Pemerataan Pendapatan: Bagaikan Pungguk Merindukan Bulan?

Memasuki awal tahun 2017,  “Pemerataan” menjadi kata yang sangat populer. Pasalnya, pemerintah mencanangkan Pemerataan sebagai target utama pembangunan ekonomi Indonesia tahun 2017 (dan seterusnya?). Sepertinya pemerintah memang harus menciptakan slogan baru untuk pembangunan ekonomi 2017 (dan seterusnya) mengingat target pertumbuhan ekonomi 2017 hanya dipatok 5,1 persen saja, jauh di bawah target pertumbuhan ekonomi rata-rata yang ditetapkan pemerintah sewaktu kampanye, yaitu 7 persen. Oleh karena itu, Pemerataan sebagai tujuan utama pembangunan ekonomi tahun ini sangat menghibur: meskipun pertumbuhan ekonomi tidak tinggi, tetapi lebih dinikmati oleh kelompok miskin (kelompok berpendapatan rendah)!

Apa yang dimaksud dengan Pemerataan? Pemerataan Pendapatan atau Pemerataan Kekayaan (aset)? Kita asumsikan yang dimaksud dengan Pemerataan adalah Pemerataan Pendapatan: diharapkan selisih Pendapatan antara Kelompok Kaya dan Kelompok Miskin semakin menyempit.

Pemerataan Pendapatan sebagai tujuan pembangunan ekonomi sangat mudah untuk diucapkan tetapi sulit dilaksanakan. Kenyataannya, Kesenjangan Pendapatan hampir di seluruh dunia selama 50 tahun terakhir semakin melebar terus. Dengan kata lain, Pendapatan semakin tidak merata.

Semakin Tinggi Pertumbuhan Ekonomi, Semakin Lebar Kesenjangan Pendapatan
Kita sering mendengar pernyataan pengamat sosial/ekonomi maupun politisi yang mengatakan pertumbuhan ekonomi (kita) tidak berkeadilan karena Kesenjangan Pendapatan semakin melebar. Faktanya, pertumbuhan ekonomi yang efisien dan efektif akan selalu meningkatkan Kesenjangan Pendapatan: semakin efisien dan semakin efektif pertumbuhan ekonomi, maka semakin melebar Kesenjangan Pendapatan. Kok Bisa?

Penjelasan sederhananya adalah sebagai berikut. Apa yang terjadi kalau ada sebuah perusahaan kecil berkembang dan bertumbuh terus, dan menjelma menjadi perusahaan besar? Dapat dipastikan, Pendapatan dari direktur utama perusahaan tersebut (dan pemilik perusahaan) akan meningkat tajam. Tetapi, di dalam periode tersebut, pendapatan pegawai rendahan, misalnya office boy, meskipun naik tetapi biasanya tidak signifikan: mungkin hanya cukup menutupi tingkat inflasi, atau kenaikannya sesuai upah minimum. Dengan demikian, maka Kesenjangan Pendapatan di perusahaan tersebut akan meningkat tajam. Perusahaan adalah representasi pelaku ekonomi negara. Oleh karena itu, semakin berkembang suatu perusahaan, berarti semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, maka semakin besar Kesenjangan Pendapatan. Sebaliknya, di dalam periode resesi atau penurunan pertumbuhan ekonomi, Kesenjangan Pendapatan secara otomatis akan berkurang karena Kelompok Kaya kehilangan Pendapatan secara signifikan.

Mengurangi Kesenjangan Pendapatan / Meningkatkan Pemerataan
Kalau begitu, bagaimana cara mempersempit Kesenjangan Pendapatan (atau meningkatkan Pemerataan)? Jalan satu-satunya adalah melalui Redistribusi Pendapatan. Dan, Redistribusi Pendapatan hanya dapat dilakukan secara efektif melalui mekanisme Pajak Progresif dan Dana Transfer (bantuan sosial). Artinya, semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi tarif  pajak yang dikenakan: semakin tinggi pendapatan, semakin besar pajak yang harus dibayar (secara persentase maupun jumlah). Kemudian, penerimaan pajak progresif tersebut sebagian digunakan untuk membantu kelompok miskin (Dana Transfer), misalnya untuk dana kesehatan, dana pendidikan, dan subsidi lainnya (misalnya perumahan).

Pengenaan tarif pajak flat seperti PPN (Pajak Pertambahan Nilai) tidak dapat berfungsi sebagai alat Redistribusi Pendapatan. Sebaliknya, tarif flat membebani Kelompok Miskin dibandingkan Kelompok Kaya, karena secara relatif pajak efektif yang dibayar oleh Kelompok Miskin akan jauh lebih besar dari Kelompok Kaya. Lihat tabel di bawah ini. Untuk belanja Rp 2.000.000 kita dikenakan PPN sebesar Rp 200.000 (tarif PPN 10 persen). Untuk Kelompok Miskin yang mempunyai Pendapatan Rp 10.000.000 per tahun maka pajak (PPN) yang dibayar setara 2 persen dari Pendapatannya. Tetapi, bagi Kelompok Kaya, pajak Rp 200.000 tersebut hanya setara 0,02 persen saja dari pendapatannya yang sebesar Rp 1 miliar. Jadi, pajak flat seperti PPN sangat membebani Kelompok Miskin dibandingkan dengan Kelompok Kaya. Tetapi hal ini tidak tercermin di dalam Koefisien GINI sebagai tolok ukur Kesenjangan, karena Koefisien GINI biasanya dihitung Koefisien GINI sebelum pajak penghasilan (pre-tax GINI coefficient) dan Koefisien GINI sesudah pajak penghasilan (after–tax GINI coefficient), tetapi tidak pernah dihitung Koefisien GINI setelah pajak konsumsi!
Ilustrasi: Tarif Efektif Pajak Flat
Lain Kata, Lain Perbuatan: Bagaikan Pungguk Merindukan Bulan?
Kebijakan pemerintah pada awal tahun 2017 ini dengan menaikkan tarif administrasi kendaraan bermotor, tarif listrik 900VA, harga BBM, jelas tidak mencerminkan tujuan pemerintah untuk meningkatkan Pemerataan Pendapatan. Sebaliknya, kebijakan tersebut akan meningkatkan Kesenjangan Pendapatan.

Semoga pemerintah segera dapat memberlakukan kebijakan yang dapat meningkatkan Pemerataan sesuai tema dan tujuan pembangunan ekonomi tahun 2017 ini. Semoga tujuan mulia ini tidak menjadi harapan hampa: bagaikan pungguk merindukan bulan.

--- 000 ---

Comments

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial