Sistem Ekonomi Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Bangsa – Hanya Sebuah Ilusi?
Catatan penulis: tulisan ini pernah dipublikasi beberapa tahun yang lalu.
Pengantar
Pengantar
Kita semua bertanya-tanya dan tidak habis mengerti
mengapa bangsa Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang cukup besar tidak dapat
memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, terbelakang dibandingkan dengan negara-negara
tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Singapore, dan bahkan terjerumus ke dalam jurang
kemiskinan dengan jumlah persentase penduduk miskin (dengan pendapatan di
bawah $ 2 (PPP) per hari, tertinggi di antara negara-negara ASEAN-7 (Brunei, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore, Thailand dan Vietnam). Menurut data World Bank, rasio penduduk miskin Indonesia terhadap jumlah penduduk pada tahun 2010 dengan pendapatan per hari kurang dari 2 dolar AS PPP harga internasional 2005 adalah 43.8%), lebih tinggi dari Vietnam. Kemiskinan
mengakibatkan banyak saudara-saudara kita bekerja di negara-negara tetangga sebagai pembantu rumah
tangga, buruh perkebunan, buruh bangunan dan buruh kasar dan rendah lainnya. Tidak sedikit dari
mereka yang hidup teraniaya tanpa mendapat perhatian dan perlindungan yang memadai. Di tanah
air, banyak saudara-saudara kita
yang juga hidup dalam kesulitan dan kemiskinan, dan tidak
sedikit yang juga teraniaya: penggusuran pedagang kaki lima dan asongan, serta
rumah tinggal (semi) permanen di tanah negara atau “daerah hijau” mewarnai berita-berita
nasional akhir-akhir ini.
Berbagai diskusi telah digelar, baik dalam bentuk
seminar, konferensi maupun simposium, untuk mencari penyebab kemiskinan yang melanda bangsa kita dan mencari solusi
untuk menanggulanginya. Berbagai pertanyaan dilontarkan bagaimana membangun ekonomi
Indonesia agar bangsa ini dapat keluar dari jurang kemiskinan. Berbagai usulan dan
solusi ditawarkan agar bangsa ini dapat menjadi sejahtera. Namun demikian, sampai
saat ini masih belum ada tanda-tanda yang dapat memberi harapan bagi bangsa
Indonesia untuk menjadi sejahtera dan dapat hidup sejajar dengan bangsa-bangsa lain: artinya, tidak menjadi
pembantu rumah tangga dan buruh kasar lainnya di negara tetangga.
Ekonomi Pancasila
dan Ekonomi Kerakyatan – Sebuah Ilusi?
Tidak sedikit ahli ekonomi kita mencoba memberi sumbang
saran dan solusi bagaimana membuat bangsa Indonesia menjadi lebih sejahtera. Dalam mencari jawaban dan
solusi di atas, diskusi juga berkembang ke arah sistem ekonomi politik dan ideologi yang dianggap
sesuai bagi Indonesia untuk dapat menjadi sejahtera dan berazas keadilan ekonomi.
Prof. Emil Salim, Prof. Sumitro Djojohadikusumo dan Prof. Mubyarto sempat
melontarkan Sistem Ekonomi Pancasila, yang kemudian juga dikenal dengan Sistem Ekonomi
Kerakyatan, sebagai jawaban atas permasalahan ekonomi Indonesia. Tetapi,
sayangnya,
konsep Sistem Ekonomi Pancasila tidak berkembang seperti yang diharapkan para
pencetus gagasan tersebut karena bersifat sangat normatif dan kehilangan
realitas sehingga tidak dapat diimplementasikan. Para pengikutnya dewasa ini
juga tidak dapat menjabarkan secara rinci bagaimana operasional Sistem Ekonomi
Pancasila seharusnya sehingga sulit diterima oleh para ahli ekonomi, teknokrat maupun
masyarakat luas. Namun demikian, melihat bangsa Indonesia masih terus berkutat
pada kemiskinan, banyak kalangan masih menaruh harapan pada Sistem Ekonomi
Pancasila dan Sistem Ekonomi Kerakyatan sebagai jalan keluar untuk mencapai
Indonesia sejahtera dan adil. Hal ini disebabkan karena, meskipun Sistem
Ekonomi Pancasila belum dapat dibuktikan dapat memberi kesejahteraan bagi bangsa Indonesia, Sistem
Ekonomi Pancasila juga tidak dapat dibuktikan akan lebih buruk hasilnya dari
sistem ekonomi yang dianut oleh pemerintah Indonesia selama ini, yaitu yang dipercaya oleh masyarakat luas sebagai
sistem ekonomi kapitalisme (liberal) atau yang juga
disebut dengan neo-liberal, karena Sistem Ekonomi
Pancasila memang belum pernah diimplementasikan. Harapan besar tersebut sangat
dimengerti oleh para elite partai politik sehingga hampir semua partai politik
mengusung program Ekonomi Kerakyatan dalam kampanye pemilihan legislatif dan pemilihan presiden tahun 2009 yang lalu.
Tetapi, Sistem Ekonomi Kerakyatan yang dimaksud juga sangat tidak jelas dan
bersifat normatif, sama seperti Sistem Ekonomi Pancasila yang merupakan akar
dari Sistem Ekonomi Kerakyatan. Sistem Ekonomi Kerakyatan lebih banyak
diartikan sebagai sistem ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil atau rakyat
miskin, yaitu
para petani, nelayan, buruh, pengusaha mikro dan kecil, serta masyarakat miskin
lainnya. Memang benar beberapa partai politik tersebut sempat menjabarkan beberapa
program Ekonomi Kerakyatan, tetapi tidak terlalu berbeda dengan para
pendahulunya, Sistem Ekonomi Pancasila. Gambar 1 memuat penjabaran Sistem Ekonomi Pancasila dari ke tiga ahli ekonomi
di atas seara normatif. (Tulisan
ini tidak
membahas rumusan Sistem Ekonomi Pancasila, tetapi
meninjau apakah ada korelasi antara Sistem Ekonomi Politik tertentu,
seperti Ekonomi Pancasila dan Ekonomi Kerakyatan, dengan tingkat pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan bangsa.)
Gambar 1: Sistem Ekonomi Pancasila dari Emil Salim, Mubyarto, dan Sumitro Djojohadikusumo - Sumber: Kuncoro (2000: 199)
Dengan demikian, pertanyaan utama yang masih terus
menghantui kita adalah, apakah Sistem Ekonomi Pancasila atau Sistem Ekonomi
Kerakyatan merupakan solusi yang dapat membawa bangsa ini menjadi lebih
sejahtera dengan keadilan sosial yang lebih baik. Apabila tidak, apakah ada
sistem ekonomi politik lain yang dapat membuat bangsa kita menjadi lebih sejahtera? Sistem ekonomi
yang bagaimana yang tepat bagi Indonesia agar dapat keluar dari kemiskinan?
Apakah kita harus mempertajam Sistem Ekonomi Pancasila sehingga tidak terlalu normatif dan dapat dipraktikkan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas niscaya sulit dijawab,
seperti juga konsep Sistem Ekonomi Pancasila yang tidak berhasil dijabarkan selama 30 tahun
terakhir ini. Saya khawatir kita akan membuang waktu lagi untuk 30 tahun ke depan apabila
harus merumuskan kembali Sistem Ekonomi Pancasila dalam mencari solusi
permasalahan kemiskinan yang kita hadapi.
Pencaharian Tiada
Akhir
Saya percaya bahwa selama ini telah terjadi salah arah
dalam mencari solusi untuk mengantar
bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih sejahtera dan berkeadilan sosial,
karena pemecahan permasalahan ekonomi (dalam hal ini, permasalahan kemiskinan
dan keadilan sosial) diupayakan melalui sistem ekonomi politik atau ideologi
tanpa memperdalam permasalahan ekonomi itu sendiri. Dengan kata lain, apakah dengan mengadopsi sistem ekonomi politik atau ideologi
tertentu maka permasalahan ekonomi dapat terpecahkan dengan sendirinya?
Di samping itu, upaya menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan
kesejahteraan melalui Sistem Ekonomi Pancasila telah menimbulkan kontroversi. Banyak yang berpendapat Indonesia
selama ini menganut sistem kapitalisme (liberal) yang mengakibatkan bangsa ini terjerumus ke dalam
kemiskinan dan kesenjangan sosial. Sebagai
alternatif maka Sistem Ekonomi Pancasila yang bernafaskan sosialisme dengan
spirit Ketuhanan, Kemanusiaan, Kesatuan, Kerakyatan dan Keadlian, kemudian ditawarkan
sebagai sistem ekonomi politik yang diharapkan
dapat memecahkan permasalahan kemiskinan dan keadilan sosial
tersebut. Di sinilah terjadi
kontroversi. Bukankah negara-negara penganut sistem sosialisme
(dengan berbagai jenjang tingkatan) malah
sebaliknya belajar dan kemudian mengadopsi sistem kapitalisme (dengan berbagai jenjang tingkatan) untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonominya? Sejak runtuhnya sistem sosialisme dan komunisme akhir tahun 1989,
maka hampir semua negara mempraktikkan Sistem Kapitalisme dengan berbagai tingkatannya.
