Pra-bayar Kartu Tol (2): Peraturan Bank Indonesia Berpotensi Menghambat Efisiensi dan Inovasi



Menurut rencana, Jasa Marga akan memberlakukan transaksi non tunai di seluruh jalan tol di Indonesia (full ekektronifikasi) per 31 Oktober 2017. Artinya, pengguna jalan tol tidak dapat lagi membayar tol secara tunai, tetapi harus menggunakan kartu (elektronik) tol yang harus diisi saldo terlebih dahulu, alias pra-bayar. Biasanya kartu pra-bayar dikeluarkan langsung oleh perusahaan pemberi jasa / barang seperti yang terjadi di industri telekomunikasi khususnya telpon seluler. Dalam hal ini, kartu pra-bayar Indosat (misalnya) dikeluarkan langsung oleh Indosat, dan penerimaan uangnya juga masuk ke Indosat. Artinya, tidak ada perantara seperti institusi perbankan. Tetapi, (pra-bayar) kartu tol tidak seperti itu. Kartu tol bukan diterbitkan oleh Jasa Marga sebagai penyedia layanan tol, tetapi diterbitkan oleh institusi perbankan, yang saat ini “dikuasai” oleh bank-bank negara (BUMN) seperti Bank Mandiri (e-money), Bank BRI (e-toll card), Bank BNI (TapCash).

Menjelang full elektronifikasi ini, mencuat isu bahwa isi ulang (top up) saldo kartu (elektronik) tol akan dikenakan biaya sekitar Rp 1.500 hingga Rp 2.500 per sekali top-up. Rencana pengenaan biaya top-up ini awalnya akan difasilitasi oleh Bank Indonesia (BI) dengan memberi payung hukum yang mengatur biaya top-up. Tetapi, reaksi masyarakat sangat negatif atas rencana pengenaan biaya top up ini. Hampir semua elemen masyarakat menolak rencana tersebut. Karena terjadi penolakan yang begitu gencar, Himbara (Himpunan Bank Negara) memberi pernyataan bahwa bank-bank negara tersebut tidak akan mengenakan biaya top-up apabila dilakukan di bank penerbit kartu tol. Namun demikian, BI masih tetap akan mengeluarkan peraturan tentang pembayaran secara elektronik. Pada 20 September 2017, BI menerbitkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/10/PADG 2017 tentang National Payment Gateway (NPG) yang di dalamnya juga mengatur biaya top-up secara umum (termasuk kartu tol). Intinya, top-up di bawah nominal Rp 200.000 di bank penerbit kartu tol tidak dikenakan biaya. Tetapi untuk top-up di atas nominal Rp 200.000 dapat dikenakan biaya maksimal Rp 750 kalau dilakukan di bank penerbit kartu-tol, atau maksimal Rp 1.500 kalau dilakukan di bank non-penerbit kartu tol.

Peraturan ini akan merugikan masyarakat secara umum, menghambat perkembangan teknologi penggunaan uang elektronik (menuju cashless society), serta menghambat perkembangan teknologi otomatisasi pembayaran tol dan transportasi lainnya seperti Trans Jakarta, MRT dan sebagainya. Kok bisa? Bukankah NPG mempunyai cita-cita mempercepat mewujudkan cashless society? Kok malah menghambat?

Sebagai perbandingan, mari kita lihat bagaimana pelayanan tol di negara maju. Kita ambil contoh Bay Area, San Francisco, Amerika Serikat yang mempunyai delapan (8) jembatan tol, antara lain Bay Bridge yang diresmikan tahun 1936 dan Golden Gate Bridge yang diresmikan tahun 1937. Bagaimana cara pembayaran tol di sana? Di Bay Bridge, pengguna tol masih dapat membayar tol secara tunai di gardu tol tunai. Selain itu, pengguna tol juga dapat membayar tol secara elektronik (pra-bayar) yang disebut FasTrak (semacam ERP atau Electronic Road Pricing) di gardu (lajur) elektronik. Bagi mereka yang menggunakan (alat elektronik) FasTrak, atau pra-bayar, akan mendapatkan potongan tarif alias diskon. Ini adalah konsep pra-bayar yang benar, yaitu mendapat diskon atas uang yang “disimpan”, selain juga sebagai insentif untuk menggunakan kartu (elektronik) tol daripada tunai.

Bagaimana cara top-up saldo FasTrak? Sangat mudah dan fleksibel sekali, bisa dilakukan dengan berbagai cara: bisa menggunakan kartu kredit, tunai, cek atau money order. Yang terpenting bagi masyarakat, semua cara top-up tersebut tidak dikenakan biaya transaksi apapun, termasuk biaya top-up dengan menggunakan kartu kredit yang kita tahu ada biaya transaksinya: biaya transaksi kartu kredit tersebut ditanggung oleh perusahaan FasTrak sendiri.

Di Golden Gate Bridge yang tidak mempunyai gardu tunai, semua pengguna tol harus melewati lajur otomatis (elektronik). Yang sangat menarik, selain cara pembayaran di atas, pengguna jalan tol bahkan bisa memilih untuk bayar (tol) belakangan untuk sekali jalan, alias post-paid (pasca-bayar), dengan cara tagihan jalan tol dikirim ke alamat rumah (atau ke alamat pemilik mobil berdasarkan nomor pelat mobil). Dalam hal ini, pengguna jalan tol juga tidak dikenakan biaya tagihan atau biaya administrasi apapun. Tagihan akan dikirim dalam waktu beberapa hari setelah melintasi tol (Golden Gate Bridge). Tagihan juga dapat dikirim secara bulanan. Luar biasa.

Kalau NPG terealisasi secara nasional, seperti tersirat dari kepanjangannya (National Payment Gateway), niscaya Indonesia akan mengalami kemunduran dalam hal electronic payment system: sistem top-up dan sistem cara pembayaran secara elektronis lainnya. Hal ini disebabkan karena pengembangan sistem pembayaran elektronnis yang akan datang akan tersandera dengan peraturan tersebut, yang akan menjadi satu-satunya cara pembayaran elektronis di masa depan, yaitu hanya melalui institusi perbankan dengan teknologi sederhana (seperti sekarang), di mana institusi perbankan lebih berorientasi menghasilkan pendapatan dari fixed income (top-up fee).

Inti dari contoh di atas adalah, penggunaan perangkat elektronik dan gardu tol otomatis di Bay Area, San Francisco, Amerika Serikat, tidak menghilangkan hak pengguna jalan tol untuk memilih cara pembayaran tol (tunai atau non-tunai, pra-bayar atau pasca-bayar), dan tidak pernah diharuskan membayar lebih dari tarif resmi jalan tol, termasuk tidak dikenai biaya administrasi maupun pungutan biaya top-up, meskipun top-up (atau pembayaran tagihan pasca-bayar) tersebut menggunakan kartu kredit yang kita tahu ada biaya transaksinya: biaya transaksi kartu kredit tersebut ditanggung oleh pengelola (FasTrak). Inilah hakekatnya demokrasi ekonomi: memberikan kebebasan memilih cara pembayaran kepada masyarakat. Oleh karena itu, peraturan seperti yang tertuang di NPG terkait rencana full elektronifikasi jalan tol berlawanan dengan demokrasi ekonomi, dan segala regulasi tersebut pada akhirnya akan menghambat efisiensi dan inovasi khususnya dalam bidang pembayaran otomatis jalan tol.

Semoga pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) memperhatikan hal ini dengan serius demi kemajuan masa depan Indonesia.


--- 000 ---

Comments

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial