Pengenaan Pajak Penghasilan Final Seharusnya Batal Demi Hukum

Tulisan ini sudah dipublikasi di Harian Investor Daily pada Selasa, 27 Januari 2014.


Pajak merupakan alat bagi pemerintah untuk mengenakan pungutan kepada penduduk (perorangan) dan badan usaha tetap (keduanya disebut Wajib Pajak) sehubungan dengan perolehan penghasilan. Oleh karena itu, pengenaan pajak harus ada dasar hukumnya yang dituangkan dalam undang-undang agar pemerintah tidak dapat sewenang-wenang mengenakan pajak kepada Wajib Pajak.

Undang-undang Pajak Penghasilan yang berlaku saat ini adalah undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang kemudian diperbaharui (diubah), berturut-turut, dengan (1) undang-undang nomor 7 tahun 1991, (2) undang-undang nomor 10 tahun 1994, (3) undang-undang nomor 17 tahun 2000, dan (4) undang-undang nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Penghasilan
Di dalam undang-undang ditentukan penghasilan apa saja yang dapat dikenakan pajak. Yang dimaksud dengan Penghasilan adalah setiap penambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, seperti diatur Pasal 4 ayat (1).

Bagi Wajib Pajak badan usaha tetap (selanjutnya disebut juga “Perusahaan”), penghasilan yang dikenakan pajak (selanjutnya disebut Penghasilan kena Pajak) adalah Laba atau Penghasilan Neto, yang dihitung dari Penghasilan Bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, seperti diatur Pasal 6 ayat (1).

Kompensasi Kerugian (Penghasilan Negatif)
Apabila ternyata dari perhitungan pada pasal 6 ayat (1) didapat kerugian (Penghasilan Neto menjadi negatif), maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan Penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan lima tahun, seperti diatur Pasal 6 ayat (2).

Tarif Pajak Penghasilan
Setelah Penghasilan Kena Pajak ditetapkan, kemudian ditentukan tarif yang harus dibayar atas Penghasilan Kena Pajak tersebut, seperti diatur Pasal 17. Tarif Pajak Penghasilan bagi Perusahaan saat ini ditetapkan 25 persen (flat).

Pajak Penghasilan Final: Pasal 4 Ayat (2)
Tetapi, dengan alasan demi kemudahan pemerintah kemudian mengenalkan Pajak Penghasilan bersifat final (selanjutnya disebut Pajak Penghasilan Final), yaitu pajak atas penghasilan tertentu di mana mekanisme pemajakannya telah dianggap selesai pada saat dilakukan pemotongan, pemungutan atau penyetoran sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Hal ini berarti, kewajiban pajak bagi penghasilan tertentu tersebut dianggap selesai dan tidak perlu diperhitungkan lagi sebagai Penghasilan Kena Pajak. Pasal 4 ayat (2), Huruf (a) sampai Huruf (d) mengatur jenis Penghasialn yang dikenakan Pajak Penghasilan Final:
(a)   penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
(b)  penghasilan berupa hadiah undian;
(c)   penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
(d)  penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan;

dan penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pajak Penghasilan Final Seharusnya Batal Demi Hukum
Pada dasarnya Pajak Penghasilan Final menganut asas sistem perpajakan sederhana sehingga bersifat final. Tetapi, seharusnya penyederhaan pemungutan pajak tidak bertentangan dengan asas keadilan, apalagi sampai bertentangan dengan pasal-pasal lainnya pada undang-undang Pajak Penghasilan ini. Untuk itu mari kita telaah pengenaan Pajak Penghasilan Final pada Pasal 4 ayat (2) masing-masing huruf tersebut di atas.

Pasal 4 ayat (2) Huruf (a) dan Huruf (b)
Penghasilan yang dimaksud pada Pasal 4 ayat (2) Huruf (a) dan Huruf (b) cukup jelas dan tidak menimbulkan permasalahan karena definisi penghasilan sesuai dengan yang diuraikan pada ayat (1) pasal yang sama, yaitu: penghasilan dari bunga (deposito dan sejenisnya) jelas termasuk penambahan kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Berdasarkan PP nomor 131 tahun 2000 dan PP nomor 16 tahun 2009, dasar pengenaan Pajak Penghasilan yang berasal dari Bunga adalah berdasarkan jumlah bruto bunga, bukan berdasarkan jumlah simpanan (principal) yang menghasilkan bunga. Dalam hal ini, Pajak Penghasilan Final pada dasarnya dapat diterima terutama apabila dikenakan pada orang pribadi.