Oleh karena itu, pendekatan sistem ekonomi politik dan ideologi sebagai solusi permasalahan
ekonomi (kemiskinan dan kesenjangan
sosial) yang kita hadapi tidak akan berhasil. Permasalahan kemiskinan
dan keadilan sosial tidak unik bagi sistem ekonomi politik dan ideologi tertentu saja, tetapi merupakan permasalahan
universal yang dapat ditemui di berbagai negara dengan sistem ekonomi politik dan ideologi
yang berbeda-beda: permasalahan kemiskinan dan kesenjangan sosial dapat kita temui
di negara dengan sistem kapitalisme, misalnya Indonesia (yang diyakini menganut sistem kapitalisme),
Philippines atau Mexico, dan juga
dapat kita temui di negara dengan sistem sosialisme,
misalnya India, atau komunisme, misalnya Vietnam atau Korea Utara. Tetapi,
banyak juga negara dengan latar
belakang sistem ekonomi politik yang berbeda-beda dapat mencapai kesejahteraan yang tinggi dan bebas
dari kemiskinan. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama lagi, China mungkin akan
membuktikan kepada kita semua, kepada dunia, bahwa negara komunis juga dapat
menjadi sejahtera. Dengan demikian, apabila kemiskinan dan kesejahteraan dapat terjadi
di berbagai negara dengan latar belakang sistem ekonomi politik yang
berbeda-beda, maka kesimpulannya hanya satu, yaitu bahwa tidak ada korelasi
antara sistem ekonomi politik dan tingkat pertumbuhan ekonomi maupun
kesejahteraan. Oleh karena itu, pencaharian sistem ekonomi politik bukan
merupakan jawaban atas permasalahan ekonomi yang sekarang kita hadapi. Lihat Gambar 2 yang memuat contoh negara-negara yang sudah menjadi makmur dan sejahtera dengan berbagai latar belakang sistem ekonomi politik.
Gambar 2: Contoh negara-negara maju dengan berbagai
latar belakang
Sistem Ekonomi Politik
Solusi
Permasalahan Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial Indonesia
Oleh karena itu, permasalahan ekonomi harus dipecahkan melalui
proses pembangunan ekonomi. Untuk menjadi negara maju dan sejahtera, kita dapat belajar dari proses pembangunan ekonomi negara-negara yang sudah menjadi
maju terlebih dahulu seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang, Taiwan,
Korea Selatan, Singapore, Malaysia dan bahkan China. Meskipun negara-negara
tersebut mempunyai latar belakang sistem ekonomi politik dan ideologi yang
berbeda, tetapi mereka mempunyai satu kesamaan dalam mencapai kesejahteraan, yaitu
ekonomi mereka dibangun berdasarkan struktur industri manufaktur yang kuat dan
beragam, terintegrasi, sinergis, dengan skala ekonomis yang tinggi, disertai dengan penguasaan dan penerapan teknologi maju untuk senantiasa meningkatkan
produktivitas. Sebaliknya, negara yang berbasis agrikultur
tidak ada yang menjadi negara maju dan sejahtera, kecuali sebelum era revolusi
industri. Meskipun begitu, negara maju pada saat itu sebenarnya juga mempunyai
industri “manufaktur dan teknologi” yang relatif lebih maju dari negara lainnya
yang kurang maju. Hal ini disebabkan karena produktivitas pada industri
manufaktur dengan penerapan teknologi maju jauh lebih tinggi dari industri sektor primer seperti agrikultur dan industri berbasis sumber
daya alam.
Fenomena ini juga dapat kita lihat di kota-kota di Indonesia: kota berbasis industri
manufaktur lebih maju dan sejahtera dari kota berbasis pertanian: Jawa Barat lebih maju dari Jawa Timur karena
industri manufaktur di Jawa Barat lebih berkembang. Jawa Timur lebih maju dari
Jawa Tengah karena industri manufaktur di Jawa Timur lebih berkembang. “Kota
industri” di Jawa Barat seperti Jakarta, Bekasi, Cilegon atau Bandung, lebih
maju dari kota lainnya yang berbasis agrikultur atau peternakan, seperti
Cirebon, Cianjur dan lainnya.
Hal di atas dapat terjadi karena proses pembangunan
ekonomi pada prinsipnya akan menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang terbagi
dalam tiga golongan atau karekteristik, yaitu (1) Decreasing economic returns (2) Constant
economic returns dan (3) Increasing
economic returns. Decreasing economic
returns terjadi apabila persentase kenaikkan output lebih rendah dari
persentase kenaikkan input, atau jumlah output turun dengan jumlah input tetap, yang keduanya berarti produktivitas menurun. Constant economic returns terjadi apabila persentase kenaikkan
output sama dengan persentase kenaikkan input, yang berarti produktivitas
konstan. Increasing economic returns
terjadi apabila persentase kenaikkan output lebih besar dari persentase
kenaikkan input, yang berarti produktivitas meningkat.
Sektor agrikultur dan sumber daya alam mempunyai
karakteristik decreasing economic returns:
sumber daya alam cepat atau lambat akan habis. Indonesia pernah memproduksi lebih dari 2 juta barel
minyak mentah per hari, tetapi sekarang hanya 830.000 barel per hari, di mana hal ini menunjukkan karakteristik decreasing returns. Demikian pula
produktivitas di industri pertanian, cenderung menurun untuk jangka panjang
kecuali ditemukan teknologi baru, misalnya melalui bioteknologi. Peningkatan
metode pertanian, misalnya dengan menggunakan traktor dibanding dengan manual atau tenaga hewan, hanya
meningkatkan produktivitas tenaga kerja, tetapi tidak meningkatkan
produktivitas lahan. Artinya, produktivitas lahan hanya dapat ditingkatkan
melalui penerapan dan inovasi teknologi maju. Sedangkan sektor manufaktur padat karya
dengan penerapan teknologi rendah dan upah murah, seperti industri garment, alas
kaki atau furniture tradisional, mempunyai karakteristik constant economic
returns. Daya saing pada industri ini lebih ditentukan oleh faktor upah
buruh murah. Sektor manufaktur padat modal dengan penerapan teknologi maju,
seperti industri elektronik, mesin dan perlengkapan mesin, dan banyak lainnya
lagi, mempunyai karakteristik increasing
economic returns. Produktivitas pada industri increasing economic returns dapat ditingkatkan secara berkelanjutan
seiring dengan pembaharuan dan inovasi teknologi. Sebagai contoh, harga mesin
pemutar DVD (awalnya laser disc, kemudian digantikan oleh VCD, dan kemudian digantikan lagi oleh
DVD) saat ini hanya sekitar 10% dari harga pada awal teknologi tersebut
dikenalkan di pasar, yang mana merupakan refleksi langsung dari peningkatan produktivitas
produksi mesin tersebut. Oleh karena itu, suatu negara hanya dapat maju dan
sejahtera apabila dapat membangun industri dengan karakteristik increasing
economic returns secara signifikan dalam pembangunan ekonominya. Hal ini tidak berarti
kita harus meninggalkan industri-industri lainnya (agrikultur, sumber daya
alam, manufaktur padat karya). Potensi industri-industri tersebut wajib kita kembangkan,
tetapi harus diiringi dengan pengembangan industri-industri dengan
karakteristik increasing economic returns.
Tanpa itu, pembangunan ekonomi tidak akan maksimal dan negara sulit mencapai kemakmuran dan kesejahteraan.
Gambar 3 menyajikan peta industri di masing-masing sektor ekonomi dan dampaknya
terhadap pembangunan ekonomi nasional.
Pembangunan ekonomi berbasis industri increasing economic returns merupakan
pra-kondisi untuk mencapai kesejahteraan bagi suatu bangsa. Namun demikian, pembangunan industri increasing
economic returns tidak dapat terwujud tanpa dukungan dan peran aktif
pemerintah melalui
berbagai kebijakan ekonomi, baik dalam bidang ekonomi makro (kebijakan moneter
dan fiskal), ekonomi mikro (kebijakan industri dan perdagangan), kebijakan publik
serta
kebijakan politik yang pro industri dengan karakteristik increasing economic returns tersebut.
Kebijakan pemerintah yang dimaksud di atas dapat dibagi menjadi dua
kategori:
- Kebijakan pemerintah untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan mewujudkan industri dengan karakteristik increasing economic returns, dan
- Kebijakan pemerintah untuk mewujudkan keadilan sosial yang lebih baik melalui redistribusi pendapatan serta mewujudkan jaminan sosial yang lebih manusiawi bagi rakyat kecil dan miskin.
--- 000 ---
Comments
Post a Comment