BI Rate Naik, Pertumbuhan Ekonomi Terancam

Catatan: Tulisan ini dimuat di Harian Media Indonesia, Sabtu, 31 Agustus 2013

Krisis ekonomi (dan finansial) pada umumnya datang secara tiba-tiba. Namun demikian, pemerintah yang baik seharusnya dapat mengenali tanda-tanda bahaya krisis dan menyiapkan langkah untuk mengatasinya.

Tetapi, hal tersebut tidak terjadi pada pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II. Pada setiap kesempatan pemerintah selalu mengatakan bahwa ekonomi Indonesia sangat baik dan sangat kuat secara fundamental. Bahkan pada tanggal 16 Agustus 2013, dalam pidatonya dihadapan anggota Dewan, Presiden secara tegas mengatakan bahwa ekonomi Indonesia masih sangat bagus dengan tingkat pertumbuhan terbesar kedua di dalam kelompok G20, setelah China. Satu hari (kerja) setelah itu, Senin, 19 Agustus 2013, bursa Indonesia dan kurs rupiah turun tajam. Pelemahan ini terus berlanjut di mana akhirnya pada tanggal 23 Agustus 2013, satu minggu setelah pidato Presiden, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi sebagai upaya untuk mengangkat kembali nilai rupiah dan indeks saham yang jatuh. Dalam sepekan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun sekitar 9 persen. Kurs rupiah merosot lebih dari 10 persen sepanjang tahun 2013. Inflasi (y.o.y) Juli 2013 menurut Bank Indonesia (BI) sebesar 8,61 persen.

Optimisme terhadap kondisi perekonomian kita tiba-tiba berubah menjadi kepanikan. Bank Indonesia juga terlambat membaca tanda-tanda bahaya krisis yang sebenarnya dapat dikenali sejak lama. Krisis umumnya diawali dengan bubble yang kemudian pecah karena pemerintah tidak dapat mengantisipasi bubble tersebut. Perekonomian Indonesia jelas mengalami bubble yang sudah menggelembung sejak lama. IHSG melonjak dari 1.146 pada 17 November 2008 menjadi 5.145 pada 13 May 2013, atau naik 4,5 kali lipat (lihat grafik) selama 4,5 tahun. Kenaikan indeks saham seperti ini jelas menunjukkan bubble.

Kemudian, ketika defisit neraca perdagangan memburuk sejak April 2012, tetapi IHSG tetap naik secara konsisten, pemerintah dan Bank Indonesia seharusnya waspada. Tetapi ini tidak terjadi. Pemerintah bahkan mengatakan ekonomi Indonesia sangat kuat, padahal defisit neraca perdagangan sudah sedemikian kritis dan struktural. Sejak April 2012 neraca perdagangan bulanan selalu defisit kecuali tiga bulan saja (Agustus dan September 2012, Maret 2013).

Karena tidak mengenali bahaya krisis, ketika bubble mulai retak pada Senin 19 Agustus 2013 maka pemerintah dan Bank Indonesia menjadi panik.


Sumber: finance.yahoo.com

Kepanikan dan kegagapan dalam menyikapi kondisi ekonomi dan moneter terkini itu juga terlihat dari langkah-langkah yang diambil oleh Bank Indonesia. Pada 23 Agustus 2013, bersamaan dengan pemerintah, Bank Indonesia mengeluarkan paket kebijakan moneter yang terdiri dari lima langkah, di mana terkesan kebijakan ini diambil berdasarkan coba-coba. Ketika pelemahan indeks saham dan kurs rupiah masih berlanjut, Bank Indonesia kemudian mencoba lagi dengan senjata pamungkasnya, yaitu menaikkan BI rate dari 6,5 persen menjadi 7 persen. Diharapkan kenaikan BI rate ini dapat menahan laju inflasi serta anjloknya kurs rupiah. Saya katakan senjata pamungkas, karena kelihatannya Bank Indonesia tidak mempunyai jurus lain lagi setelah ini untuk menahan merosotnya kurs rupiah apabila ternyata BI rate yang baru tidak efektif.

Pertanyaannya adalah, apakah kenaikan BI rate menjadi 7 persen akan berguna? Artinya, apakah kenaikan BI rate dapat meredam laju inflasi dan menahan anjloknya kurs rupiah? atau, kenaikan BI rate malah akan menjadi masalah baru bagi perekonomian Indonesia?

Kenaikan BI rate menjadi 7 persen niscaya tidak dapat menahan laju inflasi karena inflasi yang terjadi saat ini adalah inflasi non-moneter, atau inflasi yang disebabkan bukan karena permasalahan moneter, sehingga inflasi tersebut tidak dapat diselesaikan dengan kebijakan moneter. Pertama, inflasi saat ini disebabkan karena kenaikan harga BBM yang memicu kenaikan harga barang. Sebesar apapun tingkat suku bunga acuan, pasti tidak dapat menurunkan kenaikan biaya dan harga barang yang disebabkan kenaikan harga BBM ini. Kemudian, apabila tata kelola perdagangan kita masih seperti saat ini, amburadul dan tidak terkendali, maka inflasi bahkan dapat meningkat lagi: setelah harga bawang merah dan harga bawang putih meroket, disusul dengan kenaikan harga daging dan cabe, dan sekarang disusul dengan melonjaknya harga kedelai. Kenaikan harga komoditas-harga komoditas tersebut murni karena salah kelola bidang perdagangan, bukan karena masalah moneter. jadi, kenaikan BI rate tidak akan berdampak pada penurunan inflasi yang disebabkan faktor perdagangan ini.

Selanjutnya, BI rate juga tidak dapat menahan dolar AS terbang ke luar negeri apabila pengetatan (pengurangan bertahap) kebijakan Quantitative Easing (QE) benar-benar diberlakukan oleh Bank Sentral AS. Pengetatan ini dipastikan akan menyedot dolar AS ke tempat asalnya, meskipun BI rate berada di tingkat 7 persen, atau bahkan lebih. Selisih suku bunga (tambahan sebanyak 0,5 persen) tidak dapat menahan dolar AS keluar dari Indonesia, dan oleh karena itu tidak dapat menahan merosotnya kurs rupiah.

Sebaliknya, kenaikan BI rate bahkan dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi kita karena tingkat suku bunga pinjaman akan naik, sektor properti dan otomotif akan terhambat. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, kenaikan suku bunga deposito dan suku bunga pinjaman akibat kenaikan BI rate dapat menghambat konsumsi masyarakat dan investasi, di mana keduanya saat ini menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional.

Kesimpulan
Ekonomi Indonesia yang beberapa tahun belakangan ini mengalami bubble, sekarang mulai memasuki tahapan krisis. Kebijakan menaikkan BI rate menjadi 7 persen sulit diharapkan meredam laju inflasi dan menahan merosotnya kurs rupiah terhadap dolar AS. Kenaikkan BI rate malah dapat memperburuk kondisi ekonomi nasional dan mempercepat pelambatan pertumbuhan ekonomi: konsumsi dan investasi akan turun.

--- 000 ---

Follow Twitter: @AnthonyBudiawan

Comments

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial