Target Pajak Ketinggian, Salah Siapa?
Pemisahan Dirjen Pajak dari
Kementerian Keuangan Menjadi Penting dengan Prioritas Tinggi
Target
penerimaan pajak 2015 ditetapkan Rp 1.294 triliun. Jumlah ini sangat tinggi
sekali, atau naik 31,41 persen dari realisasi penerimaan pajak 2014. Seperti
dugaan semua pihak, realisasi penerimaan pajak 2015 ternyata jauh di bawah target
tersebut, yaitu hanya Rp 1.055 triliun,
atau 81,5 persen dari target Rp 1.294 triliun. Pencapaian ini bahkan merupakan
salah satu yang terendah sepanjang sejarah Republik ini, dan memicu Direktur
Jenderal (Dirjen) Pajak Sigit Priadi Pramudito mengambil keputusan
kontroversial, yaitu secara ksatria mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
Dirjen pada awal Desember 2015.
Pertanyannya
adalah, apakah pengunduran diri Dirjen Pajak tersebut memang layak? Siapa yang
seharusnya bertanggung jawab atas kegagalan memenuhi target penerimaan pajak
ini? Apakah benar Dirjen Pajak yang harus bertanggung jawab?
Menurut
saya, yang harus bertanggung jawab atas kegagalan pemenuhan penerimaan pajak
adalah pihak yang menetapkan target pajak tersebut. Dalam hal ini, Dirjen Pajak
kelihatannya tidak terlibat di dalam penetapan target penerimaan pajak 2015
karena Pak Sigit baru dilantik menjadi Dirjen Pajak pada 6 Februari 2015,
sedangkan Rancangan APBNP 2015 yang memuat target penerimaan pajak 2015 sudah diserahkan
oleh Kementerian Keuangan ke DPR pada awal Januari 2015.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kementerian
keuangan (kemenkeu) adalah pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas
kekurangan penerimaan pajak 2015, karena kemenkeu adalah pihak yang menetapkan target
penerimaan pajak 2015 naik 31,41 persen dari realisasi 2014. Sangat tidak adil bagi
Dirjen Pajak yang baru (ketika itu) diminta untuk memenuhi target penerimaan
pajak yang sangat tinggi ini, di tengah kondisi ekonomi domestik maupun internasional
yang sedang mengalami tren penurunan.
Target Pajak Penuh Spekulatif
Penetapan
target penerimaan pajak 2015 mengandung unsur spekulatif yang sangat tinggi, karena
target penerimaan ditetapkan bukan hanya berdasarkan peraturan perpajakan yang
berlaku saat itu, tetapi juga berdasarkan peraturan yang belum ada atau belum
berlaku. Ini jelas spekulatif: belum ada peraturannya kok, bagaimana bisa masuk
sebagai rencana penerimaan? Contohnya adalah, rencana pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) Jalan Tol dan PPN Listrik untuk pelanggan rumah tangga dengan daya
di atas 2.200 watt. Peraturan PPN untuk kedua hal tersebut belum ada, tetapi kemenkeu
sudah memasukkannya menjadi target penerimaan. Ini jelas spekulasi. Akhirnya, rencana
tersebut batal, dan penerimaan pajak anjlok.
Tingkat
Kepatuhan Wajib Pajak Rendah: Permasalahan Universal, Pajak Harus Dengan Pemaksaan
Selain itu, kemenkeu berpendapat, tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia rendah sehingga membuat penerimaan pajak rendah. Oleh karena itu, kemenkeu berteori kalau tingkat kepatuhan bayar pajak meningkat maka penerimaan pajak juga meningkat. Atas dasar teori ini, maka kemenkeu dengan antusias mencanangkan tahun 2015 sebagai tahun pembinaan wajib pajak, dengan harapan penerimaan pajak meroket. Lagi-lagi, langkah ini merupakan langkah yang sangat spekulatif, dan sangat tidak masuk akal.
Selain itu, kemenkeu berpendapat, tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia rendah sehingga membuat penerimaan pajak rendah. Oleh karena itu, kemenkeu berteori kalau tingkat kepatuhan bayar pajak meningkat maka penerimaan pajak juga meningkat. Atas dasar teori ini, maka kemenkeu dengan antusias mencanangkan tahun 2015 sebagai tahun pembinaan wajib pajak, dengan harapan penerimaan pajak meroket. Lagi-lagi, langkah ini merupakan langkah yang sangat spekulatif, dan sangat tidak masuk akal.