Tetapi, untuk Perusahaan sebaiknya pendapatan bunga tidak dikenakan Pajak Penghasilan Final karena bertentangan dengan prinsip keadilan, dan juga dapat bertentangan dengan pasal-pasal lainnya pada undang-undang Pajak Penghasilan. Alasannya adalah sebagai berikut. Pertama, bunga pinjaman yang dibayarkan oleh Perusahaan kepada kreditur (misalnya bank) dapat menjadi pengurang Penghasilan Kena Pajak. Oleh karena itu, penerimaan bunga simpanan (deposito, etc.) seharusnya juga diperlakukan sama (dan sebaliknya), yaitu menjadi penambah Penghasilan Kena Pajak, yang tentu saja tidak bersifat final: artinya, apabila perusahaan menghasilkan laba maka dikenakan Pajak Penghasilan sesuai tarif yang berlaku. Apabila perusahaan dalam keadaan rugi maka Pajak atas Bunga simpanan yang sudah dibayar perusahaan (atau dipungut oleh pihak ketiga, misalnya bank) seyogyanya dikembalikan (restitusi) kepada Perusahaan (karena Perusahaan belum ada kewajiban untuk membayar Pajak Penghasilan).

Pasal 4 ayat (2) Huruf (c) dan Huruf (d)
Tetapi, pengenaan Pajak Penghasilan Final untuk objek pajak seperti pada Pasal 4 ayat (2) Huruf (c) dan Huruf (d) dapat bermasalah karena bertentangan dengan undang-undang Pajak Penghasilan yang berlaku. Hal ini disebabkan karena dasar pengenaan Pajak Penghasilan tidak sesuai dengan pengertian Penghasilan secara umum maupun pengertian Penghasilan di dalam undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu penambahan kemampuan ekonomis yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.

Pasalnya, dasar pengenaan Pajak Penghasilan Final untuk transaksi saham (sekuritas dan derivatif) yang diperdagangkan di bursa, menurut PP nomor 41 tahun 1994 dan PP nomor 14 tahun 1997, serta untuk usaha jasa konstruksi, real estate dan persewaan tanah dan/atau bangunan adalah berdasarkan nilai transaksi, yang tentu saja tidak sama dengan laba atau keuntungan seperti dimaksud pada Pasal 6 ayat (1), dan, oleh karena itu, juga tidak sama dengan Penghasilan, atau penambahan kemampuan ekonomis seperti dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) undang-undang Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, pengenaan Pajak Penghasilan Final pada objek pajak Huruf (c) dan Huruf (d) berdasarkan nilai transaksi seharusnya batal demi hukum.

Selain itu, transaksi saham (sekuritas dan derivatif lainnya) yang diperdagangkan di bursa serta usaha jasa konstruksi, real estate dan persewaan tanah dan/atau bangunan pada kenyataannya dapat mengalami kerugian sehingga mengurangi kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Dalam hal ini, pengenaan Pajak Penghasilan Final sangat merugikan Wajib Pajak dan bertentangan dengan undang-undang Pajak Penghasilan. Pertama, perusahaan yang dalam kondisi rugi seharusnya tidak dikenakan Pajak Penghasilan seperti dimaksud pada Pasal 4 ayat (1), sehingga Pajak Penghasilan Final yang sudah dibayar seharusnya dikembalikan kepada Perusahaan. Tetapi, karena Pajak Penghasilan Final bersifat final dan mekanisme pemajakannya dianggap selesai ketika dipungut (baca: dibayar), maka pajak final yang sudah dibayar tersebut tidak dapat dikembalikan kepada Perusahaan, meskipun Perusahaan dalam kondisi rugi. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1), dan seharusnya batal demi hukum.

Kedua, karena Pajak Penghasilan Final yang sudah dibayar bersifat final dan mekanisme pemajakannya dianggap selesai, maka kerugian perusahaan juga tidak dapat dikompensasikan dengan penghasilan tahun-tahun berikutnya seperti yang di maksud pada Pasal 6 ayat (2), yang berbunyi:
Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan (biaya) sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

Oleh karena itu, Pajak Penghasilan Final pada Pasal 4 ayat (2) Huruf (c) dan Huruf (d) juga bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) karena meniadakan hak kompensasi kerugian perusahaan yang dijamin oleh undang-undang, dan, oleh karena itu, seharusnya batal demi hukum.

--- 000 ---

Comments

  1. Saya sangat menghargai tulisan Bapak Anthony tersebut diatas yang menunjukkan pemahaman yang baik terhadap ketentuan-ketentuan di bidang perpajakan khususnya Pajak Penghasilan dan dapat menunjukkan beberapa perspektif yang "berbeda" terhadap beberapa ketentuan yang diatur dalam UU PPh. Namun izinkan saya untuk menanggapi beberapa hal sesuai pemahaman saya yang terbatas terhadap beberapa hal yang diuraikan dalam tulisan tersebut:
    1. Sesuai Pasal 2 UU No. 6/83 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 36/2008 (selanjutnya disebut UU PPh) yang menjadi subyek pajak PPh adalah:
    a. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi;
    b. Badan;
    c. Bentuk usaha tetap (bukan badan usaha tetap seperti tulisan diatas)
    2. Undang-undang merupakan produk hukum sebagai kesepakatan antara Pemerintah dan DPR (selaku wakil rakyat) sebagai lembaga yang diberi kewenangan oleh UUD Negara RI Tahun 1945 untuk membentuk undang-undang. Dengan demikian, setiap ketentuan yang diatur dalam undang-undang bukanlah semata-mata ‘kehendak’ Pemerintah. Setiap Pasal yang dicantumkan dalam undang-undang sudah melalui beberapa tahap pembahasan yang akhirnya sampai pada suatu kesepakatan antara Pemerintah dan DPR. Hal ini berlaku untuk undang-undang yang berasal dari usulan Pemerintah maupun undang-undang dari inisiatif DPR.
    3. Dalam struktur undang-undang adalah biasa kalau disamping ada aturan-aturan yang bersifat umum ada juga aturan-aturan yang bersifat khusus. Aturan-aturan khusus ini biasanya merupakan pengecualian atau pengaturan yang berbeda dengan aturan-aturan umumnya dan mempunyai ‘wilayah penerapan’ yang terbatas. Karena kedua aturan tersebut (umum dan khusus) sama-sama tercantum dalam batang tubuh undang-undang maka tidak relevan kalau kita nyatakan bahwa aturan khusus ini ‘melanggar’ ketentuan-ketentuan yang diatur dalam aturan umumnya.
    4. Dalam UU PPh pun terdapat aturan umum dan aturan khusus ini. Contohnya:
    a. Pasal 4 (1) mengatur mengenai penghasilan sebagai obyek PPh (aturan umum) tetapi Pasal 4 (3) mengatur mengenai penghasilan yang bukan obyek PPh (aturan khusus);
    b. Pasal 6 (1) mengatur Penghasilan Kena Pajak ditentukan oleh penghasilan bruto setelah dikurangi biaya (aturan umum) tetapi Pasal 9 (1) mengatur Penghasilan Kena Pajak tidak boleh dikurangi dengan biaya-biaya/pengeluaran-pengeluaran tertentu (aturan khusus);
    c. Pasal 16 (1) mengatur cara menghitung pajak (aturan umum) tetapi Pasal 16 (2),(3),(4) mengatur cara menghitung pajak untuk wajib pajak tertentu (aturan khusus);
    d. Pasal 17 (1) mengatur tarif Pajak Penghasilan tetapi Pasal 17 (2b),(2c) Pasal 19 (2), Pasal 31E mengatur tarif PPh untuk wajib pajak-wajib pajak tertentu (aturan khusus).
    e. Demikian juga ketentuan Pasal 4 ayat (2) mengenai pengenaan PPh final dan Pasal 31A mengenai fasilitas perpajakan untuk penanaman modal pada bidang-bidang tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu merupakan aturan khusus yang merupakan pengecualian dari aturan-aturan umum UU PPh.
    5. Secara khusus, Pasal 4 ayat (2) UU PPh memberi kewenangan atributif kepada Pemerintah melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengatur mengenai pengenaan PPh final terhadap penghasilan-penghasilan tertentu sebagaimana disebutkan dalam huruf a sampai e. Dengan adanya kewenangan atributif yang diberikan oleh undang-undang ini maka keberadaan Peraturan Pemerintah - Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai PPh Final memiliki landasan hukum yang jelas. Tidak seperti kesimpulan dalam tulisan diatas yaitu “batal demi hukum karena bertentangan dengan undang-undang pajak yang berlaku”.
    6. Namun, apabila tulisan tersebut dipahami sebagai suatu ketidaksetujuan terhadap kebijakan pengenaan PPh final yang diatur dalam PP-PP terkait karena tidak memiliki dasar logika yang kuat atau lebih banyak mudharat daripada manfaatnya maka tulisan tersebut merupakan sumbangan pemikiran yang bagus buat para pengambil keputusan.

    Demikian pendapat saya, terima kasih. (Rohmad Basuki)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pertama-tama saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Rohmad Basuki yang telah memberi tanggapan atas tulisan ini.

      Di dalam tanggapannya, Bapak Rohmad menjelaskan bahwa di dalam UU selalu terdapat aturan umum dan aturan khusus, di mana keduanya tidak berarti saling bertentangan. Bapak Rohmad kemudian memberi banyak contoh tentang aturan umum dan aturan khusus yang dimaksud, seperti Pasal 4 (1) dan Pasal 4 (3) atau Pasal 6 (1) dan Pasal 9 (1) yang pada dasarnya tidak bertentangan.

      Dalam hal ini, saya sependapat dengan Bapak Rohmad karena sering kali sebuah aturan perlu dijabarkan lebih lanjut sebagai penegasan atau pengecualian atas aturan tersebut. Misalnya, Pasal 4 (1) memuat aturan umum tentang definisi Penghasilan, yaitu penambahan kemampuan ekonomis, yang menjadi obyek pajak penghasilan (PPh). Kalau Pemerintah berpendapat bahwa tidak semua jenis Penghasilan dikenakan PPh, maka pengecualian tersebut harus diatur lebih lanjut, dalam contoh ini di Pasal 4 (3) yang mengatur jenis Penghasilan tertentu yang tidak dikenakan PPh (meskipun menambah kemampuan ekonomis).

      Tetapi, Pasal-pasal tersebut bukan menjadi pokok bahasan tulisan saya, dan saya juga tidak pernah mengatakan bahwa pasal-pasal tersebut saling bertentangan. Yang saya kritisi adalah pengenaan PPh final terhadap penghasilan bruto (penjualan, omset) yang, menurut saya, bertentangan dengan Pasal 4 (1) dan Pasal 6 (2).

      Tetapi, Bapak Rohmad di dalam tanggapannya berpendapat bahwa pengenaan PPh final terhadap penghasilan bruto juga adalah sah dan memiliki landasan hukum yang jelas karena Pemerintah diberi wewenang untuk itu melalui Pasal 4 (2). Bapak Rohmad mengatakan (saya kutip): “Pasal 4 ayat (2) UU PPh memberi kewenangan atributif kepada Pemerintah melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengatur mengenai pengenaan PPh final terhadap penghasilan-penghasilan tertentu sebagaimana disebutkan dalam huruf a sampai e. Dengan adanya kewenangan atributif yang diberikan oleh undang-undang ini maka keberadaan Peraturan Pemerintah - Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai PPh Final memiliki landasan hukum yang jelas”.

      Dari penjelasan di atas tidak dapat disangkal bahwa Pasal 4 ayat (2) memang memberi kewenangan kepada Pemerintah untuk MENGATUR PENGENAAN PPh final terhadap penghasilan-penghasilan tertentu. MENGATUR PENGENAAN PPh final di sini mengandung arti mengatur tarif PPh final untuk Penghasilan seperti dimaksud Pasal 4 (1). Artinya, Pasal 4 (2) tidak memberi wewenang kepada Pemerintah untuk MENGUBAH substansi dan definisi Penghasilan, yaitu penambahan kemampuan ekonomis. Oleh karena itu, yang harus dikenakan Pajak Penghasilan adalah Penghasilan yang jelas-jelas menambah kemampuan ekonomis seperti dimaksud Pasal 4 (1), apakah pajak tersebut bersifat final atau tidak itu merupakan wewenang Pemerintah.

      Bersambung .....

      Delete
    2. Untuk lebih jelasnya mari kita mendalami Pasal 4 (2):
      Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
      a. penghasilan berupa bunga deposito …..
      b. penghasilan berupa hadiah undian;
      c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, ……..
      d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, ….
      e. penghasilan tertentu lainnya,

      yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah

      Butir a dan butir b sangat jelas: bunga deposito dan hadiah undian merupakan Penghasilan (penambahan kemampuan ekonomis) seperti dimaksud Pasal 4 (1), dan pemerintah diberi wewenang oleh UU untuk mengenakan pajak pada Penghasilan tersebut, termasuk pengenaan pajak final.

      Untuk butir c, mari kita bahas lebih dalam. Apa yang dimaksud dengan “penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya”? Saya berpendapat, penghasilan di sini adalah “keuntungan (= penambahan kemampuan ekonomis) yang berasal dari transaksi saham dan sekuritas lainnya”. Artinya, penghasilan di sini tidak sama dengan nilai transaksi (atau penghasilan bruto), dan, oleh karena itu, pengenaan PPh final terhadap nilai transaksi sudah menyimpang dari peraturan perpajakan, khususnya Pasal 4 (1) (dan Pasal 6 (2) (kompensasi kerugian)). Pasal 4 (2) pada dasarnya tidak mengubah substansi dan definisi Penghasilan seperti dimaksud Pasal 4 (1).

      Analogi yang sama untuk butir d.

      Oleh karena itu, pengenaan PPh final terhadap penghasilan bruto (penjualan, omzet), menurut saya, jelas bertentangan dengan UU karena Penghasilan Bruto bukan merupakan Penghasilan (penambahan kemampuan ekonomis) seperti dimaksud Pasal 4 (1). Dan saya tidak melihat satu pasal pun di dalam UU yang mengatur Penghasilan Bruto dapat diartikan sebagai Penghasilan sebagai penambahan kemampuan ekonomis. Untuk itu, maka diperlukan penyempurnaan atas undang-undang pajak penghasilan apabila PPh final ingin dikenakan terhadap penghasilan bruto atau nilai transaksi.

      Demikian penjelasan saya atas tanggapan Bapak Rohmad Basuki.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial