Kebijakan Harga BBM: Distorsi Logika Kementerian ESDM
Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia sudah setahun belakangan ini bertahan tinggi: Jauh lebih tinggi dari harga BBM di Malaysia. Dan juga jauh lebih tinggi dari harga BBM rata-rata di Amerika Serikat.
Baca juga: http://bit.ly/1P1MP8c
Penurunan harga minyak mentah dunia hingga di bawah 30 dolar AS per barel belum dapat dinikmati konsumen BBM di Indonesia. Ketika harga minyak mentah dunia mencapai titik tertinggi pada pertengahan 2014 yang mencapai lebih dari 120 dolar AS per barel, harga premium di Jakarta ketika itu Rp 6.500 per liter. Sekarang, ketika harga minyak mentah dunia turun drastis di kisaran 30 dolar AS per barel, harga premium di Jakarta malah meningkat menjadi Rp 7.050 per liter, jauh lebih tinggi dari harga premium pada waktu harga minyak mentah dunia tersebut mencapai puncaknya.
Harga premium Rp 7.050 per liter ini baru saja ditetapkan oleh pemerintah pada 5 Januari 2016 yang lalu. Karena itu, kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang berwenang menentukan harga BBM di dalam negeri mengatakan tidak akan menyesuaikan lagi harga BBM dalam waktu dekat ini meskipun harga minyak dunia terus merosot di bawah 30 dolar AS per barel.
Alasannya, menurut menteri ESDM Sudirman Said, penurunan harga BBM tidak serta merta menurunkan harga barang dan jasa serta harga transportasi. Pasalnya, indeks harga minyak dan indeks harga barang serta jasa tak setingkat. Alhasil, dampaknya tak sama saat harga minyak turun dengan ketika harga minyak naik, ujarnya di sela Rapat Kerja dengan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat di Gedung Nusantara I, Jakarta, Senin (25/1/2016). Saat harga minyak naik, katanya, harga barang dan jasa juga transportasi memang terdampak langsung. Namun, ketika harga minyak turun dan penyesuaian harga, dampaknya tak akan terasa. Oleh karena itu, sulit memutuskan apakah harga minyak yang tengah terperosok ini bisa jadi dasar penurunan harga BBM lagi.
Nah, di sinilah letak kecelakaan logika di dalam menentukan kebijakan publik terkait harga BBM: yaitu hanya dikaitkan dengan kemungkinan penurunan harga barang dan jasa atau harga transportasi.
Urusan transportasi adalah urusan lain. Pemerintah harus bisa memisahkan permasalahan transportasi dengan permasalahan kebijakan harga BBM, dan menyelesaikan kedua permasalahan tersebut secara terpisah. Pemerintah seharusnya tidak menggunakan alasan permasalahan transportasi ini untuk menyalahgunakan kekuatan monopolinya di dalam menentukan kebijakan harga BBM. Jangan ketidak mampuan pemerintah dalam mengatur sektor transportasi dibebankan kepada rakyat melalui penetapan harga BBM yang tinggi.
Kalau pemerintah berpikir ada distsorsi di sektor transportasi, silahkan menyelesaikannya, silahkan cari solusinya, bukan membiarkan harga BBM tetap tinggi sehingga negara, melalui Pertamina, menikmati keuntungan monopoli yang luar biasa tingginya.
Logika Penentuan Harga BBM
Kebijakan publik yang baik seharusnya memikirkan kepentingan rakyat banyak. Inilah logika berpikir yang harus diambil oleh kementerian ESDM dalam menentukan kebijakan harga BBM.
Pertama, aspek kelayakan harga: apakah harga premium (serta pertamax dan pertamax plus) saat ini sudah layak bagi rakyat Indonesia? Apakah harga BBM di Indonesia yang sudah jauh lebih tinggi dari Amerika Serikat layak dibebankan kepada rakyat Indonesia? Bukankah rakyat Indonesia berhak mendapatkan harga BBM yang lebih baik dari yang sekarang, mengingat harga minyak mentah dunia sudah begitu rendah?
Penentuan harga monopoli yang tinggi setahun belakangan ini dinikmati oleh para distributor BBM (khususnya Pertamina, tetapi juga Shell dan Total). Artinya, terjadi transfer payment dari rakyat kepada Negara (dan distributor BBM) melalui penentuan harga monopoli yang tinggi ini. Jangan sampai transfer payment dalam hal ini diartikan sebagai “perampasan” atau “perampokan” uang rakyat melalui kekuatan monopoli.
Penentuan harga monopoli yang tinggi setahun belakangan ini dinikmati oleh para distributor BBM (khususnya Pertamina, tetapi juga Shell dan Total). Artinya, terjadi transfer payment dari rakyat kepada Negara (dan distributor BBM) melalui penentuan harga monopoli yang tinggi ini. Jangan sampai transfer payment dalam hal ini diartikan sebagai “perampasan” atau “perampokan” uang rakyat melalui kekuatan monopoli.
Kedua, aspek ekonomi. Penurunan harga BBM saat ini seharusnya semakin relevan seiring penurunan perekonomian nasional. Penurunan harga BBM harus dilihat sebagai stimulus kepada rakyat untuk mendongkrak konsumsi dan pertumbuhan ekonomi. Kalau harga BBM premium turun Rp 1.000 per liter, maka rakyat dapat menghemat konsumsi BBM sekitar Rp 50 triliun per tahun (dengan asumsi konsumsi BBM premium sebesar 50 juta kilo liter (KL) per tahun). Dipastikan, penghematan belanja BBM ini akan meningkatkan konsumsi, dan pertumbuhan ekonomi.
Semoga pemerintah dapat segera menyesuaikan cara berpikir dan logikanya dalam menentukan kebijakan harga BBM ini: bukan hanya dikatikan dengan transportasi, tetapi seharusnya dikaitkan dengan kondisi perekonomian nasional serta kepentingan rakyat banyak.
--- 000 ---
Comments
Post a Comment