Ilusi Seputar Penaikan BI Rate
Neraca perdagangan Indonesia sejak tahun 2012
mengalami defisit berkepanjangan, dan masih berlanjut hingga 2013. Defisit
tersebut merupakan yang terburuk sejak tahun 1961. Di samping itu, neraca
transaksi berjalan juga mengalami defisit yang bahkan jauh lebih serius dari defisit
neraca perdagangan. Defisit transaksi berjalan ini sudah berlangsung selama 8
kwartal berturut-turut, yaitu sejak kwartal IV 2011 hingga kwartal III 2013.
Secara “kebetulan” kurs rupiah terhadap dolar AS juga mengalami tekanan hebat, dan
terdepresiasi hingga 24,26 persen selama satu tahun terakhir ini, terhitung 7 Desember 2012 hingga 6 Desember 2013. Puncak akselerasi depresiasi terjadi pada
pertengahan tahun kedua sebesar 21,96 % (5 Juni 2013 – 6 Desember 2013). Untuk pertengahan
tahun pertama (7 desember 2012 – 5 Juni 2013) rupiah hanya terdepresiasi 1,89
persen. Lihat tabel di bawah ini.
Depresiasi rupiah yang luar biasa ini memicu Bank Indonesia
menaikkan suku bunga acuannya, yang juga dikenal dengan BI rate, sebanyak lima
kali dalam kurun waktu lima bulan, sejak 13 Juni 2013 hingga 12 November 2013.
BI rate pada periode tersebut naik 1,75 persen, dari 5,75 persen menjadi 7,50
persen.
Menurut Bank Indonesia, penaikan BI rate (yang bertubi-tubi)
ini diharapkan dapat mengurangi defisit transaksi berjalan (dan defisit neraca
perdagangan), yang pada akhirnya juga diharapkan dapat mengangkat kurs rupiah agar
tidak merosot lebih jauh. Di sisi lain, Departemen Keuangan (dan Menko Ekonomi)
juga sudah bekerja keras untuk meningkatkan kinerja neraca perdagangan melalui
berbagai kebijakan fiskal, antara lain menaikkan tarif barang mewah, mewajibkan
penggunaan biosolar (yang berasal dari kelapa sawit) hingga 10 persen, dan
lainnya, dan lainnya.
Sekilas, kebijakan moneter (dan fiskal) tersebut membuahkan
hasil. Neraca perdagangan Oktober 2013 mencatat surplus sebesar Rp 42,4 juta
dolar AS. Kebijakan moneter yang ditempuh dengan penuh
risiko, dengan mengorbankan pertumbuhan ekonomi demi stabilitas kurs rupiah
dan pengurangan defisit transaksi berjalan, dinilai mulai menunjukkan hasil
sesuai harapan. Kurs rupiah pun menguat ketika Badan Pusat Statistik (BPS)
mempublikasikan surplus neraca perdagangan Oktober 2013 tersebut.
Akan tetapi, fakta selanjutnya sangat mengecewakan.
Penguatan kurs rupiah hanya bertahan selama dua hari saja. Setelah itu, kurs
rupiah merosot lagi, dan pada 5 Desmeber 2013 mencapai rekor terendah sepanjang
tahun, bahkan terendah selama lima tahun terakhir ini. Lihat gambar di bawah ini.
Namun demikian, pemerintah masih berkilah bahwa pelemahan
kurs rupiah tersebut hanya bersifat sementara. Apakah memang demikian? Kalau memang
bersifat sementara, sampai kapan rupiah akan melemah, dan dengan kurs berapa? Kalau
memang bersifat sementara, mengapa pemerintah masih menaikkan BI rate? Apa yang
akan dilakukan selanjutnya oleh Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk
mengatasi permasalahan ekonomi yang dihadapi saat ini? Apakah Bank Indonesia
akan menaikkan BI rate lagi, bahkan dengan 0,50 persen sehingga menjadi 8,0
persen, sejalan dengan pendapat banyak pihak bahwa kenaikan BI rate selama ini
belum cukup tinggi untuk menahan laju kemerosotan kurs rupiah?
Kebijakan Moneter:
Salah Arah dan Salah Kaprah
Saya menilai, kebijakan moneter yang diambil Bank Indonesia sejauh
ini dengan menaikkan BI rate merupakan kebijakan yang salah arah dan salah
kaprah. Menaikkan BI rate bukan merupakan solusi untuk permasalahan ekonomi kita
saat ini. Kebijakan tersebut bahkan akan memperburuk kondisi ekonomi kita,
pertumbuhan melambat, dan bahkan dapat memicu krisis ekonomi apabila kebijakan suku
bunga tinggi ini (kebijakan uang ketat) berlangsung berkepanjangan.
Ilusi 1: Penaikan BI Rate untuk Memberantas Inflasi
Akibat Kenaikan Biaya Produksi
Kebijakan uang ketat (dengan menaikkan BI rate) seharusnya hanya
diberlakukan pada kondisi ekonomi yang sedang memanas (overheated), yang biasanya
ditandai dengan kenaikan berbagai harga barang (= inflasi tinggi) karena dipicu
oleh permintaan yang meningkat terus, dan kemudian diikuti oleh tingkat
investasi yang berlebihan (over-investment), yang pada
gilirannya akan mengakibatkan terjadinya over-supply, yang kemudian akan
mengakibatkan harga barang jatuh (deflasi). Untuk itulah, sebelum terjadi over-investment dan over-supply, Bank Sentral diharapkan dapat mengantisipasinya dengan
menaikkan tingkat suku bunga, artinya memberlakukan kebijakan uang ketat. Apabila
tidak, maka gelembung ekonomi pada waktunya akan pecah dan memicu krisis
ekonomi.
Kondisi ekonomi kita saat ini jauh dari memanas. Tingkat
konsumsi sedang mengalami penurunan, dan tingkat investasi juga sedang turun.
Inflasi kita bukan dipicu oleh peningkatan permintaan, tetapi lebih disebabkan
oleh kenaikan harga BBM yang memicu kenaikan harga produksi (=cost push inflation). Inflasi jenis ini
hanya bersifat sekali saja (one-time
inflation), yaitu pada periode kenaikan harga BBM (dan harga produksi).
Selanjutnya, apabila kenaikan harga produksi sudah terserap di semua industri,
maka tingkat harga barang akan normal kembali, tanpa harus memberlakukan
kebijakan uang ketat dengan menaikkan suku bunga seperti yang sekarang ditempuh
oleh Bank Indonesia.
Ilusi 2: Penaikan BI Rate untuk Menahan Defisit Neraca Pembayaran
Alur pikiran Bank Indonesia menaikkan BI rate sangat
sederhana. Suku bunga yang tinggi diharapkan dapat menahan capital outflow dan menarik capital
inflow. Dengan kata lain, kenaikan suku bunga diharapkan dapat meningkatkan
surplus neraca transaksi modal dan finansial, yang pada akhirnya dapat meningkatkan
surplus neraca pembayaran. Alur pikiran seperti ini merupakan alur pikiran
yang pragmatis tanpa dilandasi dasar-dasar teori ekonomi moneter yang benar. Faktanya,
kenaikan BI rate sampai saat ini tidak berpengaruh pada neraca pembayaran. Karena permasalahan utamanya terletak pada faktor eksternal, khususnya
kebijakan moneter Bank Sentral Amerika
Serikat, The FED, terkait tapering
(pengurangan pembelian obligasi oleh The FED). Apabila The FED memberlakukan tapering, maka capital outflow kelihatannya tidak dapat terbendung, sedangkan capital inflow tidak dapat diharapkan. Menurut
saya, dampak tapering akan jauh lebih
dahsyat dari perkiraan banyak orang. Saya tidak akan terkejut apabila kurs rupiah
ditransaksikan pada kisaran Rp 13.000 – Rp 14.000 per dolar AS ketika tapering diberlakukan.
Ilusi 3: Penaikan BI Rate untuk Menahan Defisit Neraca
Perdagangan
Banyak pejabat berpendapat bahwa kenaikan BI rate dapat mengangkat
kinerja neraca perdagangan dari defisit menjadi surplus. Alasannya sebagai
berikut: Kenaikan BI rate akan memperlambat pertumbuhan ekonomi sehingga
permintaan terhadap barang impor akan berkurang. Oleh karena itu, pengurangan
impor akan berdampak positif pada neraca perdagangan (sehingga dapat menghasilkan
surplus). Ini merupakan teori ekonomi baru yang tidak ada dalam buku teks di
manapun, tidak ada landasan teorinya, dan juga tidak didukung oleh realita. Sebagai
contoh, China mencatat surplus neraca perdagangan secara terus-menerus seiring
dengan pertumbuhan ekonominya yang sangat tinggi. Begitu juga Jepang. Begitu juga
Jerman. Begitu juga Singapore. Negara-negara tersebut tidak perlu memperlambat
pertumbuhan ekonominya (dengan menaikkan suku bunga) untuk memperoleh surplus
neraca perdagangan. Pada dasarnya, neraca perdagangan tergantung dari struktur dan
daya saing industri nasional di pasar domestik dan pasar internasional. Neraca
perdagangan yang defisit merupakan indikasi bahwa industri nasional tidak
kompetitif. Permasalahan ini hanya dapat diselesaikan dengan pembangunan industri
yang benar. Singapore, misalnya, mempunyai defisit neraca Migas, tetapi secara
keseluruhan mengalami surplus neraca perdagangan karena industri lainnya jauh lebih
kompetitif dari para pesaingnya. Begitu juga Jepang, dan banyak negara lainnya.
Penutup
Dari uraian di atas sangat jelas bahwa penaikan BI rate
bukan jawaban atas permasalahan ekonomi kita dewasa ini. Sebaliknya, penaikan
BI rate merupakan sebuah kebijakan moneter yang salah arah dan salah kaprah, dan
dapat menyebabkan ekonomi kita terpuruk, khususnya investasi akan turun dan
pengangguran akan meningkat. Kurs rupiah akan tetap merosot ketika the FED
memberlakukan tapering meskipun BI
rate ada pada posisi yang cukup tinggi. Oleh karena itu, stop berilusi dan stop penaikan BI rate.
--- 000 ---
Follow @AnthonyBudiawan for more updates
Comments
Post a Comment