Berbahaya: Perencanaan Penerimaan Pajak Berdasarkan Analisis Tidak Tepat

Harian Kompas pada hari Sabtu 2 Mei 2015, halaman 17, memuat petikan wawancara dengan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dengan judul “Penerimaan Pajak Masih di Bawah Potensi”. Wawancara ini terkait dengan target penerimaan pajak tahun 2015, dan realisasi penerimaan pajak triwulan I-2015 yang sebesar Rp 198,24 triliun, di mana jumlah tersebut jauh di bawah realisasi penerimaan triwulan I-2104 yang mencapai Rp 210,11 triliun. Apabila dibandingkan dengan target penerimaan pajak 2015 sebesar Rp 1.200 triliun (naik sekitar 40 persen dari penerimaan pajak 2014), maka realisasi penerimaan pajak triwulan I 2015 tersebut sungguh mengkhawatirkan.

Pada dasarnya, Bambang Brodjonegoro berpendapat target penerimaan pajak 2015 sebenarnya masih masuk akal. Karena, masih menurut Beliau, berdasarkan data-data sebelumnya, penerimaan pajak dapat bertumbuh normal, yaitu sekitar 15 persen per tahun, dengan tax ratio konstan, yaitu sekitar 12 persen. Tax ratio adalah rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Tetapi, masih menurut Menteri Keuangan, yang terjadi beberapa tahun terakhir ini pertumbuhan pajak selalu di bawah normal sehingga target pajak selalu tidak tercapai. Bambang Brodjonegoro menengarai telah terjadi penyimpangan oleh pembayar pajak sehingga penerimaan pajak tidak tercapai dan di bawah potensi sebenarnya.

Beliau mengatakan: “Logikanya, kalau ekonomi tumbuh, penerimaan pajak harus tumbuh lebih tinggi. Ekonomi kita tumbuh terus, tetapi penerimaan pajak tidak mengikuti ritme ini”. Beliau juga mengatakan, beberapa tahun yang lalu rasio pajak tehadap PDB masih 12 persen, tetapi sekarang tinggal 11 persen.

Oleh karena itu, menurut Beliau, permasalahan penerimaan pajak yang rendah bukan merupakan permasalahan pertumbuhan ekonomi, tetapi lebih merupakan permasalahan kepatuhan dan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan penerimaan pajak maka Menteri Keuangan mencanangkan tahun ini sebagai tahun pembinaan (kepada pembayar pajak). Pembinaan yang dimaksud adalah dengan memberi insentif kepada pembayar pajak dengan cara membebaskan sanksi kepada mereka yang membayar jumlah kekurangan pajak selama 5 tahun terakhir. Program “pembinaan” ini mulai diberlakukan pada bulan Mei 2015, karena Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur pembinaan tersebut baru selesai dibuat (pada bulan Mei ini).

Menurut saya pernyataan atau pendapat Menteri Keuangan pada wawancara tersebut di atas harus diuji kebenarannya karena pendapat tersebut dapat memberi implikasi luas dan fatal, khususnya persepsi terhadap pembayar pajak sebagai manusia yang tidak jujur atau nakal. Pendapat ini dapat menyudutkan pembayar pajak seolah-olah selama beberapa tahun terakhir ini pembayar pajak tidak membayar pajak sesuai peraturan yang berlaku dan mengakibatkan penerimaan pajak negara tidak tercapai. Dampak seketika yang dapat terjadi adalah aparat pajak akan memeriksa secara ketat “kepatuhan” pembayar pajak atas kewajibannya. Kita sudah mendengar bagaimana aparat pajak diiming-imingi insentif yang cukup tinggi untuk dapat mencapai target pajak yang menurut banyak pihak tidak masuk akal. Dampak lainnya adalah pemerintah akan berupaya mencari dan mengenakan berbagai jenis pajak baru untuk mencapai target pajak tersebut, misalnya pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) jalan tol dan PPN listrik bagi pelanggan 2.200 – 6.600 VA, yang mana tentu saja pengenaan pajak tersebut akan mengurangi kemampuan konsumsi masyarakat, sehingga pada gilirannya akan menekan pertumbuhan ekonomi.

