Membedah Anggaran Migas: SUBSIDI tetapi SURPLUS
Permasalahan migas (minyak bumi dan gas bumi) selalu menarik
perhatian masyarakat luas, tetapi banyak dari mereka yang tidak mengerti
permasalahan sebenarnya terutama terkait dengan istilah “subsidi” migas. Kita
sering dengar pemerintah mengatakan bahwa subsidi migas sudah sedemikian
besarnya dan mengkhawatirkan, dan bahkan dapat mengakibatkan APBN jebol.
Renungan: SUBSIDI tetapi SURPLUS. Apa arti istilah subsidi dalam hal ini? Apakah hanya Khayalan saja?
Apa Artinya pernyataan ini? Masyarakat awam pasti mengira bahwa
pemerintah sedang mengalami DEFISIT terkait dengan (penerimaan dan pengeluaran)
Migas, dan besarnya DEFISIT tersebut akan sebesar subsidi migas .
Tetapi, sayang sekali, perkiraan mereka sangat bertolak
belakang dengan kenyataan.
Data realisasi
anggaran keuangan negara tahun 2006 sampai 2011 (lihat tabel di atas)
menunjukkan pemerintah mempunyai surplus Penerimaan
Neto dari sektor migas yang sangat besar, yaitu Rp 137,1 triliun, Rp 85 triliun, Rp 149,5 triliun, Rp 130,8 triliun, Rp 129,2 triliun dan Rp 101,4 triliun. Penerimaan Neto adalah penerimaan bersih setelah semua penerimaan dikurangi semua pengeluaran yang disebut subsidi.
Pada tahun 2011, Harga Minyak Indonesia (ICP = Indonesia Crude Price) rata-rata tercatat sebesar
111,55 dolar per barel, melonjak dibandingkan tahun 2010 yang hanya sebesar 79,40
dolar per barel. ICP adalah harga minyak
acuan untuk menghitung besarnya subsidi BBM. Oleh karena itu, kenaikan harga rata-rata ICP yang
sangat tinggi ini membuat subsidi migas melonjak dari Rp 82,4 triliun tahun 2010 menjadi
Rp 165,2 triliun tahun 2011, atau naik sebesar Rp 82,8 triliun, atau sekitar 100
persen!
Kenaikan subsidi yang luar biasa besarnya ini ternyata tidak
membuat APBN jebol karena penerimaan dari sektor migas pada periode yang sama ternyata
juga naik secara signifikan, yaitu dari Rp 211,6 triliun menjadi Rp 266,66
triliun. Jadi, kenaikan harga rata-rata ICP juga membuat penerimaan dari sektor
migas naik karena penerimaan migas juga ditentukan oleh ICP. Nah, hal ini
tidak pernah terungkap di dalam setiap diskusi dampak kenaikan harga ICP
terhadap anggaran negara. Yang dibicarakan hanya pada satu sisi saja, yaitu subsidi
yang membengkak apabila harga ICP naik cukup tinggi. Padahal, penerimaan pemerintah
dari sektor migas juga akan naik apabila harga rata-rata ICP naik, dan hal ini
tidak pernah terungkap, dan juga tidak pernah dimengerti oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
Mudah-mudahan kita semua mulai paham bahwa SUBSIDI tidak
sama dengan DEFISIT, dan SUBSIDI bahkan tetap dapat memberikan SURPLUS bagi
keuangan negara seperti terlihat di dalam tabel.
Salam Restorasi!
Comments
Post a Comment