Perekonomian Indonesia: Optimisme yang menjelma menjadi pesimisme dalam hitungan hari dan minggu

Beberapa tahun terakhir ini, khususnya pasca krisis keuangan 2007/2008 yang melanda AS dan negara-negara eurozone, perekonomian negara-negara berkembang seperti Indonesia, Thailand, atau Brasil, sangat dipuja. Dikatakan bahwa perekonomian negara-negara berkembang tersebut sudah begitu mandiri dan kuat sehingga tidak tergantung lagi dari ekonomi negara-negara maju yang sedang dilanda krisis.

Khususnya di Indonesia, pemerintah dengan bangga mengatakan perekonomian Indonesia secara fundamental sangat kuat  sehingga tidak ikut terjerumus dalam krisis tersebut di atas.

Pada hari Jum'at, 16 Agustus 2013, Presiden dalam pidatonya mengatakan perekonomian Indonesia masih sangat kuat. Pemerintah dengan sangat yakin menargetkan tingkat pertumbuhan ekonomi tahun depan sebesar 6,4 persen.

Gambaran perekonomian negara-negara berkembang yang kuat, kini memudar. Dalam periode yang sangat singkat, bursa saham di berbagai negara berkembang anjlok. Bursa saham Indonesia turun lebih dari 9 persen hanya dalam 1 minggu setelah pidato Presiden yang menggambarkan optimisme perekonomian Indonesia. Bursa Thailand turun 6,5 persen selama periode yang sama, Bursa Manila turun 6 persen hanya pada hari Kamis, 22 Agustus 2013, saja.

Begitu juga dengan nilai tukar negara-negara berkembang yang sebelumnya sangat disanjung-sanjung. Nilai tukar rupee India anjlok ke tingkat terendah sepanjang masa, Ringgit Malaysia anjlok 7 persen selama empat bulan terakhir ini, Kurs rupiah Indonesia sudah merosot lebih dari 10 persen sepanjang tahun ini.

Optimisme terhadap perekonomian kita yang sampai minggu lalu masih dinyatakan sangat kuat, tiba-tiba berubah menjadi kepanikan. Pemerintah tergopoh-gopoh mengeluarkan paket kebijakan ekonomi untuk memperkuat nilai tukar rupiah dan index saham agar tidak merosot lebih dalam lagi. Paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan kemarin, Jum'at, 23 Agustus, ternyata juga direspons sangat negatif oleh pelaku pasar.

Sekarang baru terlihat bahwa perekonomian negara-negara berkembang masih tergantung dari perekonomian, dan kebijakan ekonomi, negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat. Jadi, janganlah para pemimpin negara-negara berkembang menjadi sombong dengan mengatakan perekonomian mereka tidak tergantung lagi dari perekonomian negara-negara maju.

Perekonomian negara-negara berkembang dapat selamat dari krisis ekonomi 2008 karena Amerika Serikat mengambil kebijakan Quantitative Easing (QE) di mana likuiditas dollar mengalir deras ke negara-negara berkembang sehingga nilai tukar menguat dan index saham meningkat. Aliran likuiditas ini merupakan ekses dari kebijakan ekonomi Amerika Serikat di mana apabila likuiditas tersebut tidak mengalir ke negara-negara berkembang maka akan memicu inflasi dan bubble di Amerika Serikat.

Begitu QE diperketat maka akan terjadi arus balik likuiditas dari negara-negara berkembang ke sumber asalnya di Amerika Serikat yang mengakibatkan efek sebaliknya, yaitu nilai tukar anjlok dan index bursa merosot.

Khususnya bagi Indonesia, perkembangan ekonomi di bulan-bulan mendatang sangat kritis dan dapat berakibat fatal bagi perekonomian Indonesia. QE mempunyai efek menahan harga-harga komoditas untuk tidak turun lebih dalam. Begitu QE diperketat maka harga komoditas dapat merosot lebih dalam. Apabila ini terjadi, maka ekspor Indonesia yang 40 persen terdiri dari batubara, sawit dan karet akan terpuruk lebih dalam, dan, tentu saja, defisit neraca perdagangan akan meningkat.

Setiap orang dapat menduga apa yang akan terjadi dengan perekonomian kita apabila hal di atas terjadi.

--- 000 ---

Comments

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial