Siapkah Pemerintah Menghadapi Konsekuensi Kebijakannya Sendiri?

Sebelum Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dilantik pada 20 Oktober 2014, sudah terdengar sangat lantang sekali bahwa salah satu kebijakan penting yang akan diambil oleh pemerintah yang baru adalah pengurangan “subsidi BBM” yang akan dialihkan ke sektor “produktif”. Dukungan terhadap kebijakan ini mengalir deras dari berbagai kalangan, termasuk pengusaha, pengamat ekonomi dan media.

Pemerintahan Jokowi-Jk  tidak memerlukan waktu sampai sebulan untuk melaksanakan janji atau desakan untuk mengurangi “subsidi BBM” tersebut. Pada 18 November 2014 pemerintah menaikkan harga BBM jenis premium dari Rp 6.500 per liter menjadi Rp 8.500 per liter dan minyak solar dari Rp 5.500 per liter menjadi Rp 7.500 per liter. Kenaikan harga BBM ini tentu saja memicu kenaikan berbagai harga barang, dan mengakibatkan inflasi 2014 menjadi cukup tinggi, yaitu 8,36 persen.

Blunder
Kebijakan 18 November 2014 merupakan kesalahan fatal (blunder) pertama pemerintah terkait kebijakan BBM. Kelihatan sekali pemerintah sangat bernafsu menaikkan harga BBM agar dapat mengurangi atau menghapus “subsidi BBM” sehingga ruang gerak fiskal menjadi lebih luas. Blunder ini disebabkan karena penaikan harga BBM tersebut dilakukan di tengah-tengah penurunan harga minyak mentah dunia: pada 18 November 2014 harga minyak mentah dunia sudah turun sekitar 30 persen dibanding harga tertingginya di bulan Juni 2014. Tetapi, penurunan harga minyak mentah dunia ini malah direspons pemerintah dengan menaikkan harga BBM domestik sebesar 30 persen juga, dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 per liter.

Tren penurunan harga minyak mentah dunia berlanjut terus sesuai yang diperkirakan oleh banyak pengamat dunia. Pada 1 Januari 2015, harga minyak mentah dunia sudah anjlok sekitar 50 persen dibanding harga tertingginya pada Juni 2014, dengan potensi penurunan harga masih akan berlanjut.

Oleh karena itu, pemerintah, mau tidak mau, harus menurunkan harga BBM domestik yang sudah terlanjur dinaikkan pada 18 November 2014. Mengingat harga minyak dunia turun begitu tajam, pemerintah seharusnya dapat menurunkan harga BBM cukup signifikan, atau setidak-tidaknya kembali pada posisi seperti sebelum kenaikan harga pada 18 November 2014. Tetapi, hal ini tidak dilakukan oleh pemerintah. Kali ini pemerintah melakukan blunder (kedua) di mana penurunan harga BBM dilakukan sangat marjinal sekali: harga premium turun dari Rp 8.500 menjadi Rp 7.600 per liter (atau hanya sekitar 10 persen saja), dan minyak solar turun dari Rp 7.500 menjadi Rp 7.250 per liter (atau hanya sekitar 3 persen saja). Penurunan yang tidak signifikan ini tidak membuat harga-harga barang lainnya serta merta ikut turun. Bahkan tarif angkutan umum pun tidak bergerak sama sekali.

Harga Barang: Naik Yes, Turun No
Kebijakan di atas mengindikasikan “keserakahan” pemerintah untuk meningkatkan pendapatan dari sektor BBM guna memperbesar ruang gerak fiskal, di mana “keserakahan” ini akhirnya menyulitkan pemerintah dalam mengendalikan inflasi karena harga-harga barang lainnya tidak ikut turun seiring penurunan harga BBM domestik: hukum pasar mengatakan, selama permintaan masih tinggi maka harga barang sulit untuk turun.

Hal ini terlihat jelas  ketika pemerintah menurunkan lagi harga BBM pada 19 Januari 2015 tetapi tidak diikuti oleh penurunan harga-harga barang lainnya. Pada 19 Januari 2015 harga premium turun dari Rp 7.600 menjadi Rp 6.600 per liter (atau turun sekitar 13 persen), sedangkan minyak solar turun dari Rp 7.250 menjadi Rp 6.400 per liter (atau turun sekitar 12 persen).

Sekarang pemerintah kebingungan sendiri bagaimana menurunkan harga-harga barang yang sudah terlanjur naik tersebut. Pemerintah sampai mengimbau pemerintah daerah (pemda) untuk ikut aktif berupaya menurunkan harga-harga barang. Tetapi, bagaimana caranya? Untuk masalah penurunan tarif angkutan umum saja yang seharusnya relatif mudah penanganannya (karena tinggal koordinasi dengan Organda), beberapa pemda merasa kewalahan.

Dan, perlu diingat, fluktuasi harga BBM ini baru masuk tahap awal saja. Pemerintah sudah berkomitmen untuk mengambil kebjiakan harga BBM domestik yang bisa berubah-ubah mengikuti perubahan harga minyak mentah dunia. Oleh karena itu, Pemerintah mengimbau masyarakat agar terbiasa dengan kebijakan ini, dan siap menghadapi harga BBM yang bisa berubah-ubah.

Tetapi, sebagai konsekuensi, harga-harga barang juga akan ikut berubah-ubah alias fluktuatif. Tetapi, sayangnya perubahan harga ke atas (kenaikan harga) akan sangat mudah terjadi, bahkan secara instan, tetapi perubahan harga ke bawah (penurunan harga) akan sulit terealisasi. Artinya, tingkat inflasi akan menjadi lebih besar dari yang seharusnya. Oleh karena itu, pemerintah harus mempunyai strategi yang tepat untuk mengatasi hal ini.

Siapkah pemerintah menghadapi fluktuasi harga-harga barang yang mengikuti fluktuasi harga BBM domestik yang pada gilirannya mengikuti fluktuasi harga minyak mentah dunia? Masyarakat kelihatannya sudah siap. Semoga pemerintah juga siap!

Selamat Bekerja!

--- 000 ---

Comments

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial