Blunder Pajak: Kebijakan Fiskal Penilaian Kembali Aktiva Tetap

Target penerimaan pajak tahun 2015 yang ditetapkan pemerintah jelas sangat tinggi sehingga sulit tercapai. Segala cara diberdayakan untuk dapat memenuhi target tersebut. Salah satunya adalah dengan memberi fasilitas perpajakan kepada perusahaan yang melakukan penilaian kembali, atau revaluasi, aktiva tetapnya. Maksudnya, perusahaan boleh menetapkan kembali nilai aktiva tetapnya dengan nilai yang baru  yang tentu saja lebih tinggi dari nilai bukunya, asal perusahaan membayar pajak penghasilan atas nilai revaluasi tersebut, yaitu selisih antara nilai baru dengan nilai bukunya. Tarif pajak yang harus dibayar adalah:
  • 3 persen dari nilai revaluasi untuk periode hingga 31 Desember 2015,
  • 4 persen dari nilai revaluasi untuk periode 1 Januari 2016 sampai 30 Juni 2015, dan
  • 6 persen dari nilai revaluasi untuk periode 1 Juli 2016 sampai 31 Desember 2016.

Mengapa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, sampai bisa mengeluarkan kebijakan fasilitas perpajakan seperti ini? Apa dasar pemikirannya?

Kebijakan ini sebenarnya salah kaprah, alias blunder. Pemerintah terkesan panik menghadapi target pajak 2015 yang terlalu tinggi tersebut, sehingga mengeluarkan kebijakan yang salah kaprah dan sangat merugikan negara. Dalam kepanikannya, pemerintah hanya berpikir jangka pendek saja, yaitu bagaimana memenuhi setoran pajak tahun ini tanpa memperhitungkan dampak jangka panjangnya.

Penilaian kembali aktiva tetap seharusnya diatur sedemikian rupa agar tidak disalahgunakan. Pertama, penilaian kembali aktiva tetap seharusnya tidak boleh menjadi tujuan perpajakan seperti disebut secara eksplisit di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap untuk Tujuan Perpajakan bagi Permohonan yang diajukan pada Tahun 2015 dan Tahun 2016. Penilaian kembali aktiva tetap seharusnya memperhatikan faktor rentabilitas perusahaan. Artinya penilaian kembali aktiva tetap tidak boleh dilakukan untuk tujuan meningkatkan komponen “modal sendiri” yang telah menyusut karena perusahaan mengalami kerugian pada periode-periode sebelumnya. Kedua, kebijakan penilaian kembali aktiva tetap seharusnya bersifat netral khususnya dalam perpajakannya, artinya tidak membebani perusahaan dan juga tidak merugikan pemerintah.

Tetapi, nyatanya kebijakan fasilitas perpajakan Penilaian Kembali Aktiva Tetap ini sangat merugikan pemerintah karena setelah revaluasi penerimaan pajak di tahun-tahun mendatang akan lebih rendah. Sekali lagi, kebijakan ini kelihatan sekali tidak dipikirkan secara matang tetapi hanya untuk kepentingan jangka pendek.

Kalau tarif pajak revaluasi yang dikenakan adalah 3 persen (untuk periode sebelum 31 Desember 2015) dari nilai revaluasi aktiva tetap, maka secara keseluruhan pemerintah akan mengalami “tekor” atau kekurangan penerimaan pajak selama umur ekonomis aktiva tetap tersebut, misalnya 8 tahun, sebesar 22 persen dikali nilai revaluasi aktiva tetap tersebut (= 25 persen tarif PPh badan dikurangi 3 persen tarif pajak revaluasi). Hal ini disebabkan karena depresiasi nilai revaluasi aktiva tetap tersebut akan menjadi pengurang laba kena pajak sehingga mengurangi pajak penghasilan badan.

Untuk lebih jelasnya maka ikuti contoh berikut ini. Asumsikan, nilai buku aktiva tetap PT A per 31 Desember 2015 = Rp 6 miliar. Penilaian Kembali aktiva tetap tersebut per 1 Januari 2016 = Rp 9 miliar. Maka Nilai Revaluasi (= kenaikan nilai) aktiva tetap = Rp 3 miliar. Umpamakan umur ekonomis aktiva tetap = 8 tahun. Maka, secara keseluruhan penerimaan pajak pemerintah selama 8 tahun ke depan akan berkurang 22 persen (25 persen - 3 persen) x Rp 3 milar = Rp 660 juta. Hal ini disebabkan karena Nilai Revaluasi sebesar Rp 3 miliar akan didepresiasi selama 8 tahun, dan akan mengurangi pajak perusahaan sebesar tarif pajak yang berlaku, yaitu 25 persen.

Perincian perhitungannya adalah sebagai berikut: (Lihat tabel di bawah)
Nilai Revaluasi (selisih penilaian kembali dengan nilai buku) = Rp 3.000.000.000.  Umur eknomis 8 tahun, maka biaya depresiasi Nilai Revaluasi per tahun = Rp 375.000.000 (Rp 3.000.000.000 / 8 tahun), yang mana jumlah ini akan menjadi pengurang laba kena pajak. Oleh karena itu, penghematan pajak yang harus dibayar PT A kakibat revaluasi = Rp 93.750.000 per tahun (tarif pajak 25% x Rp 375.000.000), atau Rp 750.000.000 untuk 8 tahun (= Rp 375.000.000 x 8).

Sedangkan penerimaan pajak dari Revaluasi aktiva tetap per 31/12/2015 hanya Rp 90.000.000 (tarif pajak revaluasi 3 persen x Rp 3.000.000.000). Jumlah ini ternyata lebih kecil dari biaya depresiasi tambahan per tahun akibat Revaluasi yang sebesar Rp 93.750.000. Artinya, pajak revaluasi yang dibayar perusahaan pada tahun 2015 ini sudah dapat kembali pada 2016.


Secara keseluruhan, penerimaan pajak pemerintah akan berkurang Rp 660 juta selama umur ekonomis aktiva tetap tersebut, dalam hal ini 8 tahun, atau 22 persen dikali Nilai Revaluasi tersebut (22% x Rp 3 miliar = Rp 660 juta). Lihat tabel di bawah.

Kesimpulan
Kesimpulannya adalah, kebijakan fiskal Penilaian Kembali Ativa Tetap tersebut di atas mengakibatkan penerimaan pajak untuk tahun-tahun selanjutnya akan berkurang. Artinya, akan memengaruhi tax ratio penerimaan pajak menjadi turun lagi. Oleh karena itu, penurunan tax ratio ini jangan menjadi alasan lagi bagi pemerintah untuk menyimpulkan tingkat kepatuhan membayar pajak masyarakat menurun.

Akhir kata, Kebijakan fiskal Penilaian Kembali Aktiva Tetap untuk memenuhi target pajak 2015 seperti cerita dongeng Angsa Bertelur Emas: mengambil semua telur emas di dalam perut Angsa dengan membunuh Angsanya.

--- 000 ---

Comments

  1. Koreksi sedikit pak Anthony...
    Karena di revaluasinya tgl 01 jan 2016..... Maka tarif nya 4% pak.... Bukan 3%.....

    Demikian pak.....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya mengambil contoh 3% untuk yang sudah setor hingga 31 Desember 2015; 4% untuk periode 1 Januari 2016 - 30 Juni 2016; 6% untuk periode 1 Juli 2016 - 31 Desember 2016.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial