Anomali Perekonomian Indonesia 2017: Ada Apa?


Sinopsis yang dilempar oleh watyutink.com sangat menarik dan sangat cerdas, mencermin tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap permasalahan terkini dalam bidang ekonomi dan sosial, yaitu anomali perekonomian Indonesia, di mana data pertumbuhan ekonomi makro yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) terlihat cukup baik dengan tingkat pertumbuhan 5,01 persen di semester I 2017, tetapi realitanya banyak toko ritel yang tutup, terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yang kemudian diidentikkan dengan daya beli masyarakat melemah. Mengapa ini bisa terjadi?

Ditinjau dari data ekonomi lainnya yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk melihat aktivitas ekonomi (leading indicator), sepertinya ekonomi kita di semester I 2017 ini memang kurang menggembirakan.

Pertama, pertumbuhan konsumsi listrik nasional, di mana selama semester I 2017 hanya naik 2,4 persen saja (yoy, artinya dibandingkan periode yang sama tahun lalu, dalam hal ini semester I 2016). Konsumsi listrik biasanya mempunyai korelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi: pertumbuhan konsumsi listrik bahkan biasanya lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Sekarang malah lebih rendah. Ini juga sebuah anomali. Pertumbuhan listrik yang cukup rendah ini dapat mengindikasikan aktivitas ekonomi tidak terlalu tinggi?

Kedua, berdasarkan data BKPM (Badan Koordinator Penanaman Modal) realisasi Investasi di semester I 2017 hanya tumbuh 12,9 persen (yoy), terendah dalam lima tahun terakhir ini. Pertumbuhan Investasi domestik, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), di kuartal II 2017 (Rp 61 triliun) bahkan turun 11,3 persen dibandingkan dengan kuartal sebelumnya (Kuartal I 2017) yang tercatat sebesar Rp 68,8 triliun. Hal ini pasti memberi dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, yang akhirnya akan mengurangi daya beli masyarakat. 

Ketiga, pertumbuhan kredit perbankan di semester I 2017 menunjukkan aktivitas ekonomi masih kurang bergairah. Pertumbuhan kredit semester I tahun ini hanya 7,6 persen saja (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan tahun lalu (semester I 2016) yang sempat mencapai 8,5 persen. Dari kredit perbankan tersebut, Kredit Investasi hanya tumbuh 6,1 persen (yoy), sedangkan tahun lalu masih mencapai 12 persen (yoy). Jadi sangat jelas terlihat pelambatan pertumbuhan Kredit Investasi pada semester ini. Pertumbuhan Kredit Investasi yang kurang menggembirakan ini sejalan dengan data BKPM yang menunjukkan pertumbuhan realisasi investasi khususnya dalam negeri yang masih rendah.

Dari data indikator ekonomi tersebut di atas dapat dijadikan indikasi dan dipahami bahwa aktivitas ekonomi selama enam bulan pertama 2017 ini memang masih sangat lemah. Bisa saja aktivitas ekonomi yang masih lemah ini mendukung fakta pasar ritel lagi sepi pengunjung, yang secara awam dikatakan daya beli masyarakat melemah. Artinya, berdasarkan data mikro di atas dapat dikatakan tidak ada anomali di perekonomian kita di semester I 2017 ini.

Tetapi, mengapa data ekonomi makro menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik di semester I 2017 ini? Di sini lah mungkin terletak anomali, atau keanehan, tersebut? Semua masih teka-teki, tetapi fakta di lapangan dan keluhan para pelaku usaha (daya beli melemah) tidak bisa diabaikan: gerai tutup, toko tutup, terjadi PHK. Itu semua harus menjadi perhatian pemerintah, meskipun data ekonomi makro menunjukkan angka yang bagus: turun ke lapangan, inspeksi, jangan di belakang meja saja.


Anthony Budiawan - managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

--- 000 ---

Comments

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial