Menggugat Istilah Subsidi Migas
Kalau Tuan A mempunyai penerimaan Rp 10 juta dan pengeluaran Rp 4 juta, berapa saldo keuangannya? Tentu saja Tuan A mempunyai surplus sebesar Rp 6 juta. Bagaimana kalau istilah "pengeluaran" Rp 4 juta tersebut kemudian diganti dengan istilah "subsidi", apakah hasilnya akan lain? Hasilnya tentu saja akan sama: dengan penerimaan Rp 10 juta dikurangi "subsidi" Rp 4 juta maka menghasilkan surplus Rp 6 juta.
Tetapi, apabila istilah "pengeluaran" yang sudah diganti dengan "subsidi" tersebut dibaca tersendiri/terisolasi, maka kata "subsidi" di sini dapat memberi arti yang berbeda (dari pengeluaran). Apabila kita mendengar Tuan A memberi subsidi sebesar Rp 4 juta, maka kita berkhayal, Tuan A ada mengeluarkan uang tunai (dan mengalami defisit) sebesar Rp 4 juta. Padahal, semuanya tidak ada yang berubah karena pergantian istilah dari "pengeluaran" menjadi "subsidi": Tuan A masih tetap mempunyai surplus Rp 6 juta (penerimaan Rp 10 juta dikurangi pengeluaran ("subsidi") sebesar Rp 4 juta).
Nah, kesan ini yang juga terjadi di masyarakat Indonesia ketika mendengar istilah Subsidi Migas.
Apabila pemerintah mengatakan ada Subsidi Migas sebesar Rp 173 triliun (RAPBN 2013), maka kita semua berkhayal bahwa pemerintah ada mengeluarkan uang tunai (sehingga terjadi defisit) sebesar Rp 173 triliun tersebut.
Padahal, pemerintah masih mempunyai penerimaan dari sektor migas sebesar Rp 237 triliun (RAPBN 2013) yang tidak pernah disebut-sebut. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mempunyai surplus dari sektor Migas (bukan defisit seperti terkesan dari kata "subsidi") sebesar Rp 64 triliun. As simple as that!
Istilah "subsidi" Migas sudah sedemikian misleading dan membuat bodoh masyarakat karena mempercayai subsidi migas sama dengan defisit migas.
Semoga dengan penjelasan ini kita semua menjadi sadar bahwa penggunaan istilah subsidi Migas adalah salah kaprah, dan menolak penggunaan istilah tersebut di dalam APBN.
Tetapi, apabila istilah "pengeluaran" yang sudah diganti dengan "subsidi" tersebut dibaca tersendiri/terisolasi, maka kata "subsidi" di sini dapat memberi arti yang berbeda (dari pengeluaran). Apabila kita mendengar Tuan A memberi subsidi sebesar Rp 4 juta, maka kita berkhayal, Tuan A ada mengeluarkan uang tunai (dan mengalami defisit) sebesar Rp 4 juta. Padahal, semuanya tidak ada yang berubah karena pergantian istilah dari "pengeluaran" menjadi "subsidi": Tuan A masih tetap mempunyai surplus Rp 6 juta (penerimaan Rp 10 juta dikurangi pengeluaran ("subsidi") sebesar Rp 4 juta).
Nah, kesan ini yang juga terjadi di masyarakat Indonesia ketika mendengar istilah Subsidi Migas.
Apabila pemerintah mengatakan ada Subsidi Migas sebesar Rp 173 triliun (RAPBN 2013), maka kita semua berkhayal bahwa pemerintah ada mengeluarkan uang tunai (sehingga terjadi defisit) sebesar Rp 173 triliun tersebut.
Padahal, pemerintah masih mempunyai penerimaan dari sektor migas sebesar Rp 237 triliun (RAPBN 2013) yang tidak pernah disebut-sebut. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mempunyai surplus dari sektor Migas (bukan defisit seperti terkesan dari kata "subsidi") sebesar Rp 64 triliun. As simple as that!
Istilah "subsidi" Migas sudah sedemikian misleading dan membuat bodoh masyarakat karena mempercayai subsidi migas sama dengan defisit migas.
Semoga dengan penjelasan ini kita semua menjadi sadar bahwa penggunaan istilah subsidi Migas adalah salah kaprah, dan menolak penggunaan istilah tersebut di dalam APBN.
Comments
Post a Comment