Politik Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Pembahasan APBN selalu menarik perhatian banyak pihak
termasuk media massa, pengusaha dan politikus. Ketika defisit pada APBN
meningkat (yang diartikan sebagai ruang gerak fiskal menjadi sempit) maka anggaran
belanja, khususnya belanja “subsidi” BBM menjadi sorotan utama.
Hal ini juga terjadi pada pembahasan APBN 2015 kali ini.
APBN 2015 diperkirakan akan membukukan defisit Rp 257,57 triliun, atau 2,32
persen dari PDB (Produk Domestik Bruto), yang artinya cukup mengkhawatirkan
karena mendekati batas maksimum defisit yang dibolehkan secara peraturan, yaitu
3 persen dari PDB. Presiden SBY pun mendapat tekanan dari berbagai kalangan
untuk menaikkan harga BBM agar dapat mengurangi belanja “subsidi” BBM serta
defisit anggaran 2015.
Di lain pihak, meskipun defisit 2015 membengkak hingga 2,32
persen dari PDB, tetapi anggaran belanja pemerintah di sektor investasi,
misalnya barang modal atau barang strategis lainnya seperti pembangunan infrastruktur,
dirasa masih sangat kurang. Padahal, belanja barang modal dan pembangunan
infrastruktur diharapkan dapat menggerakkan roda perekonomian nasional. Oleh
karena itu, upaya untuk mengalihkan belanja “subsidi” BBM ke belanja barang
modal atau infrastruktur, atau program-program prioritas lainnya menjadi
semakin besar. Benarkah pada praktiknya pengalihan pos belanja dapat dengan
mudah terjadi?
Subsitusi Pos
Belanja: Retorika Politik?
Berdasarkan data historis, penurunan belanja “subsidi” BBM akibat
kenaikan harga BBM tidak serta merta membuat belanja barang modal atau
infrastruktur naik. Sebagai contoh, realisasi defisit pada anggaran 2008 hanya
Rp 4,12 triliun saja, atau 0,08 persen dari PDB (lihat tabel 1). Padahal, defisit
APBN 2008 dianggarkan sebesar Rp 73,30 triliun, atau 1,70 persen dari PDB
(lihat tabel 2). Penurunan defisit ini terjadi karena ada kenaikan harga BBM tahun
2008 yang membuat belanja “subsidi” BBM secara relatif turun drastis. Dan, penurunan belanja “subsidi”
BBM tahun 2008 ini ternyata tidak dialokasikan ke belanja lainnya, sehingga dampak
kenaikkan harga BBM hanya menyebabkan total defisit anggaran turun secara
drastis juga, yaitu turun dari rencana Rp 73,30 triliun menjadi Rp 4,12 triliun.
Dalam kasus ini, ruang gerak fiskal sebetulnya sangat leluasa untuk dapat meningkatkan
belanja barang modal dan infrastruktur. Tetapi, nyatanya hal tersebut tidak
terjadi. Padahal, alasan kenaikan harga BBM pada tahun 2008 sama seperti alasan
saat ini, yaitu, “subsidi” BBM tahun 2008 sangat besar sehingga menyebabkan ruang
gerak fiskal menjadi sangat sempit, dan, oleh karena itu, harga BBM harus
dinaikkan untuk mengurangi belanja “subsidi” BBM serta meningkatkan belanja
barang modal. Faktanya, sekali lagi, hal tersebut tidak terjadi.
Tabel 1: Realisasi Pendapatan dan Belanja Negara 2007 - 2013 |
Tabel 2: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2007 - 2013 |
Begitu juga pada 2010 dan 2011, realisasi defisit anggaran
lebih rendah dari yang dianggarkan. Tetapi, penurunan defisit ini ternyata
tidak membuat anggaran belanja barang modal dan infrastruktur naik. Penurunan defisit
tahun 2010 dari anggaran Rp 98 triliun (1,6 persen dari PDB) menjadi realisasi Rp 46,8 triliun (0,73
persen dari PDB) tidak dialihkan ke belanja program lainnya. Apakah wacana
kenaikan harga BBM kali ini dapat dialihkan ke belanja “produktif” lainnya?
Mari kita tunggu tanggal mainnya.
--- 000 ---
Comments
Post a Comment