Menyedihkan
sekali kemenkeu sampai mempunyai pikiran yang sangat naif seperti ini. Saya
katakan naif karena kemenkeu berharap wajib pajak akan serta merta menjadi
lebih patuh untuk membayar pajak dengan diberlakukannya program penghapusan
sanksi pajak bagi mereka yang belum bayar pajak secara benar pada tahun-tahun
sebelumnya. Artinya, kemenkeu berharap wajib pajak akan membuka diri dan secara
sukarela membayar kekurangan pajak tahun-tahun sebelumnya. Harapan ini Bagai
Pungguk Merindukan Bulan.
Pada
dasarnya, tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang senang atau secara
sukarela membayar pajak. Hal ini berlaku universal di seluruh dunia, termasuk
di negara-negara maju. Oleh karena itu, pengenaan pajak harus berdasarkan
peraturan undang-undang sehingga dapat diwajibkan (baca: dipaksakan). Kalau
tidak berdasarkan peraturan yang diundangkan, maka dapat dipastikan semua orang
tidak akan membayar pajak.
Dengan
adanya peraturan pun, banyak pihak yang masih berupaya meminimalkan kewajiban
pajaknya. Dan sekali lagi, ini berlaku di seluruh dunia. Orang-orang terkenal dan
kaya, serta perusahaan-perusahaan besar justru sering menjadi aktor utama
penghindaran pajak. Hal ini dapat terjadi karena mereka mampu membayar
konsultan pajak yang sangat mahal untuk mencari celah atau kelemahan atas peraturan
perpajakan yang sangat kompleks agar dapat meminimalkan kewajiban pajaknya. Di
bawah ini dapat dilihat beberapa contoh kasus penghindaran pajak oleh
perusahaan-perusahaan besar serta orang pribadi terkenal di Eropa dan Ameriak
Serikat (AS).
Tulisan di bawah memuat
studi penghindaran pajak di AS oleh korporasi-korporasi AS. Jumlahnya tidak
tanggung-tanggung, laba yang tidak dipertanggung jawabkan di AS mencapai 2,1 triliun dolar AS, atau sekitar Rp 29.400 triliun, dengan potensi pajak sekitar 620 miliar dollar AS atau sekitar Rp 8,680 triliun, kalau laba tersebut
dilaporkan di AS!
US Tax Evasion Cases: Apple,
GE Among American Companies Holding $2.1 Trillion In Offshore Accounts
Bukan
hanya Apple, Microsoft (serta perusahaan teknologi lainnya) juga berupaya
meminimalkan kewajiban pajaknya di AS melalui struktur korporasi yang kompleks,
dengan “penghematan pajak” hingga 2,4 miliar dolar AS, seperti diuraikan di
dalam tulisan di bawah ini.
IT'S NOT JUST APPLE: The
Ultra-Complicated Tax Measures That Microsoft Uses To Avoid $2.4 Billion In
U.S. Taxes
Namun
demikian, banyak kasus penghindaran pajak dilakukan secara sah. Artinya, upaya
untuk meminimalkan kewajiban pajak tersebut dilakukan melalui perencanaan pajak
yang matang dengan mengambil keuntungan dari peraturan perpajakan yang berlaku di
berbagai negara.
Misalnya
Google, Amazon, Starbucks di Inggris secara sah membayar pajak relatif sangat
rendah sekali dibandingkan dengan pendapatannya, seperti dilaporkan BBC di
bawah ini.
Google,
Amazon, Starbucks: The rise of 'tax shaming'
Namun
demikian, banyak juga kasus penghindaran pajak dilakukan dengan melanggar
peraturan perpajakan setempat. Apple Itali harus bayar 318 juta euro, sekitar
Rp 4,8 triliun, kepada pemerintah Itali karena kasus penghindaran pajak.
Apple 'to pay €318m' to
settle Italy tax fraud case
Pengadilan
Itali menjatuhkan denda dan hukuman penjara ditangguhkan kepada designer
terkenal Dolce and Gabbana karena kasus penghindaran pajak.
Italian court gives Dolce
and Gabbana suspended jail terms
Juara
tenis Wimbledon asal Jerman, Boris Becker, harus bayar pajak beserta denda dan bunga
sebesar 3 juta euro, atau sekitar Rp 45 miliar karena tidak melaporkan pendapatannya
secara benar, serta dijatuhi hukuman dua tahun masa percobaan.
