Neraca dan Subsidi BBM: Kreativitas Fiskal dan Pembodohan Terhadap Masyarakat

(bagian 3 – selesai)

Ringkasan bagian sebelumnya, Sultan Negeri RI bekerja sama dengan Mitra Asing mengelola tanah nan subur ini, dan menghasilkan 100 unit Produk MB per tahun dengan pembagian 30%, atau 30 unit, untuk Mitra Asing dan 70%, atau 70 unit, untuk Sultan. Pada awalnya, 70 unit Produk MB ini jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Tetapi, perkembangan akhir-akhir ini cukup membuat Sultan pusing. Pasalnya, produksi dalam negeri turun, sedangkan Mitra Asing ingin bagi hasil produksi dirubah akibat biaya kelola tanah (yang dinamakan cost recovery) meningkat: bagi hasil yang pada awal kesepakatan sebesar 30% untuk Mitra Asing dan 70% untuk Sultan minta dirubah menjadi 33,33% (atau 1/3 bagian) untuk Mitra Asing dan 66,67% (atau 2/3 bagian) untuk Sultan. Selain itu, permintaan konsumsi Produk MB di dalam negeri juga meningkat terus sehingga kebutuhan dalam negeri tidak dapat lagi dipenuhi oleh produksi dalam negeri, tetapi harus dipenuhi juga dari impor. Negeri RI sekarang sudah menjadi net importir Produk MB. (Sounds like Indonesia, right?)

Dari data terakhir tercatat bahwa hasil produksi pengelolaan tanah hanya mencapai 90 unit Produk MB. Dengan kesepakatan bagi hasil yang terakhir, Mitra Asing memperoleh 1/3 bagian atau 30 unit Produk MB, sedangkan Sultan akan memperoleh 2/3 bagian atau 60 unit Produk MB. Seluruh Rakyat RI tidak ada yang tahu, secara sadar atau tidak sadar, bahwa penurunan produksi hasil kelola Mitra Asing dari 100 unit menjadi 90 unit tidak membuat bagian perolehan Mitra Asing turun: Mitra Asing tetap memperoleh 30 unit. Artinya, seluruh penurunan produksi tersebut dibebankan kepada Sultan melalui kesepakatan bagi hasil yang baru akibat cost recovery naik. Bukan sulap dan bukan magic, tetapi nyata terjadi di Negeri RI yang tercinta ini: penurunan produksi yang dilakukan oleh Mitra Asing sebagai pengelola tanah tidak membuat perolehan mereka turun.

Seperti diuraikan di atas, konsumsi Produk MB di dalam negeri meningkat terus dari 70 unit per tahun menjadi 75 unit per tahun. Karena Sultan sekarang hanya memperoleh 60 unit dari pengelola Mitra Asing, maka Sultan harus mengimpor Produk MB sebanyak 15 unit untuk memenuhi total kebutuhan dalam negeri.

Nasib baik tidak berpihak pada Sultan. Belakangan ini, harga Produk MB di luar negeri juga naik sangat pesat, menjadi rata-rata Rp 4.000 per unit dari (harga sebelumnya sebesar Rp 3.000 unit). Melihat perkembangan yang sangat mengkhawatirkan ini, Pembantu Keuangan Sultan mulai menghitung apakah keuangan Sultan masih aman. Seperti biasa, Pembantu Keuangan sangat terperanjat melihat hasil perhitungannya, dan segera menghadap Sultan, melaporkan bahwa posisi keuangan Sultan dalam bahaya besar dan akan jebol apabila harga Produk MB di dalam negeri (yang sebesar Rp 1.500 per unit) tidak dinaikkan: “Subsidi MB” akan melonjak lagi secara drastis, dan kali ini tidak tanggung-tanggung dari Rp 115.000 pada tahun sebelumnya menjadi Rp 197.500 pada tahun ini, seperti terlihat dalam perhitungan di bawah ini.

Pembukuan PT Perta-MB
Penjualan MB kepada masyarakat                                                                Rp 112.500 (75 unit @ Rp 1.500)
Pembelian MB dari Sultan      (60 unit @ Rp 4.000)   Rp 240.000
Pembelian MB Impor               (15 unit @ Rp 4.000)   Rp   60.000 +/+
Total Pembelian MB                                                                                       Rp 300.000 -/-
Rugi sebelum Biaya Operasional                                                                   Rp 187.500
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll)                                                    Rp   10.000 +/+
Total Kerugian yang harus di-“subsidi”                                                          Rp 197.500
“Subsidi” dari Sultan                                                                                       Rp 197.500 -/-
Total                                                                                                               Rp  0 (nihil)

Mendengar laporan tersebut, Sultan langsung segera tampil di depan publik, tentu saja sambil berkeluh kesah seperti biasanya, menyampaikan bahwa keuangan negara sedang mengalami kesulitan yang maha dahsyat akibat kenaikan harga Produk MB di luar negeri yang sangat tinggi, ditambah jumlah impor yang cukup tinggi karena konsumsi dalam negeri naik sedangkan produksi dalam negeri turun sehingga seluruh kebutuhan dalam negeri tidak dapat dipenuhi dari hasil produksi dalam negeri.

Sekali lagi, Sultan mohon dengan sangat agar Rakyat RI dapat mengerti bahwa harga Produk MB di pasar domestik terpaksa harus dinaikkan lagi (dengan Rp 1.000 per unit), menjadi Rp 2.500 per unit, demi menyelamatkan keuangan Sultan. Dengan cara ini diharapkan beban “Subsidi MB” dapat ditekan untuk tidak naik terlalu tajam, hanya naik dari Rp 115.000 menjadi Rp 122.500, seperti terlihat pada perhitungan di bawah ini:

Pembukuan PT Perta-MB
Penjualan MB kepada masyarakat                                                                   Rp 187.500 (75 unit @ Rp 2.500)
Pembelian MB dari Sultan       (60 unit @ Rp 4.000)   Rp 240.000
Pembelian MB Impor               (15 unit @ Rp 4.000)   Rp   60.000 +/+
Total Pembelian                                                                                               Rp 300.000 -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional                                                    Rp 112.500
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll)                                                      Rp   10.000 +/+
Total Kerugian yang harus di-“subsidi”                                                            Rp 122.500
“Subsidi” dari Sultan                                                                                        Rp 122.500
Total                                                                                                                Rp  0 (nihil)

Setelah sekian lama mengikuti alur pikiran Sultan dan para pembantunya terkait “Subsidi MB” ini, KKG sudah paham benar bagaimana cara Para Pembantu Sultan menyampaikan dan menyembunyikan informasi yang membodohi masyarakat ini. Lagi-lagi KKG mengintip Nota Keuangan Sultan dan membeberkannya sebagai berikut:

Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
Pendapatan (dari PT Perta-MB)                 Rp 240.000 (60 unit @ Rp 4.000)
“Subsidi MB” (kepada PT Perta-MB)           Rp 122.500 (lihat pembukuan PT Perta-MB di atas) -/-
Laba (Surplus)                                            Rp 117.500

Dari Nota Keuangan Sultan dapat dibaca bahwa keuangan Sultan tahun ini sebenarnya mengalami Surplus yang lebih besar dari tahun sebelumnya, yaitu dari surplus Rp 95.000 menjadi surplus Rp 117.500, akibat harga domestik dinaikkan dengan Rp 1.000 per unit, disesuaikan dengan kenaikan harga internasional, meskipun jumlah Produk MB yang diterima oleh Sultan (dari bagi hasil kelola tanah dengan Mitra Asing) turun dari 70 unit menjadi 60 unit dan jumlah impor naik dari 0 unit menjadi 15 unit.

Para Pembantu Sultan sekali lagi mensosialisasikan bahwa Sultan sebenarnya sangat bermurah hati karena meningkatkan jumlah “Subsidi MB” dari Rp 115.000 menjadi Rp 122.500, meskipun ada kenaikan harga domestik menjadi Rp. 2.500 per unit. Artinya, kenaikan harga domestik tersebut sebenarnya tidak terlau besar untuk dapat mencukupi kenaikan harga internasional serta kenaikan jumlah impor, di mana dapat dilihat  dari jumlah “Subsidi MB” yang masih meningkat. Tetapi, informasi bahwa Surplus Produk MB mengalami peningkatan dari Rp 95.000 menjadi Rp 117.500 seperti terbaca dari Nota Keuangan Sultan, tidak akan pernah terungkap apabila ekonom yang bernama KKG tidak menelanjanginya.

Masyarakat kini sudah mengerti benar duduk perkaranya, dan segera akan meminta pendapat Majelis Para Rakyat atau Majelis Konstitusi Rakyat untuk menurunkan fatwanya apakah Sultan boleh dengan seenaknya menaikkan harga domestik Produk MB sesuai dengan harga internasional sedangkan nyata-nyata Surplus di dalam Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB malah bertambah besar akibat kenaikan harga tersebut.

Kita tunggu jawaban Majelis Para Rakyat atau Majelis Konstitusi Rakyat, dan kita lihat apakah mereka masih mempunyai rasa empati terhadap Rakyat, dan pantas menyandang kata Rakyat dibelakang kata Majelis.

--- Selesai ---

Semoga bermanfaat – Salam Sejahtera

Comments

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

BUMN dan Pemerintah: Mesin Utang Luar Negeri

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial