Monopoli (Negara) Pada Perdagangan Bensin Premium: Melanggar UU Larangan Praktik Monopoli?
Untuk meningkatkan kemampuan keuangan negara, atau istilah
akademisnya meningkatkan ruang gerak fiskal, pada 18 November 2014 pemerintah
menaikkan harga BBM “bersubsidi” jenis premium dan solar sehingga dapat mengurangi atau
bahkan menghapus pengeluaran negara terkait “subsidi” BBM. Kebijakan ini
membuat harga bensin premium naik dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 per liter,
sedangkan solar naik dari Rp 5.500 menjadi Rp 7.500 per liter. Kenaikan harga
BBM tersebut dilakukan ketika harga minyak mentah dunia sedang mengalami
penurunan yang sangat signifikan. Alhasil, bensin premium bukan saja tidak “disubsidi”
lagi oleh pemerintah, tetapi harga setelah kenaikan tersebut, yaitu Rp 8.500
per liter, sudah diatas harga keekonomiannya. Artinya, dengan harga tersebut
pemerintah, atau melalui badan usaha yang ditunjuk (Pertamina), sudah memperoleh laba yang diistilahkan dengan subsidi minus. Hal ini juga diakui oleh pemerintah melalui Peraturan Presiden No 191 Tahun 2014 yang
menjelaskan bahwa bensin premium sudah tidak “disubsidi” lagi. Dengan kata
lain, harga bensin premium akan fluktuatif mengikuti perkembangan harga pasar
minyak mentah dunia. Tetapi, mekanisme pembentukan harga bensin premium akan
ditetapkan oleh pemerintah, setidak-tidaknya setiap satu bulan sekali, dengan
mengacu pada perkembangan harga minyak mentah dunia.
Penetapan Harga Bensin
Premium dan Harga Minimum
Pada 1 Januari 2015 pemerintah memutuskan untuk menurunkan
harga bensin premium dari Rp 8.500 menjadi Rp 7.600 per liter mengikuti tren
penurunan harga minyak mentah dunia. Kemudian, pada 19 Januari 2015 pemerintah
kembali menurunkan harga bensin premium menjadi Rp 6.600 per liter, karena
ternyata penurunan harga minyak mentah dunia masih berlanjut. Meskipun
demikian, harga premium yang sudah turun tersebut masih di atas harga
keekonomiannya. Artinya, dengan harga yang sudah turun tersebut pemerintah masih
memperoleh laba. Oleh karena itu, pemerintah, dalam hal ini, dapat dikatakan sudah
beralih fungsi menjadi pelaku usaha dengan motif menetapkan harga bensin
premium untuk memperoleh laba.
Mengingat harga minyak mentah dunia yang masih tidak menentu,
tetapi cenderung melemah, pemerintah mewacanakan menerapkan harga minimum untuk
bensin premium. Artinya, harga bensin premium tidak akan turun lebih rendah
dari harga minimum tersebut meskipun harga minyak mentah dunia anjlok lagi.
Sebagai contoh, apabila harga minimum bensin premium ditetapkan Rp 6.600 per
liter, maka harga tersebut tidak akan turun dari harga minimum tersebut meskipun
harga minyak mentah dunia anjlok menjadi 30 dolar AS per barel. Oleh karena
itu, ketika harga minyak dunia turun terus, maka pemerintah akan memperoleh
laba yang sangat luar biasa besarnya karena harga bensin premium tidak akan
diturunkan lagi ketika sudah mencapai harga minimumnya.
Tata Kelola
Perdagangan Bensin Premium: Monopoli Negara
Setelah harga bensin premium tidak “disubsidi” lagi oleh
pemerintah sejak 18 November 2014 maka tata kelola perdagangan bensin premium
seharusnya dilepas mengikuti mekanisme pasar, seperti yang terjadi pada tata
kelola perdagangan BBM sejenis pertamax (RON92) dan pertamax plus (RON95) yang
terbuka bagi setiap pelaku usaha, meskipun saat ini praktis hanya dikuasai oleh
tiga (3) perusahaan saja: Pertamina, Shell dan Total.
Tetapi, apa yang terjadi tidak seperti itu. Tata kelola
perdagangan bensin premium saat ini dikuasai oleh negara (pemerintah, melalui badan usaha yang ditunjuk: Pertamina), alias
dimonopoli oleh negara. Seperti kita ketahui, kekuatan monopoli dapat
menentukan harga jual setinggi-tingginya sehingga pelaku monopoli dapat
memperoleh laba abnormal. Dan, hal ini yang juga terjadi pada perdagangan
bensin premium yang sudah tidak “disubsidi” lagi. Ketika pada akhir tahun 2014 harga
minyak mentah dunia anjlok sekitar 50 persen dibanding harga tertingginya pada
Juni 2014, pemerintah pada 1 Januari 2015 hanya menurunkan harga bensin premium
dari Rp 8.500 menjadi Rp 7.600 per liter, atau sekitar 10,5 persen saja. Pertanyaannya
adalah, apakah harga Rp 7.600 per liter ini tidak mengandung abnormal profit akibat praktik monopoli
oleh negara?
Undang-Undang Tentang
Larangan Praktik Monopoli
Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang No 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang pada
prinsipnya melarang praktik monopoli, yaitu penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Praktik
perdagangan bensin premium setelah tidak “disubsidi” lagi jelas masuk kategori
monopoli yang dilakukan oleh negara yang, dalam hal ini, telah beralih fungsi
menjadi pelaku usaha dengan motif memperoleh laba. Pertanyaannya adalah, apakah
monopoli yang dilakukan oleh negara, dengan menetapkan harga jual secara
sepihak sehingga dapat memperoleh laba yang sangat signifikan, dibolehkan?
Dengan kata lain, apakah undang-undang nomor 50 Tahun 1999 tentang larangan
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat tidak berlaku bagi praktik
monopoli (yang dilakukan oleh) negara?
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1999 menjelaskan bahwa
pelaku usaha juga harus memperhatikan kepentingan umum:
Pasal 2: Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara
kepentingan pelaku usaha dan kepentingan
umum.
Pasal 3 huruf (a) undang-undang ini bahkan secara eksplisit menjelaskan
bahwa tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat:
“menjaga kepentingan umum dan meningkatkan
efisiensi ekonomi nasional sebagal salah satu upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat;”
Apakah penentuan harga bensin premium oleh pemerintah (baca:
monopoli negara) yang di dalamnya sudah mengandung laba (monopoli) tidak
bertentangan dengan undang-undang tersebut di atas? Apakah penentuan harga
minimum yang dapat mengakibatkan negara memperoleh laba yang sangat luar
biasa besarnya tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut di atas?
Praktik monopoli (negara) di mana pemerintah menentukan
harga bensin premium secara sepihak sehingga dapat memperoleh laba abnormal
atau laba monopoli juga dapat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,
Pasal 33 khususnya ayat (3) dan ayat (4):
(3) Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
(4) Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;
Praktik monopoli jelas tidak akan menghasilkan kemakmuran
rakyat, dan praktik monopoli jelas tidak berdasarkan demokrasi ekonomi seperti
dimaksud Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) tersebut di atas.
Semoga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), atau pihak
lainnya terkait dengan permasalahan ini, dapat mengambil sikap apakah monopoli
yang dilakukan oleh negara dibolehkan, alias tidak melanggar undang-undang yang berlaku.
--- 000 ---
Comments
Post a Comment