Karut-Marut Peraturan Seputar Dana Hasil Ekspor
Banyak pihak berpendapat (baik dari kalangan pemerintah maupun pengamat ekonomi) bahwa DHE ini sebaiknya ditukar ke Rupiah agar dapat memperkuat cadangan devisa dan nilai Rupiah. Oleh karena itu, kalau DHE didepositokan dalam Rupiah maka akan mendapatkan insentif PPh tambahan.
Kalau kita cermati, peraturan di atas sangat tidak masuk akal. Pertama, eksportir mana yang sanggup mendepositokan hasil penjualannya (DHE adalah penjualan), apalagi untuk jangka waktu lebih dari 6 bulan? Bahkan kebanyakan eksportir kekurangan dana sehingga memerlukan kredit baik untuk modal kerja maupun investasi. Oleh karena itu, hasil penjualan ekspor (DHE) yang diterima sering kali langsung habis untuk bayar kredit tersebut. Jadi insentif pengurangan PPh tersebut di atas tidak akan ada gunanya.
Kedua, pendapat bahwa DHE seharusnya ditukar ke Rupiah agar dapat memperkuat cadangan devisa dan nilai tukar Rupiah juga tidak mempunyai dasar yang kuat. Banyak eksportir mempunyai kredit dalam dolar AS. Untuk mengurangi risiko valuta, kredit tersebut seharusnya juga dalam dolar AS. Ini yang dinamakan lindung nilai secara alamiah. Di samping itu, tidak sedikit eksportir mempunyai komponen biaya (bahan baku) dalam dolar AS karena harus impor. Dalam hal ini, tidak mungkin semua DHE dolar-nya ditukar ke Rupiah, dan kemudian membeli kembali dolar AS tersebut sewaktu diperlukan (untuk membiayai aktivitas operasional perusahaan atau membayar bunga pinjaman dan cicilan pokok dalam dolar AS). Biaya jual-beli valuta asing ini akan sangat mahal sekali. Jadi, peraturan ini sangat tidak masuk akal.
Bagi eskportir yang biaya operasionalnya mayoritas dalam Rupiah, tanpa diminta pun DHE dalam dolar AS tersebut pasti langsung ditukar ke dalam Rupiah untuk membiayai kegiatan operasional perusahaan. Kalau tidak, mana bisa perusahaan melanjutkan aktivitas produksinya.
Setiap eksportir yang mempunyai pabrik di Indonesia pasti sebagian besar biayanya harus dibayar di Indonesia, biaya operasional (produksi) maupun biaya bunga dan cicilan pokok pinjaman. Oleh karena itu, kalaupun ada DHE yang diparkir di luar negeri, pasti tidak begitu besar. Mungkin hanya sebatas pada sebagian dari labanya saja. Dan ini sangat mudah diketahui dari laporan keuangan eksportir. Dengan kata lain, dana ini adalah sah,
Selain itu, ada dana yang diparkir di luar negeri yang tidak sah. Misalnya, laba eksportir yang tidak diakui di Indonesia, dan oleh karena itu belum bayar pajak di Indonesia. Hal ini biasanya terjadi akibat praktik transfer pricing untuk mengurangi laba dan pembayaran pajak di dalam negeri.
Berdasarkan uraian di atas, saya meragukan data yang mengatakan ada DHE yang diparkir di luar negeri dalam jumlah yang sangat besar (kecuali dana yang diparkir tersebut ilegal, alias tidak diakui sebagai pendapatan dan laba di dalam negeri). Menurut Bank Indonesia yang dimuat kompas versi online pada 26/02/2016, DHE yang masuk ke perbankan domestik cukup tinggi, mencapai 96 persen untuk periode Januari 2012 hingga September 2015. Sedangkan DHE yang dikonversi ke Rupiah sekitar 11 persen, dan sepertinya ini untuk biaya operasional dalam Rupiah. Sisanya untuk membayar pengeluaran dalam mata uang asing, untuk pembelian bahan baku atau membayar bunga dan cicilan pokok pinjaman.
Jadi, yang dimaksud dengan dana yang diparkir di luar negeri sangat kecil kemungkinannya dari DHE. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi dan perpajakan terkait DHE pada dasarnya salah kaprah dan tidak efektif.
--- 000 ---
Comments
Post a Comment