Setelah Rotan, Kini Minerba - Pelarangan Ekspor dan Dampaknya

Tidak lama lagi pelarangan ekspor mineral mentah, termasuk batubara, mulai diberlakukan. Tepatnya, 12 Januari 2014. Pelarangan ekspor tersebut sebagai konsekuensi diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Semangat dari Undang-Undang ini tentu saja sangat baik, dan secara prinsip ekonomi juga sangat dianjurkan. Pemerintah memang seyogyanya tidak membiarkan ekspor dalam bentuk barang mentah, tetapi yang sudah diproses atau diolah lebih lanjut. Semakin jauh tahapan proses lanjutannya, artinya semakin jauh ke industri hilir, maka semakin baik bagi perekonomian karena mempunyai nilai tambah yang semakin tinggi. Oleh karena itu, kita sangat mendukung kebijakan pemerintah untuk tidak mengekspor mineral dan batubara dalam bentuk bahan mentah, tetapi dalam bentuk produk olahan melalui proses pengolahan atau pemurnian lebih lanjut.

Dalam rangka melaksanakan kebijakan hilirisasi ini, pemerintah melakukannya dengan cara pelarangan ekspor bahan mentah minerba. Pertanyaannya adalah, apakah pelarangan ekspor ini dapat secara efektif meningkatkan keberhasilan hilirisasi produk minerba seperti yang diharapkan pemerintah dan menghasilkan manfaat ekonomi yang maksimal? Atau, apakah pelarangan ekspor ini justru akan merugikan banyak pihak, termasuk karyawan yang terancam kehilangan pekerjaannya? Misalnya, menurut berbagai sumber, ada sekitar 800.000 tenaga kerja dari sektor pertambangan terancam menganggur akibat pelarangan ekspor mineral mentah dan batubara yang akan diberlakukan pada 12 Januari 2014 mendatang. Freeport dan Newmont sudah mengindikasikan akan mengurangi produksi masing-masing menjadi hanya 30 persen dan 25 persen saja dari kapasitas produksi mereka saat ini. Dapat dipastikan, dalam jangka pendek akan terjadi penurunan ekspor sekitar 4 sampai 5 miliar dolar AS akibat pelarangan ekspor bahan mentah minerba ini. Apabila hilirisasi berhasil, penurunan ekspor tersebut tidak menjadi masalah karena dalam jangka panjang akan menghasilkan manfaat yang jauh lebih besar akibat terjadinya hilirisasi produk minerba tersebut. Tetapi, apa yang akan terjadi apabila ternyata hilirisasi produk minerba tidak berhasil sepertti yang diharapkan?

Pelarangan Ekspor Rotan dan Kebangkrutan Industri Rotan
Pelarangan ekspor bahan mentah bukan hanya kali ini saja terjadi di Indonesia. Sebelumnya, berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 35/2011 tentang Larangan Ekspor Rotan, pemerintah juga telah memberlakukan pelarangan ekspor bahan mentah dan bahan setengah jadi rotan yang berlaku efektif pada 1 Januari 2012. Tujuan utama pelarangan ekspor rotan tersebut tentu saja untuk mendukung dan memperbesar industri (dan ekspor) furniture dan mebel berbahan rotan (baca: hilirisasi rotan).

Tetapi, apa yang terjadi setelah hampir dua tahun pelarangan ekspor tersebut diberlakukan? Hasilnya ternyata jauh dari harapan. Industri hilir rotan (furniture dan mebel) tidak berkembang sesuai perkiraan: Bahan baku rotan tidak bisa terserap di pasar domestik. Akibatnya, harga rotan turun drastis. Akibatnya, banyak perusahaan rotan di semua sentra produksi rotan gulung tikar. Pasokan rotanpun menjadi terbatas dan mengakibatkan industri mebel rotan kelimpungan karena kekurangan bahan baku. Kata kerennya, terjadi vicious circle akibat pelarangan ekspor bahan baku rotan.

Pelarangan ekspor rotan merupakan contoh kasus di mana hilirisasi produk rotan melalui pelarangan ekspor bahan baku bukan saja tidak berhasil, bahkan mengakibatkan industri tersebut collapsed.

Pelajaran yang Didapat
Kasus pelarangan ekspor rotan menunjukkan bahwa ketersediaan bahan baku yang berlimpah belum tentu menjadi jaminan keberhasilan pembangunan industri pengguna bahan baku tersebut. Artinya, ketersedian bahan baku rotan tidak menjadi jaminan keberhasilan pembangunan industri mebel rotan. Dan, nyatanya seperti itu, industri rotan malah terpuruk dan industri mebel rotan tidak berkembang sesuai harapan setelah pelarangan ekspor bahan mentah rotan diberlakukan. Pelajaran yang kita dapat dari kasus ini adalah, melarang ekspor bahan baku tidak serta merta membuat pembangunan industri hilir menjadi berhasil.

Pembangunan industri hilir seharusnya dapat dilakukan tanpa harus melarang ekspor bahan bakunya. (Bahkan, industri hilir dapat dibangun dengan atau tanpa ketersediaan bahan baku di dalam negeri. Sebagai contoh, China berhasil membangun industri produk rotannya meskipun tidak memiliki bahan baku rotan. Swiss atau Belgia berhasil membangun industri produk coklatnya tanpa mempunyai perkebunan coklat.) Hanya setelah industri hilir tersebut menjadi cukup besar dan dapat diandalkan menyerap hasil produksi bahan baku domestik, maka pemerintah baru dapat mulai memikirkan untuk memaksimalkan penggunaan bahan baku tersebut untuk keperluan industri hilirnya, termasuk larangan ekspor. Apabila industri hilir masih kecil sedangkan bahan baku sudah dilarang ekspor, maka kita menghadapi risiko besar anjloknya harga bahan baku yang disebabkan karena pasokan bahan baku berlimpah (karena larangan ekspor) sedangkan permintaan industri hilir masih jauh dari memadai. Hal ini yang terjadi pada pelarangan ekspor rotan ketika industri mebel rotan belum besar, mengakibatkan harga rotan berguguran.

Semoga pelarangan ekspor bahan mentah minerba tidak berakhir seperti pelarangan ekspor rotan. Semoga pemerintah dapat memfasilitasi pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian bijih mineral dengan skala yang cukup besar dalam waktu sesingkat-singkatnya untuk menampung seluruh produksi bahan mentah minerba kita.

Efek Samping
Kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah minerba dan mewajibkan perusahaan tambang membangun fasilitas pemurnian (smelter) dapat berakibat serius pada perekonomian kita terkait konsentrasi penguasaan industri. Yang dapat membangun smelter hanya perusahaan besar saja karena biayanya sangat besar. Sedangkan perusahaan-perusahaan kecil lainnya yang tidak dapat membangun smelter harus menjual produknya kepada perusahaan besar yang mempunyai fasilitas tersebut. Tidak ada alternatif lain karena ekspor dilarang. Hal ini dapat berakibat terjadinya konsentrasi penguasaan dengan kecenderungan monopoli pada industri minerba dan proses pemurnian. Akibat monopoli sudah kita ketahui bersama, seperti lintah penghisap darah.

--- 000 ---

 Follow me on twitter: @AnthonyBudiawan

Comments

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial