Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2014 Meleset Tajam: Perkiraan atau Harapan?

Setiap tahun pemerintah akan membuat perkiraan pertumbuhan ekonomi beserta asumsinya yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Untuk tahun 2014, pada awalnya pemerintah (c.q. Kementerian Keuangan) memperkirakan ekonomi kita akan bertumbuh sebesar 6,0 persen. Bank Indonesia juga sangat optimis dan memperkirakan ekonomi kita akan bertumbuh antara 5,8 persen – 6,2 persen. Perkiraan pertumbuhan ekonomi oleh kedua institusi lokal ini jauh di atas perkiraan Bank Dunia dan IMF (International Monetary Fund) yang masing-masing memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,3 persen dan 5,4 persen. Dengan demikian terdapat perbedaan perkiraan yang cukup signifikan antara dua institusi lokal (Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia) dan dua instiutusi dunia (Bank Dunia dan IMF) tersebut.

Perkiraan pertumbuhan ekonomi 2014 yang diprediksi oleh kedua local institutions ini terasa sangat kontradiktif karena perkiraan tersebut di atas pertumbuhan 2013 yang sebesar 5,78 persen. Padahal kebijakan ekonomi di penghujung tahun 2013 mengarah pada pelambatan ekonomi seperti yang dikatakan secara eksplisit oleh kedua local institutions tersebut: suku bunga acuan Bank Indonesia naik hingga 7,5 persen, pelarangan ekspor minerba (mineral dan batubara) mentah efektif berlaku 12 Januari 2014, disinsentif impor yang akan berdampak negatif pada produksi dalam negeri, dan lainnya lagi yang pada intinya akan mengerem laju pertumbuhan ekonomi demi menjaga defisit neraca perdagangan dan neraca pembayaran agar tidak terjerumus lebih dalam lagi, serta menjaga nilai tukar rupiah.

Pada triwulan I 2014, ekonomi Indonesia ternyata hanya bertumbuh 5,21 persen saja dibanding triwulan I 2013 (y-o-y). Realisasi pertumbuhan yang jauh dari perkiraan ini akhirnya membuat Bank Indonesia merevisi lagi perkiraannya menjadi 5,1 persen – 5,5 persen saja. Revisi ini dilakukan pada awal Mei 2014 dan merupakan yang kedua kalinya. Sebelumnya, pada pertengahan Maret 2014, Bank Indonesia sudah merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomi 2014 menjadi 5,5 persen – 5,9 persen. Langkah Bank Indonesia akhirnya juga diikuti oleh pemerintah dengan merevisi pertumbuhan ekonomi 2014 dari 6 persen menjadi 5,5 persen.

Namun, revisi pertumbuhan ekonomi menjadi 5,5 persen inipun kelihatannya sulit tercapai. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2014 hanya 5,12 persen (y-o-y) saja, sehingga secara total pertumbuhan ekonomi semester I 2014 hanya mencapai 5,17 persen saja. Oleh karena itu, pertumbuhan 5,5 persen sangat sulit tercapai.

Apakah melesetnya perkiraan tersebut merupakan sebuah masalah besar? Bukankah kita hanya tinggal merevisinya saja, maka permasalahan selesai?

Tentu saja perkiraan dapat meleset, dan bahkan hampir mustahil perkiraan akan menjadi kenyataan. Tetapi, kalau melesetnya terlalu jauh maka hal ini dapat menjadi permasalahan besar terutama pada anggaran pendapatan dan belanja pemerintah. Alhasil, pemerintah terpaksa harus memangkas anggaran belanjanya pada tahun 2014 ini sebesar Rp 100 triliun untuk menjaga agar defisit pada anggaran tidak melebihi 3 persen dari PDB, dari target semula yang hanya 1,69 persen.

Mengapa perkiraan pertumbuhan 2014 yang pada awalnya dipatok 6,0 persen, tetapi kini nampaknya jauh dari jangkauan? Padahal, besaran ekonomi pada awal tahun ini tidak jauh berbeda dari progress ekonomi pada bulan-bulan sebelumnya. Jawabannya terletak pada pemilihan asumsi makro yang terlalu optimistis. Misalnya, nilai tukar rupiah diasumsikan akan menjadi Rp 10.500 per dolar AS, lifting minyak 870 ribu barel per hari, dan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,0 persen. Padahal, nilai tukar rupiah menjelang akhir tahun 2013 sudah sekitar Rp 11.500 – Rp 12.000 per dolar AS dan tekanan terhadap rupiah masih kuat. Lifting minyak hanya sekitar 825 ribu barel per hari pada 2013, dan pertumbuhan triwulan III dan triwulan IV 2013 masing-masing 5,62 persen dan 5,72 persen, menurun dari triwulan I dan triwulan II.

Jelas perkiraan makro pada APBN 2014 yang lalu terlalu optimistis. Atau, perkiraan makro tersebut lebih pantas disebut harapan? Sangat berbahaya apabila perkiraan ekonomi dibuat berdasarkan harapan, bukan berdasarkan fakta realitas dan objektif. Kita sangat mengerti kalau kenyataan bisa jauh berbeda dari perkiraan apabila terjadi hal-hal yang diluar dugaan. Misalnya, harga minyak dunia naik drastis, atau nilai tukar rupiah turun drastis, atau suku bunga pinjaman melonjak. Tetapi, hal-hal tersebut tidak terjadi, dan bahkan kelihatannya cukup stabil dibanding akhir tahun lalu. Toch, realisasi jauh di bawah perkiraan.

Sekali lagi, perkiraan ekonomi kita dibuat berdasarkan perkiraan atau harapan belaka?

Baca juga tulisan sebelumnya di http://bit.ly/1hLrzF3: Ekonomi 2014 Cenderung Kontraksi.

--- 000 ---

Comments

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial