Pengenaan Pajak Penghasilan Final Seharusnya Batal Demi Hukum


Pajak merupakan alat bagi pemerintah mengenakan pungutan kepada penduduk (perorangan) dan badan usaha tetap / perusahaan sehubungan dengan perolehan penghasilan. Oleh karena itu, pengenaan pajak harus ada dasar hukumnya yang dituangkan dalam undang-undang agar pemerintah tidak dapat sewenang-wenang mengenakan pajak kepada Wajib Pajak (WP), perorangan maupun perusahaan. Pungutan pajak yang bertentangan dengan UU harusnya tidak sah dan batal demi hukum.

Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang berlaku saat ini adalah undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang kemudian diperbaharui (diubah), berturut-turut, dengan (1) undang-undang nomor 7 tahun 1991 (2) undang-undang nomor 10 tahun 1994 (3) undang-undang nomor 17 tahun 2000, dan (4) undang-undang nomor 36 tahun 2008.

Definisi Penghasilan
Di dalam UU PPh tersebut di atas ditentukan jenis penghasilan apa saja yang dapat dikenakan pajak. Yang dimaksud dengan Penghasilan adalah: setiap penambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, seperti tertuang di Pasal 4 ayat (1).

Bagi WP Badan (Perusahaan), penghasilan yang dikenakan pajak adalah laba usaha, alias Penghasilan Neto, yang dihitung dari Penghasilan Bruto dikurangi biaya, seperti diatur di Pasal 6 ayat (1).

Kompensasi Kerugian (Penghasilan Negatif)
Apabila ternyata Perusahaan mengalami rugi pada tahun tertentu, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan Penghasilan (keuntungan) pada tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan lima tahun, seperti di atur di Pasal 6 ayat (2).

Tarif Pajak Penghasilan
Setelah Penghasilan Kena Pajak ditetapkan, kemudian ditentukan tarif PPh yang harus dibayar oleh Wajib Pajak (Pasal 17). Tarif PPh Badan saat ini ditetapkan 25 persen (flat): artinya, berapapun Penghasilannya tetap dikenakan tarif pajak yang sama, yaitu 25 persen. Bagi WP Perorangan, tarif PPh menggunakan tarif progresif dari 5 persen, 15 persen, 25 persen hingga 30 persen: semakin besar penghasilannya, semakin besar tarif PPh yang harus dibayar atas penghasilan tersebut.

Pajak Penghasilan Final: Pasal 4 Ayat (2)
Dengan alasan demi kemudahan pemerintah kemudian mengenalkan Pajak Penghasilan yang bersifat final (PPh Final) yang dikenakan atas penghasilan tertentu. Artinya, kewajiban pajak atas penghasilan tertentu tersebut dianggap selesai ketika telah dibayar (dilakukan pemotongan, pemungutan atau penyetoran atas nama WP yang bersangkutan), dan, oleh karena itu, tidak perlu diperhitungkan lagi sebagai Penghasilan Kena Pajak pada akhir tahun. Pasal 4 ayat (2), huruf (a) sampai huruf (d) UU PPh mengatur jenis penghasilan tertentu yang dikenakan PPh Final:

(a) penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
(b) penghasilan berupa hadiah undian;
(c) penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
(d) penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan;

dan penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP).

Batal Demi Hukum
Pada dasarnya pengenaan PPh Final menganut sistem perpajakan sederhana sehingga bersifat final. Tetapi, penyederhaan pemungutan pajak seharusnya tidak boleh bertentangan dengan asas keadilan, apalagi sampai bertentangan dengan pasal-pasal lainnya di UU PPh. Untuk itu mari kita telaah pengenaan PPh Final pada Pasal 4 ayat (2) masing-masing huruf tersebut di atas.

Pasal 4 ayat (2) Huruf (a) dan Huruf (b)
Penghasilan yang dimaksud pada Pasal 4 ayat (2) huruf (a) dan huruf (b) pada hakekatnya cukup jelas karena definisi penghasilan sesuai dengan UU seperti diuraikan di ayat (1) pasal yang sama. Penghasilan dari bunga (deposito dan sejenisnya) dan hadiah undian jelas termasuk penambahan kemampuan ekonomis, dan wajib dikenakan pajak penghasilan. Dalam hal ini, pengenaan PPh Final pada dasarnya dapat diterima terutama apabila dikenakan pada orang pribadi, meskipun pengenaan PPh Final ini bisa bertentangan dengan keadilan: sebagai contoh, bagi WP yang saat ini bayar pajak 5 persen, pendapatan bunganya dikenakan PPh final 20 persen!

Pasal 4 ayat (2) Huruf (c) dan Huruf (d)
Tetapi, pengenaan PPh Final untuk objek pajak pada Pasal 4 ayat (2) huruf (c) dan huruf (d) dapat menjadi masalah karena pengenaannya dapat bertentangan dengan pasal-pasal lainnya di UU PPh yang berlaku karena dasar pengenaan PPh Final tersebut tidak sesuai dengan pengertian Penghasilan secara umum maupun pengertian Penghasilan di dalam UU PPh, yaitu penambahan kemampuan ekonomis yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan WP.

Alasannya, dasar pengenaan PPh Final untuk transaksi saham (sekuritas dan derivatif) yang diperdagangkan di bursa, menurut PP nomor 41 tahun 1994 dan PP nomor 14 tahun 1997, serta untuk usaha jasa konstruksi, real estate dan persewaan tanah dan/atau bangunan adalah berdasarkan nilai transaksi, yang tentu saja tidak sama dengan definisi laba atau keuntungan seperti dimaksud pada Pasal 6 ayat (1), dan juga tidak sama dengan definisi Penghasilan, atau penambahan kemampuan ekonomis, seperti dimaksud pada Pasal 4 ayat (1). Oleh karena itu, pengenaan PPh Final pada objek pajak huruf (c) dan huruf (d) berdasarkan nilai transaksi seharusnya batal demi hukum.

Kalau pemerintah ingin mengenakan pajak pada setiap transaksi di bursa berdasarkan nilai transaksi, sebaiknya pemerintah mengenalkan pajak baru, semacam pajak penjualan yang berdasarkan nilai transaksi.

Selain itu, transaksi saham (sekuritas dan derivatif lainnya) yang diperdagangkan di bursa serta usaha jasa konstruksi, real estate dan persewaan tanah dan/atau bangunan pada kenyataannya dapat mengalami rugi sehingga mengurangi kemampuan ekonomis WP. Dalam hal ini, pengenaan PPh Final sangat merugikan WP dan bertentangan dengan dua (2) pasal lainnya di UU PPh. Pertama, perusahaan yang dalam kondisi rugi seharusnya tidak dikenakan Pajak Penghasilan seperti dimaksud pada Pasal 4 ayat (1), sehingga PPh Final yang sudah dibayar seharusnya dikembalikan kepada Perusahaan. Tetapi, karena PPh Final bersifat final dan mekanisme pemajakannya dianggap selesai ketika dipungut (baca: dibayar), maka PPh final yang sudah dibayar tersebut tidak dapat dikembalikan, meskipun Perusahaan dalam kondisi rugi. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1), dan seharusnya batal demi hukum. Kedua, karena PPh Final yang sudah dibayar bersifat final dan mekanisme pemajakannya dianggap selesai, maka kerugian perusahaan juga tidak dapat dikompensasikan dengan penghasilan atau keuntungan di tahun-tahun berikutnya seperti yang di maksud pada Pasal 6 ayat (2), yang berbunyi: Apabila penghasilan bruto setelah dikurangi biaya (sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1)) didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

Oleh karena itu, PPh Final pada Pasal 4 ayat (2) huruf (c) dan huruf (d) juga bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) karena meniadakan hak kompensasi kerugian perusahaan, oleh karena itu, seharusnya batal demi hukum.

--- 000 ---

Comments

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial