Kebijakan Harga BBM Sarat Kepentingan Politik - Konsumsi BBM Bersubsidi Masih Di bawah Kuota

Wacana kenaikan harga BBM bersubsidi sudah dimulai sejak pertengahan Januari 2013. Menurut Kompas.com 14 Januari 2013, ada wacana dari kementerian ESDM untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter. Alasan kali ini adalah bukan karena harga minyak dunia melonjak, melainkan konsumsi BBM bersubsidi diperkirakan akan membengkak melewati kuota 2013 sebesar 46 juta kiloliter. Apabila ini terjadi maka dapat dipastikan subsidi BBM akan melonjak dan dapat mengakibatkan APBN jebol.

Pada 8 Maret 2013, pelaksana tugas Badan kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Bambang Brodjonegoro, seperti diberitakan di www.tempo.co (dengan judul Tambahan Subsidi BBM Bisa Mencapai Rp 30 triliun), mengatakan konsumsi BBM bersubsidi dapat membengkak hingga 51 juta kiloliter. Bahkan Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan konsumsi BBM bersubsidi akan membengkak hingga 53 juta kiloliter.
Alokasi subsidi BBM tahun ini didengungkan mencapai Rp 274 triliun. Bahkan banyak pihak memprediksi alokasi subsidi BBM bakal melewati Rp 300 triliun apabila konsumsi BBM bersubsidi tidak terkendali. Maksudnya, tentu saja, apabila harga BBM bersubsidi tidak dinaikkan. Pemberitaan seperti ini sangat asimetris dan tidak bertanggung jawab. Banyak informasi yang dikaburkan. Anggaran subsidi BBM tahun 2013 yang benar adalah Rp 146 triliun, seperti tertuang dalam Nota Keuangan dan APBN 2013, halaman 4-111.  Jumlah ini jauh di bawah realisasi subsidi BBM 2011 sebesar Rp 165 triliun (tetapi, menurut laporan keuangan Pertamina subsidi BBM dari pemerintah tahun 2011 hanya Rp 135 triliun). Rp 274 triliun adalah total subsidi energi, termasuk subsidi gas dan subsidi listrik. Pemberitaan yang tidak tepat ini sangat tidak mendidik dan membodohi masyarakat. Masyarakat berharap pemerintah harus jujur dalam pemberian informasi kepada publik sehingga dapat mencerdaskan bangsa.
Dari berbagai pemberitaan yang sangat intense tersebut, jelas sekali terbaca, ada upaya sistematis untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Sejak awal tahun sudah didesas-desuskan kuota BBM bersubsidi bakal jebol, subsidi BBM akan membengkak, APBN akan jebol, subsidi tidak tepat sasaran, serta subsidi melanggar keadilan. Tujuannya adalah jelas agar subsidi BBM dicabut alias harga BBM naik. Jadi, sejak awal memang sudah ada indikasi kuat untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Opsi lain untuk mengurangi subsidi BBM seolah-olah tidak terlalu diperhatikan lagi. Padahal waktu masih panjang untuk mencari opsi lain untuk mengurangi konsumsi BBM, apabila memang pemerintah mempunyai niat yang serius untuk itu.
Masyarakat dibuat bingung dengan pemberitaan yang tidak didukung oleh data yang akurat. Pemberitaan selama ini sama seperti mengeluarkan blank check (cek kosong). Semua isu yang dilontarkan hanya berdasarkan potensi seolah-olah sudah pasti akan terjadi. Banyak yang bertanya-tanya, apakah benar kuota konsumsi BBM akan jebol? Apakah benar APBN akan jebol? Mengapa dalam APBN ada penerimaan BBM/Migas yang jumlahnya lebih besar dari subsidi BBM/Migas tersebut? Artinya, ada surplus dalam anggaran BBM/Migas?
Konsumsi Januari – Februari di bawah Kuota
Dari tabel 1 terlihat bahwa realisasi konsumsi BBM bersubsidi untuk Januari dan febrtuari masih di bawah kuota, baik untuk jenis premium, minyak tanah maupun solar. Kuota BBM bersubsidi tahun 2013 sebesar 46,01 juta kiloliter, atau 3,834.167 kiloliter per bulan. Sedangkan realisasi konsumsi untuk Januari dan Februari 2013 masing-masing sebesar 3.764.163 kiloliter dan 3.447.338 kiloliter, masih di bawah kuota rata-rata per bulan sebesar 3.834.1567 kiloliter. Data realisasi ini berdasarkan data BPH Migas yang dimuat di kompas.com tanggal 20 maret 2013. Jadi, sangat jelas sekali bahwa berita yang menakut-nakuti kuota konsumsi BBM bersubsidi bakal jebol sangat mengada-ada dan tidak beralasan.

Subsidi Tetapi Surplus
Kita tahu, di dalam APBN, meskipun ada pengeluaran negara yang disebut subsidi BBM, tetapi ada juga penerimaan negara yang berasal dari Minyak Bumi yang jumlahnya lebih besar dari “subsidi” tersebut. Artinya, pemerintah mempunyai surplus keuangan BBM di dalam APBN. Oleh karena itu, pada setiap diskusi tentang subsidi BBM seharusnya fakta ini (surplus keuangan BBM) tidak boleh dikesampingkan. Diskusi subsidi BBM tidak boleh terisolasi dari penerimaannya. Karena, jumlah subsidi BBM dapat naik seiring dengan kenaikan penerimaan BBM, di mana dampak neto terhadap surplus BBM mungkin tidak signifikan. Seperti dapat dilihat di tabel 2a, Subsidi BBM tahun 2010 naik Rp 23,9 triliun, yaitu dari Rp 37,1 triliun menjadi Rp 61 triliun. Namun demikian, surplus BBM tahun itu juga naik, meskipun rendah, hanya sebesar Rp 2,2 triliun. Hal ini disebabkan karena penerimaan BBM juga naik secara signifikan, yaitu dari Rp 90,1 triliun menjadi Rp 111,8 triliun, atau naik Rp 21,7 triliun. Alasan melonjaknya Subsidi BBM tahun 2010 karena harga ICP (yang menjadi patokan untuk menentukan besarnya subsidi) naik dari $61,6 menjadi $79,4 per barel. Kenaikan harga ICP ini ternyata juga membuat penerimaan BBM pemerintah naik, karena harga ICP ternyata juga menjadi dasar perhitungan penerimaan BBM pemerintah.
Di samping itu, kenaikan penerimaan BBM tahun 2010 ini juga disebabkan adanya kenaikan lifting minyak dari 944 ribu menjadi 954 ribu barel per hari. Oleh karena itu, sangat tidak bisa diterima kalau membicarakan subsidi BBM tanpa membicarakan sisi penerimaan BBM.

Fakta selanjutnya mungkin dapat memperkuat alasan ini. Tahun 2008, terjadi kenaikan ICP cukup signifikan, yaitu dari $72,3 menjadi $97 per barel. Kenaikan waktu itu dikatakan akan membuat subsidi BBM melonjak dan APBN jebol. Yang dibicarakan hanya dari satu sisi saja, yaitu subsidi BBM yang akan membengkak. Pemerintah pun panik (atau sengaja panik?) dan masyarakat percaya. Harga BBM bersubsidi kemudian dinaikkan pada 24 Mei 2008.: premium naik dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter, solar naik dari Rp 4.300 menjadi Rp 5.500 per liter, minyak tanah naik dari Rp 2.000 menjadi Rp 2.500 per liter. Dampak dari kenaikan ICP yang disertai dengan kenaikan harga BBM membuat subsidi BBM “hanya” naik dari Rp 76,4 triliun menjadi Rp 135,9 triliun, atau naik Rp 59,5 triliun. Jumlah ini dikatakan jauh lebih rendah apabila tidak ada kenaikan harga BBM tersebut.  
Tetapi, di lain sisi, kenaikan harga ICP tersebut juga membuat penerimaan BBM pemerintah naik, karena pemerintah “menjual” BBM-nya dengan harga ICP.  Tahun 2008, lifting minyak juga naik dari 899 ribu menjadi 931 ribu barel per hari sehingga mempertebal dompet penerimaan BBM pemerintah. Kombinasi kenaikan ICP dan kenaikan lifting minyak membuat penerimaan BBM tahun 2008 naik dari Rp 93,6 triliun menjadi Rp 169 triliun, atau naik sebesar Rp 75,4 triliun, atau 80,6%! Kenaikan penerimaan yang jauh lebih besar dari subsidi BBM ini membuat Surplus BBM juga naik secara signifikan, dari Rp 33,5 triliun menjadi Rp 62,7 triliun.
Melihat fakta seperti ini masyarakat patut mengkritisi kebijakan kenaikan harga BBM tahun 2008 yang lalu: apakah perlu? Belajar dari pengalaman ini, maka masyarakat harus waspada dan jangan menelan mentah-mentah apabila ada isu yang mengatakan subsidi BBM akan membengkak dan APBN akan jebol, dan oleh karena itu harga BBM bersubsidi harus dinaikkan. Masyarakat harus mempelajari secara kritis apakah isu tersebut valid. Seperti isu yang sedang beredar keras saat ini yang mengatakan kuota konsumsi BBM bersubsidi akan jebol dan membahayakan APBN. Apakah benar begitu? Fakta memperlihatkan bahwa realisasi konsumsi BBM Januari dan Februari 2013 ternyata masih di bawah kuota. Jadi, berarti, isu kuota konsumsi BBM bersubsidi akan jebol hanya ilusi saja?
Penutup
Kebijakan penentuan harga BBM bersubsidi sudah bukan lagi masalah fiskal, tetapi penuh dengan kepentingan politik. Sebaiknya pemerintah secepatnya menentukan kriteria yang jelas bagaimana membentuk harga BBM di dalam negeri, apakah masih boleh lebih rendah dari harga internasional, alias bersubsidi, atau tidak. Kalau masih bersubsidi, kriteria apa saja yang ikut menentukan apakah harga BBM tersebut sudah pastas naik atau tidak. Tidak seperti sekarang, setiap ada wacana kenaikan harga BBM maka terjadi polemik yang luar biasa di masyarakat. Pemerintah harus melihat polemik ini sebagai refleksi masih banyaknya rakyat Indonesia yang belum mampu membeli BBM mengikuti harga internasional. Masyarakat pasti mendukung kebijakan BBM bersubsidi hanya untuk kalangan yang tidak mampu.  Oleh karena itu, penentuan harga BBM untuk kalangan yang tidak mampu harus ditentukan melalui kriteria yang jelas agar tidak dipolitisasi oleh berbagai kepentingan sesaat dengan mengorbankan kepentingan masyarakat luas. 

Comments

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Akankah Sejarah Berulang Lagi?

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?