Panik, Bank Indonesia Menggelar Rapat Dewan Gubernur Bulanan Tambahan
Setiap satu bulan sekali Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) menggelar rapat untuk membahas kondisi ekonomi dan moneter terkini, dan mengambil kebijakan moneter apabila diperlukan. Untuk bulan Agustus 2013 rapat bulanan tersebut sudah terlaksana pada tanggal 15 Agustus yang lalu, sebelum nilai rupiah terperosok. Hanya berselang seminggu setelah itu, nilai rupiah turun sekitar 10 persen, dan indeks saham anjlok.
Untuk menjaga nilai rupiah dan indeks saham agar tidak terpuruk lebih jauh maka pada tanggal 23 Agustus 2013 BI mengeluarkan lima butir kebijakan moneter yang diharapkan dapat membantu stabilitas makroekonomi. Akan tetapi, hasilnya jauh dari memuaskan, nilai rupiah dan indeks saham tetap merosot. Kurs rupiah sempat melemah hingga Rp 11.400-an per dolar AS (bloomberg).
Kondisi ini membuat BI mulai panik, dan segera menggelar rapat bulanan tambahan yang akan dilaksanakan besok, Kamis, 29 Agustus 2013. Dalam rapat ini diperkirakan BI akan menaikkan tingkat suku bunga acuan (BI rate) yang saat ini sebesar 6,5 persen. Apabila BI benar-benar panik maka BI akan menaikkan BI rate tersebut sebanyak 50 basis poin menjadi 7 persen. Diharapkan kenaikan BI rate dapat menahan laju inflasi serta anjloknya kurs rupiah.
Pertanyaannya adalah, apakah kenaikan BI rate akan berguna? atau, malah akan menjadi masalah?
Kenaikan BI rate nicaya tidak dapat menahan laju inflasi karena inflasi yang terjadi saat ini adalah inflasi non-moneter, atau inflasi yang bukan disebabkan oleh permasalahan moneter, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan kebijakan moneter. Apabila tata kelola perdagangan masih seperti saat ini, amburadul dan tidak ada kendali, maka inflasi bahkan dapat meningkat. Setelah harga bawang merah dan bawang putih meroket, disusul dengan kenaikan harga daging dan cabe, dan sekarang disusul dengan melonjaknya harga kedele. Kenaikan harga komoditas-harga komoditas tersebut murni karena salah kelola perdagangan, bukan karena masalah moneter. jadi, kenaikan BI rate tidak akan berdampak pada penurunan inflasi.
Kemudian, BI rate juga tidak dapat menahan dolar terbang ke luar negeri, karena pengetatan Quantitative Easing (QE) yang akan diterapkan oleh Bank Sentral AS akan menyedot dolar ke tempat asalnya. Selisih suku bunga (tambahan sebanyak 0,5 persen) tidak dapat menahan dolar keluar dari Indonesia, dan oleh karena itu tidak dapat menahan merosotnya kurs rupiah.
Kenaikan BI rate bahkan akan berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi karena suku bunga pinjaman akan naik, sektor properti dan otomotif akan terhambat.
Seperti menggarami air laut, menaikkan BI rate akan sia-sia belaka. kebijakan ini bahkan dapat menjadi boomerang bagi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan: konsumsi dan investasi akan turun.
Untuk menjaga nilai rupiah dan indeks saham agar tidak terpuruk lebih jauh maka pada tanggal 23 Agustus 2013 BI mengeluarkan lima butir kebijakan moneter yang diharapkan dapat membantu stabilitas makroekonomi. Akan tetapi, hasilnya jauh dari memuaskan, nilai rupiah dan indeks saham tetap merosot. Kurs rupiah sempat melemah hingga Rp 11.400-an per dolar AS (bloomberg).
Kondisi ini membuat BI mulai panik, dan segera menggelar rapat bulanan tambahan yang akan dilaksanakan besok, Kamis, 29 Agustus 2013. Dalam rapat ini diperkirakan BI akan menaikkan tingkat suku bunga acuan (BI rate) yang saat ini sebesar 6,5 persen. Apabila BI benar-benar panik maka BI akan menaikkan BI rate tersebut sebanyak 50 basis poin menjadi 7 persen. Diharapkan kenaikan BI rate dapat menahan laju inflasi serta anjloknya kurs rupiah.
Pertanyaannya adalah, apakah kenaikan BI rate akan berguna? atau, malah akan menjadi masalah?
Kenaikan BI rate nicaya tidak dapat menahan laju inflasi karena inflasi yang terjadi saat ini adalah inflasi non-moneter, atau inflasi yang bukan disebabkan oleh permasalahan moneter, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan kebijakan moneter. Apabila tata kelola perdagangan masih seperti saat ini, amburadul dan tidak ada kendali, maka inflasi bahkan dapat meningkat. Setelah harga bawang merah dan bawang putih meroket, disusul dengan kenaikan harga daging dan cabe, dan sekarang disusul dengan melonjaknya harga kedele. Kenaikan harga komoditas-harga komoditas tersebut murni karena salah kelola perdagangan, bukan karena masalah moneter. jadi, kenaikan BI rate tidak akan berdampak pada penurunan inflasi.
Kemudian, BI rate juga tidak dapat menahan dolar terbang ke luar negeri, karena pengetatan Quantitative Easing (QE) yang akan diterapkan oleh Bank Sentral AS akan menyedot dolar ke tempat asalnya. Selisih suku bunga (tambahan sebanyak 0,5 persen) tidak dapat menahan dolar keluar dari Indonesia, dan oleh karena itu tidak dapat menahan merosotnya kurs rupiah.
Kenaikan BI rate bahkan akan berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi karena suku bunga pinjaman akan naik, sektor properti dan otomotif akan terhambat.
Seperti menggarami air laut, menaikkan BI rate akan sia-sia belaka. kebijakan ini bahkan dapat menjadi boomerang bagi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan: konsumsi dan investasi akan turun.
--- 000 ---
Comments
Post a Comment