Pernyataan Kontroversial Wapres Jusuf Kalla
"Rubrik Komentar": Pernyataan Kontroversial Pejabat
Follow: @AnthonyBudiawan untuk mengikuti berita Ekonomi, Keuangan dan Kebijakan Publik terkini.
Para pejabat sering kali diminta pendapatnya oleh media
secara spontan terhadap hot topik tertentu yang sedang menjadi isu nasional.
Karena diminta secara spontan, maka tidak sedikit pejabat yang tanpa
disadarinya memberi pernyataan yang kontroversial. Mereka mengira telah
memberikan jawaban yang brilian, tetapi ternyata pernyataan tersebut saling
berlawanan antara satu pernyataan dengan pernyataan lainnya, di mana hal ini
menunjukkan bahwa yang bersangkutan tidak mengerti persoalan inti, atau mencoba
untuk membodohi masyarakat.
Rubrik ini untuk menyoroti pernyataan-pernyataan para pejabat
publik yang kontroversial tersebut, agar masyarakat tidak tersesat dalam mengartikannya.
Untuk tulisan pertama ini saya akan mengomentari pernyataan
Wapres Jusuf Kalla terkait melemahnya nilai Rupiah dan ekspektasi peningkatan ekspor yang
dimuat Harian Neraca (neraca.co.id) pada 19 Desember 2014: http://neraca.co.id/article/48812,
halaman 3 dan 4.
Pernyataan 1:
Wapres menjelaskan
secara umum, meski nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat
namun bila dibandingkan dengan mata uang Malaysia, Jepang, Australia dan
beberapa negara lainnya, rupiah menguat. "Dilain pihak rupiah menguat
dibanding yen, ringgit dan dolar Australia. Sebenarnya ekonomi (kita-red)
lebih kuat (dibanding negara lainnya-red)," katanya.
Pernyataan 2:
Wakil Presiden Jusuf
Kalla mengatakan menurunnya nilai tukar rupiah dibandingkan dolar Amerika
Serikat ini dapat dimanfaatkan dengan mendorong peningkatan ekspor komoditas
Indonesia. "Ini peluang yang baik, dengan rupiah melemah dibanding dolar
Amerika Serikat, maka impor kita akan menurun dan ekspor kita naik,"
tegasnya.
“Jadi karena itu akan
menyebabkan stabilitas ekonomi akan cepat. Defisit akan turun apalagi kebijakan
ini juga mendukung kebijakan yang sudah diambil sebelumnya, pengurangan
subsidi,” tambahnya.
Komentar Anthony Budiawan:
Pada Pernyataan 1, untuk membela kinerja Rupiah yang anjlok
akhir-akhir ini agar tidak terlihat terlalu terpuruk, Wapres mengatakan bahwa
kinerja Rupiah sebenarnya lebih baik dari mata uang Yen Jepang, Ringgit Malaysia,
Dolar Australia, dan beberapa mata uang lainnya lagi. (Karena nilai Yen, Ringgit, Dolar Australia, anjlok lebih dalam terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibanding Rupiah.) Artinya, Rupiah menguat terhadap Yen Jepang, Ringgit Malaysia, atau Dolar Australia.
Artinya, Rupiah sekarang lebih mahal dari Yen Jepang, Ringgit Malaysia atau Dolar Australia.
Pada Pernyataan 2, Wapres mengatakan bahwa penurunan nilai
Rupiah terhadap Dolar AS dapat dimanfaatkan untuk mendorong peningkatan ekspor
komoditas Indonesia.
Kontroversi 1
Harga komoditas sudah dalam Dolar AS. Oleh karena itu, fluktuasi nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS tidak memengaruhi harga komoditas yang
sudah dalam Dolar AS, sehingga tidak dapat mendorong ekspor komoditas tersebut.
Misalnya, harga sawit mentah 800 dolar AS per ton, meskipun nilai Rupiah
anjlok, produsen sawit tetap akan menjual produknya menurut harga pasar, yaitu
800 dolar AS.
Untuk barang industri yang penawarannya dalam Rupiah pun
peningkatan ekspor juga mustahil dicapai karena, seperti yang Wapres katakan,
Rupiah sudah lebih mahal dari, misalnya, Ringgit Malaysia atau Yen Jepang. Oleh
karena itu produk kita akan kalah bersaing dengan produk Malaysia: produk
Malaysia sekarang relatif lebih murah dari produk Indonesia.
Kontroversi 2
Wapres juga mengatakan, dengan melemahnya Rupiah terhadap Dolar
AS, maka impor akan menurun. Apakah benar? Pertanyaannya impor dari negara mana?
Kalau dari Malaysia atau Jepang, impor bahkan cenderung akan meningkat karena
nilai Rupiah menguat terhadap mata uang-mata uang tersebut seperti yang
dikatakan sendiri oleh Wapres, sehingga produk Malaysia atau produk Jepang sekarang
relatif lebih murah.
Penutup
Ekonomi Amerika Serikat akhir-akhir ini terus membaik, sedangkan
ekonomi negara maju lainnya masih terjebak pada krisis berkepanjangan.
Penurunan harga minyak dunia membuat beberapa negara penghasil minyak
diperkirakan akan menghadapi krisis keuangan. Belum beranjaknya harga komoditas
dunia, juga membuat ekonomi negara penghasil komoditas (seperti Australia,
Afrika Selatan, atau Indonesia) masih tertekan. Alhasil, Dolar AS menguat secara
signifikan dengan hampir seluruh mata uang dunia.
Wapres Jusuf Kalla benar, bahwa penurunan Rupiah tidak seburuk
beberapa mata uang dunia lainnya, seperti Yen Jepang atau Ringgit Malaysia. Hal
ini disebabkan karena penurunan Rupiah di-intervensi agar tidak anjlok lebih
dalam. Akibat intervensi ini, maka produk Indonesia tidak kompetitif meskipun
nilai Rupiah terdepresiasi hingga hampir Rp 13.000. Karena, Yen Jepang atau
Ringgit Malaysia yang tidak di-intervensi terdepresiasi lebih dalam dari Rupiah
sehingga mata uang tersebut lebih murah dibanding Rupiah.
Untuk kepentingan siapa intervensi dilakukan? Yang pasti,
pengusaha yang mempunyai hutang dalam Dolar AS yang tidak melakukan lindung
nilai (hedging) sangat diuntungkan oleh intervensi pemerintah dalam mempertahankan
nilai Rupiah tersebut. Sedangkan dampak intervensi terhadap ekonomi sangat
merugikan karena memperlambat ekspor, bahkan dapat meningkatkan impor, sehingga
berdampak negatif pada neraca perdagangan.
Kita mengimbau, hati-hatilah para pejabat dalam membuat pernyataan
agar tidak menimbulkan kontroversial yang dapat diartikan bahwa yang
bersangkutan tidak mengerti terhadap persoalan yang dibicarakan, sehingga dapat
mengurangi kepercayaan publik terhadap kompetensi atau kejujurannya.
Follow: @AnthonyBudiawan untuk mengikuti berita Ekonomi, Keuangan dan Kebijakan Publik terkini.
--- 000 ---
Comments
Post a Comment