Posts

Showing posts from April, 2014

Neraca dan Subsidi BBM: Kreativitas Fiskal dan Pembodohan Terhadap Masyarakat

(bagian 3 – selesai) Ringkasan bagian sebelumnya, Sultan Negeri RI bekerja sama dengan Mitra Asing mengelola tanah nan subur ini, dan menghasilkan 100 unit Produk MB per tahun dengan pembagian 30%, atau 30 unit, untuk Mitra Asing dan 70%, atau 70 unit, untuk Sultan. Pada awalnya, 70 unit Produk MB ini jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tetapi, perkembangan akhir-akhir ini cukup membuat Sultan pusing. Pasalnya, produksi dalam negeri  t urun, sedangkan Mitra Asing  ingin  bagi hasil produksi dirubah akibat biaya kelola tanah (yang dinamakan  cost recovery ) meningkat: bagi hasil yang pada awal kesepakatan sebesar 30% untuk Mitra Asing dan 70% untuk Sultan minta dirubah menjadi 33,33% (atau 1/3 bagian) untuk Mitra Asing dan 66,67% (atau 2/3 bagian) untuk Sultan. Selain itu, permintaan konsumsi Produk MB di dalam negeri  juga  meningkat  terus  sehingga kebutuhan dalam negeri tidak dapat lagi dipenuhi oleh produksi dalam negeri, tetapi harus dipenuhi juga dari im

Neraca dan Subsidi BBM: Kreativitas Fiskal dan Pembodohan Terhadap Masyarakat

(bagian 2 – bersambung) Menjelang  akhir tahun, harga Produk MB di pasar internasional naik lagi dengan pesat dan pada puncaknya mencapai Rp 3.000 per unit. Pembantu Sultan yang menangani masalah keuangan diminta kan  nasehatnya  bagaimana  dampak kenaikan harga Produk MB di pasar internasional tersebut  terhadap keuangan Sultan. Pembantu Keuangan Sultan  mengerti  bahwa  Sultan harus menjual  Produk MB kepada PT Pert a -MB berdasarkan harga internasional, yaitu Rp 3.000 per unit, tetapi, PT Pert a -MB  harus menjualnya  kepada masyarakat  dengan harga  Rp 1.000 per unit (yang disebut sebagai harga ber-“subsidi”).  Penjualan  Produk MB kepada PT Pert a -MB dengan harga pasar internasional, meskipun hanya sebagai ilusi, sudah dilakukan sejak lama (karena itulah yang selalu dikatakan oleh Pembantu Keuangan terdahulu, dengan alasan bahwa Sultan sesungguhnya dapat menjual Produk MB  ke  luar negeri dengan harga pasar internasional karena Produk MB sudah menjadi komoditas vital

Solusi Mengatasi Ketahanan Pangan, Impor Pangan, Ketimpangan, dan Kemiskinan

Image
Perekonomian Indonesia terus memburuk dalam sepuluh tahun terakhir ini. Impor pangan semakin tidak terkendali sehingga dikhawatirkan mengganggu ketahanan pangan nasional, yaitu ketergantungan bahan pangan dari luar negeri. Masyarakat kini juga terbiasa dengan fluktuasi harga pangan yang naik dan turun bagaikan permainan yoyo. Ketimpangan pendapatan semakin melebar yang tercermin dari indeks GINI yang naik dari 0,33 menjadi 0,41. Indeks GINI yang semakin besar menandakan ketimpangan sosial juga semakin besar. Dan, yang lebih mengkhawatirkan lagi, masyarakat miskin bahkan kini menjadi lebih miskin, khususnya masyarakat petani. Mengenali Akar Permasalahan Permasalahan ketahanan pangan, impor pangan, ketimpangan, dan kemiskinan dapat bersumber pada satu akar permasalahan yang sama dan saling terkait. Banyak alternatif solusi ditawarkan oleh berbagai pihak. Salah satu usulan solusi yang populer adalah reformasi agraria di mana para petani diberi kepemilikan lahan yang lebih luas untu

Akankah Sejarah Berulang Lagi?

Menjelang berakhirnya sepuluh tahun berkuasa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dikenal dengan sapaan SBY, menjadi pusat sasaran kritik dan kekecewaan masyarakat luas, termasuk pengamat ekonomi, pengamat sosial, pengamat politik, serta kalangan media, khususnya terkait program pembangunan ekonomi yang dijalankannya yang dianggap banyak pihak telah mengalami kegagalan dalam memerangi kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial (ketimpangan). Tajuk Rencana di Harian Kompas (halaman 6) pada 4 April 2014 menurunkan tulisan dengan judul “Ketimpangan dan Ironi Pembangunan” yang pada intinya menyoroti kegagalan pembangunan ekonomi kita selama 10 tahun terakhir ini. Bahkan di dalam Tajuk Rencana tersebut dikatakan dengan tegas strategi pembangunan pemerintah yang dikenal dengan pro growth, pro poor, pro job hanya slogan belaka. Sangat ironis sekali. Gegap gempita pujian dan pujaan, serta harapan besar pada 10 tahun yang lalu kini berubah drastis menjadi kritikan pedas, kek