 1.
Tabel 1: Produktivitas Produksi Tanaman Padi Indonesia versus Inflasi: 1993-2013
Sumber: BPS - diolah

Peningkatan produktivitas ini sangat penting bagi petani karena pendapatan (nominal) petani akan meningkat sebesar peningkatan produktivitas tersebut (dengan asumsi luas lahan tanaman dan laba usaha tani padi (= nilai jual hasil tani – harga pokok tani) tidak berubah). Namun, apabila terjadi inflasi yang lebih tinggi dari peningkatan produktivitas, maka pendapatan petani secara riil malah turun. Artinya, meskipun pendapatan nominal naik karena ada peningkatan produktivitas, tetapi pendapatan riil turun karena termakan inflasi yang tinggi. Artinya, daya beli petani turun.

Selama periode 1993-2013, inflasi rata-rata per tahun mencapai 11,3 persen. Lihat kolom E, baris 21, tabel 1.

Berdasarkan data ini dapat disimpulkan bahwa pendapatan riil petani mengalami kemunduruan yang luar biasa selama periode 1993-2013 karena, produktivitas tanaman padi hanya meningkat rata-rata 0,82 persen per tahun, sedangkan inflasi mencapai rata-rata 11,3 persen per tahun. Kalau tidak ada peningkatan laba usaha tani, maka pendapatan riil petani turun drastis tergerogoti inflasi.

Selama periode 1993-2013, pendapatan rill petani Indonesia turun 10,48 persen per tahun (11,3 persen - 0,82 persen), dengan catatan laba usaha tani selama periode ini konstan.

Dampak penurunan daya beli sebesar 10,48 persen per tahun selama 20 tahun sangat lur biasa. Sebagai ilustrasi, kalau pendapatan riil petani pada 1993 sebesar Rp 1.000.000, dengan penurunan 10,48 persen berarti pendapatan riil petani tahun 1994 menjadi Rp 895.400. Dengan laju penurunan 10,48 persen per tahun selama 20 tahun maka pada akhir tahun 2013 pendapatan riil petani menjadi Rp 109.734. Artinya, daya beli petani pada 2013 merosot tajam menjadi tinggal 10,97 persen saja dibandingkan dengan 1993. Lihat tabel 2.
Tabel 2: Ilustrasi Penurunan Pendapatan Riil Rata-rata 10,48 persen per Tahun

Inilah alasannya, mengapa petani menjadi miskin dalam jangka waktu panjang: peningkatan produktivitas jauh lebih rendah daripada inflasi.

Meningkatkan Kesejahteraan Petani
Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk membantu petani keluar dari kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan petani adalah dengan cara meningkatkan laba usaha tani padi, yaitu dengan menaikkan harga jual gabah petani dan/atau menekan biaya usaha (biaya pupuk, pestisida, dan lainnya). Untuk mempertahankan daya beli petani padi selama periode 1993-2013, laba usaha tani padi harus naik rata-rata 10,48 persen per tahun selama 20 tahun, sesuai dengan penurunan daya beli petani seperti diuraikan di atas. Untuk meningkatkan kesejahteraan petani, maka kenaikan laba usaha tani padi harus lebih besar dari 10.48 persen per tahun selama 20 tahun. Apakah mungkin?

Baca juga: 
http://bit.ly/1ilY1gA: solusi mengatasi ketahanan pangan dan kesejahteraan petani.

--- 000 ---


Comments

Popular posts from this blog

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial