MENELAAH PERHITUNGAN SUBSIDI BBM TAHUN 2014 - BAGIAN TIGA
Bagian Tiga: Neraca Keuangan
Negara Terkait BBM Tahun Anggaran 2014
Di bagian satu dari tulisan ini (http://bit.ly/1oOWbe6) kita sudah menelaah
bahwa “subsidi” BBM 2014 (premium, minyak tanah, solar) ternyata hanya sebesar Rp
201 triliun saja. Di bagian dua (http://bit.ly/1kQNPDq)
kita juga sudah menelaah dari mana angka Rp 201 triliun tersebut diperoleh.
Di dalam tulisan ini kita akan lebih mendalami lagi apa arti
“subsidi” BBM dan apakah benar ada “subsidi” BBM sebesar Rp 201 triliun pada
tahun 2014.
Istilah “subsidi” BBM di dalam APBN sebenarnya menimbulkan
kontroversi dan mengandung cacat istilah. Banyak yang mengartikan bahwa “subsidi”
BBM sebesar Rp 201 triliun merupakan pengeluaran negara secara tunai.
Namun, di lain sisi negara juga mempunyai penerimaan minyak
bumi dari bagi hasil produksi domestik, yang mana penerimaan ini tidak
diperlakukan sebagai pengurang “subsidi” BBM. Faktor ini yang memberi kesan bahwa
“subsidi” BBM sangat besar sekali meskipun negara mempunyai penerimaan minyak
bumi, karena penerimaan ini dicatat tersendiri alias tidak terintegrasi dengan
catatan “subsidi” BBM. Selain itu, perhitungan “subsidi” BBM tidak berdasarkan
angka nyata, tetapi berdasarkan angka hipotetikal, yaitu, menggunakan harga
acuan internasional berdasarkan MOPS (Mean
of Platts Singapore).
Sebelum kita bahas lebih lanjut, ada baiknya saya berikan
sekali lagi data dan asumsi dari tulisan-tulisan sebelumnya yang saya tuangkan
lagi di tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1: Perhitungan Terkait BBM "Bersubsidi"
Diasumsikan harga minyak mentah 105 dolar AS per barel dan kurs rupiah Rp 11.600 per dolar AS, sehingga harga minyak mentah dalam rupiah menjadi Rp 1.218.000 per barel, atau Rp 7.661 per liter. Biaya proses refinery, distribusi dan marjin keuntungan untuk Pertamina dianggarkan Rp 2.800 per liter, sehingga biaya (atau harga pokok) BBM menurut harga acuan internasional menjadi Rp 10.461 per liter, atau Rp 481 triliun untuk total 46 juta kiloliter BBM “bersubsidi”.
Dari produksi minyak dalam negeri yang diperkirakan mencapai
818.000 barel per hari, negara diproyeksikan menerima minyak mentah senilai Rp
154,75 triliun, atau di dalam liter menjadi 20.199.749.988 liter minyak mentah.
Perolehan minyak mentah ini kemudian “dijual” kepada Pertamina untuk memenuhi
kebutuhan BBM di dalam negeri. (Perlu dicatat, bahwa biaya untuk memperoleh
20,199 miliar liter minyak mentah ini adalah nol karena merupakan hasil dari
bagi-hasil dari PSC atau Production Shraring
Contract.) Adapun kebutuhan konsumsi BBM “bersubsidi” di dalam negeri
diperkirakan mencapai 46 miliar liter, sehingga terjadi kekurangan
25.800.250.012 liter yang harus dipenuhi dari impor.
Seluruh minyak mentah ini kemudian diproses menjadi BBM siap
pakai dan didistribusikan melalui SPBU-SPBU Pertamina. Biaya proses refinery, distribusi dan ditambah marjin
keuntungan, dianggarkan Rp 2.800 per liter, dengan perincian:
(1) biaya
proses refinery = Rp 2.081,6 per
liter, dan
(2) biaya
distribusi dan marjin laba, atau disebut juga biaya Alpha BBM = Rp 718,4 per
liter.
Gambar 1 menggambarkan arus barang berkenaan dengan 46 juta
kiloliter (= 46 miliar liter) BBM “bersubsidi” tersebut.
Gambar 1: Arus Barang
Terkait Dengan 46 Miliar Liter BBM “Bersubsidi”
Sedangkan Gambar 2 di bawah ini menggambarkan arus kas,
baik arus kas Pertamina maupun arus kas negara, berkenaan dengan distribusi 46
juta kiloliter BBM “bersubsidi”.
Gambar 2: Arus Kas Terkait
Dengan 46 Miliar Liter BBM Bersubsidi
Dari penjualan 46 miliar BBM “bersubsidi” kepada masyarakat,
Pertamina memperoleh pendapatan sebesar Rp 280 triliun (lihat bagian dua).
Akan tetapi, total biaya yang harus dikeluarkan oleh Pertamina
untuk mendistribusikan 46 miliar liter BBM “bersubsidi” ini, berdasarkan harga
acuan internasional dan anggaran biaya proses refinery, distribusi dan marjin keuntungan, mencapai Rp 481
triliun, terdiri dari:
a)
biaya minyak mentah: Rp 352 triliun (lihat table
di atas), terdiri dari pembelian dari pemerintah Rp 154 triliun + dari impor Rp
198 triliun, dan
b)
biaya refinery, distribusi dan marjin laba: Rp
129 triliun (= 46 miliar liter @ Rp 2.800).
Berdasarkan perhitungan di atas, maka Pertamina mengalami
defisit Rp 201 triliun, di mana defisit ini akan diganti oleh pemerintah, dan
uang pengganti ini yang dinamakan “subsidi”.
Jadi, dalam konteks ini, subsidi berarti uang penggantian yang
diberikan oleh negara kepada Pertamina karena perhitungan biaya BBM secara
teoretis, yang mengacu pada harga internasional, lebih tinggi dari pendapatan Pertamina
dari penjualan BBM “bersubsidi”. Sedangkan pada jenjang negara, masih ada
penerimaan hasil minyak sebesar Rp 154 triliun yang tidak diperhitungkan sama
sekali dengan “subsidi” ini. Dengan demikian, maka “subsidi” dalam konteks BBM tidak
dapat diartikan sebagai pengeluaran uang tunai sepenuhnya. Artinya, “subsidi”
BBM (dan juga “subsidi” gas) mempunyai konteks yang berbeda dengan
subsidi-subsidi lainnya, misalnya subsidi listrik, pupuk, dan lainnya, yang
memang merupakan pengeluaran uang tunai negara ke instansi bersangkutan.
Berkenaan dengan neraca keuangan negara 2014 terkait dengan
minyak dan BBM “bersubsidi” mengalami defisit Rp 47 triliun (penerimaan = Rp
154 triliun – “subsidi” Rp 201 triliun). Sebagai informasi, tabel di bawah ini memuat
data realisasi neraca keuangan negara (yaitu, penerimaan – “subsidi”) terkait
dengan Migas (= Minyak Bumi / BBM
dan Gas) untuk periode 2006 - 2011. (Tidak tersedia data yang jelas yang hanya memerinci
penerimaan dan subsidi Minyak Bumi / BBM saja.) Dari data tersebut dapat
dilihat bahwa neraca keuangan negara terkait dengan sektor migas untuk periode
2006 – 2011 selalu mengalami surplus.
Dari uraian di atas semoga kita semua dapat memahami bahwa
“subsidi” BBM dan neraca keuangan negara terkait dengan BBM merupakan dua hal
yang berbeda. Meskipun di dalam APBN tercatat ada “subsidi” BBM, hal ini tidak
berarti bahwa neraca keuangan terkait dengan BBM juga mengalami defisit sebesar
nilai “subsidi” BBM tersebut karena ada penerimaan negara atas penjualan minyak
mentah kepada Pertamina yang tidak diperhitungkan di dalam perhitungan
“subsidi”. Dalam contoh di atas, jumlah yang harus dibayar pemerintah kepada Pertamina
tahun 2014 hanya Rp 47 triliun saja, bukan Rp 201 triliun.
--- 000 ---
Comments
Post a Comment