Becker
avoids jail for tax evasion
Tahun
1990, kekayaan Willie Nelson, penyanyi country legendaris AS, disita oleh
kantor pajak AS karena tidak membayar pajak secara benar, dan harus membayar
kembali 16,7 juta dolar AS, atau sekitar Rp 233 miliar.
NOVEMBER 09, 1990 : WILLIE
NELSON’S ASSETS ARE SEIZED BY THE IRS
DJ terkenal Radio 1 di Inggris, Chris Moyles,
beserta 450 orang terkenal lainnya terancam kena denda pajak sebesar 290 juta
poundsterling, atau sekitar Rp 5,8 triliun, karena terlibat kasus skema
penghindaran pajak.
Appeal
in £290million tax avoidance case involving Chris Moyles fails and former R1 DJ
is now warned to expect huge tax bill
Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa (hampir) setiap orang
cenderung membayar pajak seminimal mungkin. Artinya, secara alamiah tingkat
kepatuhan wajib pajak rendah. Hal ini berlaku di seluruh dunia, bukan hanya di
Indonesia saja. Oleh karena itu, pengenaan pajak harus dilakukan secara tegas
dan kalau perlu melalui pemaksaan, yaitu diseret ke pengadilan.
Perlu
ditegaskan, tahun pembinaan wajib pajak untuk menyadarkan wajib pajak agar
membayar pajak secara benar merupakan usaha sia-sia. Seharusnya, kemenkeu menegakkan
peraturan perpajakan secara benar, kalau perlu melalui pengadilan, agar setiap
orang menyadari bahwa manipulasi pajak merupakan pelanggaran yang sangat
serius, seperti yang kita lihat dari contoh kasus di atas. Bukan malah
mengampuni dan membebaskan sanksi bagi pelanggar pajak seperti yang terjadi di
tahun pembinaan wajib pajak.
Mengharapkan
wajib pajak membayar pajak secara sukarela bagaikan pungguk merindukan bulan. Hal
ini terbukti, tahun pembinaan wajib pajak dapat dikatakan gagal total karena
ternyata realisasi penerimaan pajak 2015 jauh di bawah target. Kalaupun ada
wajib pajak yang bayar atas kekurangan pajaknya pada tahun-tahun sebelumnya,
itupun harus melalui pemaksaan dari aparat pajak: “Anda kurang bayar pajak
sekian, bayar tahun ini dan bebas denda serta bunga, atau kami periksa”.
Begitulah kurang lebih bunyi pemaksaannya. Dan, wajib pajak lebih memilih membayarnya dari pada diperiksa oleh aparat pajak, meskipun aparat pajak belum tentu benar.
Artinya, pajak yang dibayar oleh wajib pajak pada tahun pembinaan wajib pajak ini tidak dilakukan secara
sukarela.
Jangan
sampai target penerimaan pajak yang sangat tinggi pada 2015 terulang lagi pada
2016 ini, hanya karena mengharapkan sesuatu yang mustahil terjadi, yaitu wajib
pajak diharapkan secara sukarela membayar pajak sesuai peraturan. Target
penerimaan pajak 2016 ditetapkan Rp 1.360 triliun, atau sekitar 29 persen lebih
tinggi dari realisasi penerimaan pajak 2015. Masuk akalkah target tersebut? Jangan
terulang lagi Dirjen Pajak menjadi korban penetapan target pajak yang tinggi
yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, seperti yang terjadi pada Bapak Sigit
Priadi Pramudito. Seharusnya kemenkeu secara ksatria bertanggung jawab atas
kekurangan penerimaan pajak karena yang bersangkutan yang menetapkan target.
Sebagai
penutup, kasus target pajak 2015 yang ditetapkan secara irasional dan penuh
spekulatif dapat menjadi momentum yang tepat untuk mempercepat pemisahan
Direktorat Pajak dari Kementerian Keuangan, sehingga target penerimaan pajak dapat
ditetapkan sendiri oleh Kantor Pajak yang baru secara independen tanpa
intervensi dari kementerian keuangan. Apabila realisasi penerimaan pajak jauh
di bawah target seperti yang terjadi pada 2015, maka pengunduran diri pimpinan tertinggi
kantor pajak memang sudah selayaknya karena sebagai penanggung jawab penuh atas
permasalahan ini.
--- 000 ---
Comments
Post a Comment