Apakah benar penurunan tax ratio (rasio pajak terhadap PDB) dari 12 persen menjadi 11 persen seperti yang diindikasikan oleh Menteri Keuangan merupakan akibat dari kekurang patuhan pembayar pajak terhadap kewajibannya?

Pendapat Menteri Keuangan tersebut dapat benar apabila semua peraturan perpajakan tidak berubah selama ini. Pada kondisi seperti ini, kita dapat mengerti bahwa pertumbuhan ekonomi selayaknya akan meningkatkan penerimaan pajak. Tetapi, faktanya ternyata tidak seperti itu. Sejak tahun 2008, telah terjadi banyak perubahan pada peraturan perpajakan, di mana perubahan tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya penerimaan pajak. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pada tahun 2008. Perubahan terhadap Undang-Undang Pajak Penghasilan ini berpotensi mengurangi penerimaan pajak penghasilan secara signifikan.

Pertama, tarif tertinggi pajak penghasilan pribadi yang sebelumnya 35 persen diturunkan menjadi 30 persen pada tahun 2008. Di samping itu, rentang lapisan penghasilan kena pajak juga diperlebar sehingga tarif pajak efektif pada Undang-Undang PPh Tahun 2008 menjadi lebih rendah dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya. Lihat Tabel di bawah.
Sebagai contoh, apabila Anda mempunyai penghasilan Rp 220 juta setahun pada tahun sebelum 2008, maka Anda harus membayar pajak dengan tarif 35 persen (mengikuti Undang-Undang Tahun 2000). Tetapi, apabila Anda mempunyai penghasilan yang sama setelah tahun 2008, maka Anda hanya dikenakan pajak dengan tarif 15 persen saja (mengikuti Undang-Undang Tahun 2008).

Kemudian, tarif pajak penghasilan badan juga berubah menjadi lebih rendah pada Undang-Undang yang baru Tahun 2008. Sebelum tahun 2008 tarif tertinggi pajak penghasilan badan adalah 30 persen (tarif progresif), kemudian turun menjadi 28 persen (tarif flat) sejak 2008, dan kemudian turun lagi menjadi 25 persen (tarif flat) sejak 2010.

Di samping itu, tarif pajak dividen juga turun sejak tahun 2009, yaitu dari 20 persen (tarif flat dan final) sebelum 2009 menjadi hanya 10 persen saja (tarif flat dan final) pada 2009 hingga sekarang, atau turun 50 persen!

Penurunan berbagai tarif pajak penghasilan sejak tahun 2008 tersebut di atas tentu saja membuat penerimaan pajak relatif turun, yang juga tercermin pada penurunan tax ratio. Oleh karena itu, penurunan tax ratio beberapa tahun terakhir ini, seperti dikatakan oleh Menteri Keuangan, belum tentu disebabkan oleh kekurangpatuhan pembayar pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya. Tetapi, penurunan tax ratio ini dapat disebabkan oleh penurunan tarif pajak yang diamanatkan Undang-Undang yang baru sejak tahun 2008.

Secara logika, kalau pertumbuhan ekonomi melambat maka penerimaan pajak akan turun. Penurunan penerimaan pajak pada triwulan I 2015 ini menunjukkan secara jelas bahwa sedang terjadi penurunan (bukan hanya pelambatan) pada aktivitas ekonomi. Oleh karena itu, target penerimaan pajak tahun 2015 yang naik sekitar 40 persen dari tahun sebelumnya merupakan target yang sangat tidak realistis, karena berdasarkan asumsi atau analisis yang tidak tepat, yaitu penerimaan pajak dewasa ini belum optimal dan masih di bawah potensi mengingat ekonomi tumbuh tetapi tax ratio turun (dari 12 persen beberapa tahun yang lalu menjadi 11 persen hingga sekarang). Padahal, penurunan tax ratio tersebut sebenarnya terjadi karena perubahan peraturan perpajakan pada tahun 2008 yang membuat penerimaan pajak turun seperti diuraikan di atas. Untuk itu, kita berharap pemerintah segera melakukan revisi penerimaan pajak (berdasarkan analisis yang tepat) untuk menyelamatkan APBN.

--- 000 ---

Comments

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial