Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Di Atas 10 Persen: Mission Impossible?

Setelah perang dunia II (WWII) tahun 1945, banyak negara terjajah kemudian terbebas dan merdeka. Indonesia merdeka tahun 1945 setelah terjajah selama 350 tahun  oleh Belanda dan 3,5 tahun oleh Jepang (lebih tepatnya diduduki oleh Jepang). Malaysia dan Singapore memperoleh kemerdekaannya dari Inggris tahun 1965. Taiwan menjadi teritori pemerintahan Chiang Kai Shek (Republic of China) pada tahun 1949 setelah terpukul mundur oleh pasukan tentara komunis pimpinan Mao Zedong dalam perang saudara di (mainland) China. Setelah WWII usai, negara Korea terbagi dua, Korea bagian utara (Korea Utara) dikendalikan oleh Uni Soviet dan Korea bagian selatan (Korea Selatan) dikendalikan oleh Amerika Serikat. Tahun 1950 perang saudara pecah antara Korea Utara dan Korea Selatan yang diakhiri dengan gencatan senjata pada tahun 1953. Dengan demikian, kedua Korea secara teknis masih dalam keadaan perang.

Negara-negara yang baru merdeka ini kemudian menghadapi permasalahan kemiskinan yang serius. Begitu juga negara yang kalah perang, terutama Jerman dan Jepang, ekonominya hancur lebur. Namun, negara-negara tersebut di atas dapat segera bangkit kembali. Singapore kini menjadi city state yang sangat makmur dengan pendapatan per kapita 51.709 dolar AS (2012). Korea Selatan juga menjadi negara makmur dengan pendapatan per kapita 22.590 dolar AS (2012). Hong Kong yang merupakan bagian dari teritori Inggris dan kemudian dikembalikan kepada China tahun 1997 mempunyai pendapatan per kapita 36.796 dolar AS (2012). Taiwan yang merupakan negara baru berdiri mempunyai pendapatan per kapita 20.336 dolar AS (2012). (Sebagai perbandingan, pendapatan per kapita Indonesia pada tahun yang sama sebesar 3.557 dolar AS.) Keempat negara tersebut dikenal dengan sebutan four Asian Tigers karena pertumbuhan ekonominya yang sangat fenomenal sejak tahun 1960an hingga 1990an.

Perekonomian Jerman (Barat) dan Jepang dalam sekejap bangkit kembali dari kehancuran akibat WWII, dipicu oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang kemudian dikenal dengan economic miracle. Tahun 1967, Jerman Barat dan Jepang sudah menjadi kekuatan ekonomi ke dua dan ke tiga terbesar dunia setelah Amerika Serikat. Jepang bahkan menyalip Jerman menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke dua dunia pada tahun 1971. Setelah Jerman dan Jepang menguasai pertumbuhan ekonomi pada dua dekade tahun 1950an dan 1960an, dua dekade berikutnya, 1970-1980, pertumbuhan ekonomi dunia mulai dikuasai oleh empat “macan Asia”. Setelah itu, pertumbuhan ekonomi pada dekade-dekade selanjutnya hingga sekarang dikuasai oleh China yang melakukan economic reform pada tahun 1978. Tahun 2007, China menjadi negara dengan ekonomi ke tiga terbesar dunia, dan tahun 2010 menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke dua dunia. Tahun 2013, China bahkan menjadi negara dengan perdagangan terbesar dunia melewati Amerika Serikat dengan total perdagangan (ekspor dan impor) sebesar 4,16 triliun dolar AS (ekspor = 2,21 triliun dolar AS, impor = 1,95 triliun dolar AS). China juga menjadi contoh sebagai negara yang sangat berhasil memberantas kemiskinan. Tahun 1981, rasio rakyat miskin China dengan pendapatan di bawah 2 dolar AS per hari (berdasarkan harga internasional 2005) sebesar 97,8 persen dari total populasi, dan pada tahun 2009 rasio tersebut tinggal 27,2 persen. Kalau berdasarkan kriteria pendapatan 1,25 dolar AS per hari (berdasarkan harga internasional 2005), maka rasio rakyat miskin China hanya 11,8 persen pada tahun 2009. Kini, China nampaknya sudah berhasil membebaskan rakyatnya dari kemiskinan. Hal tersebut tidak terlepas dari pembangunan ekonomi yang menghasilkan tingkat pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan untuk periode yang sangat panjang.

Setelah perang dunia ke dua, pertumbuhan ekonomi Jerman Barat rata-rata 11,77 persen per tahun selama 10 tahun (1946 – 1956), atau rata-rata 9,78 persen per tahun selama 15 tahun (1946 – 1961), atau rata-rata 8,37 persen per tahun selama 20 tahun (1946 – 1966). Sangat luar biasa. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini sampai disebut Wirschaftswunder atau Economic Miracle. Kemudian, economic miracle ini berlanjut di Jepang, bahkan lebih fenomenal lagi dari Jerman di mana tingkat pertumbuhan ekonomi Jepang mencapai rata-rata 9,52 persen per tahun selama 25 tahun sejak 1945 sampai 1970. Pertumbuhan ekonomi Singapore juga sangat tinggi, rata-rata 9,15 persen per tahun selama 20 tahun untuk periode 1965 – 1985. Economic miracle kemudian dilanjutkan oleh China dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 9,80 persen per tahun selama 30 tahun sejak economic reform diberlakukan pada tahun 1978 hingga 2008.

Pertumbuhan ekonomi Jerman Barat disebut economic miracle karena ketika itu tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berkepanjangan dan berkelanjutan merupakan hal yang hampir mustahil terjadi. Tetapi, Jepang kemudian membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi berkelanjutan tersebut bukan miracle, tetapi dapat diraih. Pertumbuhan ekonomi Jepang bahkan lebih tinggi dan lebih panjang periodenya dari Jerman. Singapore dan China akhirnya benar-benar membuktikan kepada dunia bahwa hal tersebut memang bukan miracle, melainkan hasil karya manusia, alias man-made, dan dapat diraih oleh setiap bangsa dengan menjalankan kebijakan pembangunan ekonomi yang benar.

Bagaimana dengan Indonesia, apakah pertumbuhan ekonomi tinggi, di atas 10 persen, dan berkepanjangan merupakan hal yang mustahil? Mission Impossible? Dengan economic reform yang benar, Indonesia pasti dapat mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan, serta dapat memberantas kemiskinan dari muka bumi Indonesia. Dalam tulisan yang akan datang saya akan mengulas pembangunan ekonomi di maksud untuk dapat menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi.


=== 000 ===

Comments

  1. boleh minta contactnya pak, aku dari CORE Indonesia (center of reform on economics), mungkin bisa berdiskusi kapan waktu

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial