Kisruh Gas Elpiji Tabung 12 Kilogram
Luar Biasa. Begitulah masyarakat berseru ketika melihat
tontonan komedi penaikan dan penurunan harga Elpiji “non-bersubsidi” 12 kg. Seperti
kita ketahui bersama, memasuki awal tahun 2014 Pertamina menaikkan harga Elpiji
12 kg dengan besaran yang mencengangkan, yaitu Rp 3.959 per kg atau hampir Rp
48.000 per tabung, atau setara dengan kenaikan 68 persen. Menurut Pertamina, alasan
kenaikan harga Elpiji ini murni karena pertimbangan bisnis. Konon, Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) merekomendasikan Pertamina untuk menaikkan harga
karena bisnis Elpiji “non-bersubsidi” ini mengalami kerugian hingga Rp 7,73
triliun selama periode 2011 sampai Oktober 2012. Karena Elpiji 12 kg tidak
disubsidi oleh pemerintah, Pertamina merasa berhak menaikkan harganya apabila
dirasa perlu. Dan, naiklah harga Elpiji pada tanggal 1 Januari 2014.
Kenaikan harga ini kemudian diikuti oleh kelangkaan barang
di pasar. Setelah terjadi kehebohan di masyarakat, pemerintah langsung bereaksi.
Presiden langsung mengadakan pertemuan dengan para menteri, yang juga dihadiri oleh
Dirut Pertamina, di Bandara Halim Perdanakusuma. Dalam pertemuan itu, Presiden minta
Pertamina meninjau kembali kenaikan harga tersebut. Pada akhirnya, Pertamina
hanya menaikkan Rp 1.000 per kg atau Rp 12.000 per tabung, setara dengan
kenaikan 17 persen.
Banyak pihak yang menganggap drama penaikan dan penurunan
kembali harga Elpiji “non-bersubsidi” ini merupakan komedi politik pencitraan yang
memang sedang diperlukan oleh Pemerintah untuk dapat mengambil simpati
masyarakat. Mereka mengatakan, kalau tidak disengaja maka hampir mustahil terjadi kekisruhan atas perencanaan penaikan harga
Elpiji ini. Kisruh karena penaikan
harga harus diturunkan lagi hanya dalam 6 hari. Kalau memang benar kekisruhan tersebut tidak disengaja, maka kita
tidak bisa membayangkan betapa tidak profesionalnya pemerintah dan Pertamina.
Masa untuk hal yang sepenting ini tidak ada koordinasi penentuan harga antara pemerintah dan Pertamina. Kita sulit membayangkan di level negara ada kejadian
penaikan harga yang harus diturunkan lagi dalam hitungan hari.
Berdasarkan laporan keuangan konsolidasi tersebut, Pertamina
memperoleh laba bersih sebesar 2,76 miliar dolar AS pada tahun 2012. (Untuk tahun
2012 laporan keuangan hanya disajikan dalam dolar AS.) Dengan menggunakan kurs
Rp 10.000 per dolar AS, maka laba bersih ini setara dengan Rp 27,65 trilun.
Sedangkan laba bersih tahun 2011 dan 2010 masing-masing sebesar Rp 20,52
triliun dan Rp 16,78 triliun. Terjadi peningkatan pada laba bersih di tahun
2012. Akan tetapi, di dalam laporan keuangan konsolidasi tersebut tidak ada
rincian berapa keuntungan atau kerugian dari bisnis Elpiji 12 kg.
Apa benar bisnis Elpiji 12 kg Pertamina rugi? Kok bisa?
Bukankah Indonesia memiliki gas yang berlimpah? Bukankah Pertamina melalui anak
perusahaannya, PT. Pertamina Gas, juga mempunyai bisnis gas?
Indonesia memang mempunyai surplus gas. Tetapi, gas tersebut
dimiliki oleh negara (pemerintah), bukan Pertamina. Oleh karena itu, untuk
produk Elpiji, Pertamina harus membeli gasnya dari pemerintah dengan menggunakan
harga internasional, dan kemudian memprosesnya menjadi LPG (Liquefied Petroleum
Gas. Sedangkan Elpiji adalah merek dagang Pertamina untuk produk jenis gas LPG
tabung). Menurut Pertamina, harga pokok gas Elpiji ini jauh lebih tinggi dari
harga jualnya sehingga Pertamina mengalami kerugian dari bisnis ini. Menurut Pertamina,
harga pokok Elpiji saat ini mencapai Rp 10.785 per kg, sedangkan harga jualnya
hanya Rp 5.850 per kg.
Bagi orang awam, termasuk saya, sangat sulit memperkirakan
apakah harga pokok tersebut mahal atau tidak. Sebagai perbandingan, harga jual
LNG tangguh ke China 3,5 dolar AS per MMBtu. Kalau dikonversi ke dalam kilogram
LPG, berapa harga LNG tangguh tersebut per 1 kg LPG? Dengan asumsi kurs rupiah
Rp 12.000 per dolar AS, dan 1 kg LPG sama dengan 0.047 MMBtu, maka harga LPG menjadi
Rp 1.974 per kg. Jadi, perbedaan harga referensi
LNG tangguh (Rp 1.974) dengan harga pokok Pertamina (Rp 10.785) sangat jauh
sekali. Harga pokok Pertamina sekitar 5,5 kali lipat harga LNG tangguh.
Salah satu pemicu tingginya harga pokok Elpiji karena
Pertamina harus membeli gas dari Pemerintah dengan harga internasional,
meskipun gas tersebut dihasilkan dari perut bumi Indonesia.
Dari APBN dapat dilihat pemerintah mempunyai surplus
anggaran dari gas. Dalam APBNP 2013 total pendapatan dari sektor gas mencapai
Rp 98,8 triliun, terdiri dari pendapatan Gas Bumi Rp 51,3 triliun ditambah
pendapatan PPh Gas Bumi Rp 47,5 triliun. Dari sisi pengeluaran, subsidi Gas
Tabung 3 Kg mencapai Rp 31,5 triliun. Jadi pemerintah mempunyai surplus dari
sektor gas sebesar Rp 67,3 triliun. Surplus ini diperoleh karena pemerintah
menjual gasnya di dalam negeri, termasuk kepada Pertamina, dengan harga
internasional, meskipun gas tersebut diperoleh dari bumi Indonesia, bukan
diimpor dari luar negeri.
Meskipun menggunakan harga internasional, secara keseluruhan
bisnis Pertamina masih memperoleh laba yang pada tahun 2012 mencapai 2.765.710
dolar AS, atau setara dengan Rp 27,65 triliun apabila menggunakan kurs Rp
10.000 per dolar AS.
Sebagai perbandingan, harga LPG di Malaysia adalah 1,9 ringgit
Malaysia atau sekitar Rp 7.100 per kg di tingkat konsumen dengan menggunakan
kurs berlaku saat ini. Setelah kenaikan Rp 1.000 per kg, harga LPG dari Pertamina
menjadi Rp 6.850 per kg, di tingkat konsumen bahkan bisa lebih tinggi lagi.
--- 000 ---
Comments
Post a Comment