Stimulus Fiskal dan Penyelamatan Ekonomi 2015

Tulisan ini merupakan Bagian 3 dari tulisan berserial yang diambil dari makalah “Anomali Perpajakan Indonesia: Perpajakan dan Pertumbuhan Ekonomi 2015” yang saya sampaikan pada seminar nasional yang diselenggarakan oleh Kwik Kian Gie School of Business pada 16 Juni 2015.

Baca Bagian 1: Perpajakan dan Kebijakan Fiskal: ‘Blunder’ APBNP 2015, http://bit.ly/1fm2ZPl
Baca Bagian 2: Target Penerimaan Pajak 2015 Tidak Tercapai, Pertumbuhan Ekonomi Q2 2015 Melemah, http://bit.ly/1d7BPKb

Seperti dijelaskan pada tulisan sebelumnya, target penerimaan pajak dan target pertumbuhan ekonomi 2015 hampir mustahil dapat tercapai. Karena sampai akhir Mei 2015 realisasi penerimaan pajak masih minus 2,44 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2014, padahal target pajak tahun 2015 dinaikkan 31,41 persen dari realisasi 2014. Sedangkan ekonomi 2015 yang diharapkan bertumbuh 5,7 persen ternyata pada kuartal pertama 2015 hanya bertumbuh 4,71 persen saja, dengan kecenderungan ekonomi kuartal kedua masih melemah sehingga sangat sulit mencapai target pertumbuhan 5,7 persen.

Pertanyaannya adalah, kalau kedua target tersebut tidak tercapai, apa konsekuensinya? Bukankah selama ini juga target penerimaan pajak serta pertumbuhan ekonomi sudah sering tidak tercapai

Konsekuensi tidak tercapainya penerimaan pajak kali ini cukup serius. Seperti kita ketahui, pemerintah hanya diperbolehkan mempunyai defisit pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maksimal 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit pada APBN-P(erubahan) 2015 dianggarkan Rp 222,51 triliun atau 1,9 persen dari PDB. Artinya, pemerintah hanya dapat menambah defisit sekitar Rp 100 triliun saja kalau ingin defisitnya tidak melebihi 3 persen dari PDB.

Sedangkan penerimaan pajak 2015 secara nominal ditargetkan naik Rp 309 triliun dari realisasi penerimaan 2014. Tetapi, sampai 31 Mei 2015 realisasi penerimaan pajak masih jauh dari target, atau masih ‘tekort’ Rp 9,44 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2014. Kalau kondisi seperti ini terus berlanjut dan penerimaan pajak tahun 2015 sama dengan tahun 2014, maka berarti pemerintah akan ‘tekort’ Rp 309 triliun. Oleh karena itu, karena tambahan defisit yang diperbolehkan hanya Rp 100 triliun saja (agar defisit tidak lebih dari 3 persen) maka pemerintah harus memangkas anggaran belanjanya dengan jumlah yang sangat besar, bisa sekitar Rp 100 triliun hingga Rp 200 triliun, dan dapat membuat pertumbuhan ekonomi 2015 semakin melemah lagi. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah dihadapkan pada situasi dilematis, yaitu menyelamatkan anggaran (APBN) agar defisit tidak melebihi 3 persen dari PDB atau menyelamatkan pertumbuhan ekonomi agar tidak anjlok lebih dalam lagi.

Dengan pertumbuhan ekonomi sudah di bawah 5 persen, pemerintah seharusnya lebih mengutamakan penyelamatan ekonomi ketimbang anggaran. Pasalnya, kalau pertumbuhan ekonomi anjlok lebih dalam lagi maka tingkat pengangguran meningkat dan jumlah rakyat miskin bertambah. Kalau ini terjadi maka pemulihan ekonomi akan memerlukan waktu semakin lama, seperti yang terjadi di Uni Eropa belakangan ini. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi tidak ada jalan lain bagi pemerintah kecuali memberikan stimulus fiskal secara agresif. Kebijakan ini tentu saja akan membuat defisit anggaran semakin melebar sehingga melebihi batas defisit yang diperbolehkan oleh undang-undang. Untuk itu, pemerintah bersama DPR harus segera membatalkan atau meningkatkan batas defisit anggaran yang saat ini ditetapkan sebesar 3 persen dari PDB agar stimulus fiskal dapat berjalan dengan baik.

Yang dimaksud dengan stimulus fiskal adalah pengurangan pajak (baik pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, atau pajak ekspor) untuk meningkatkan konsumsi/ekspor dan atau peningkatan belanja negara, yang keduanya berarti menambah defisit pada APBN.

Apa yang sudah dilakukan pemerintah sejauh ini terkait bidang perpajakan dan stimulus fiskal masih jauh dari cukup. Beberapa kebijakan perpajakan yang akan dan sudah diambil oleh pemerintah antara lain sebagai berikut.

Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) dan Pajak Penghasilan (PPh) Impor:
Pemerintah telah menghapus PPnBM untuk beberapa jenis barang mewah seperti di bawah ini untuk meningkatkan konsumsi dan menggairahkan ekonomi.
  1. Peralatan elektronik (AC, lemari es, mesin cuci, TV dan kamera)
  2. Alat olahraga (alat pancing, peralatan golf, selam, selancar)
  3. Alat musik (piano, alat musik elektrik)
  4. Branded Goods (pakaian, parfum, aksesoris, tas, arloji, barang dari logam)
  5. Perabot rumah tangga dan kantor (karpet, kasur, furnitur, porselin dan kristal).
Tetapi, bersamaan dengan itu pemerintah juga mengenakan PPh impor dari 7,5 persen menjadi 10 persen.

Stimulus fiskal seperti di atas tidak akan memberi dampak yang berarti terhadap pertumbuhan ekonomi karena selain jumlah stimulus fiskal sangat kecil, yaitu penghapusan PPnBM hanya sekitar Rp 800 miliar hingga Rp 1 triliun saja, stimulus tersebut juga berpotensi terkompensasi dengan kenaikan PPh impor dan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) sehingga mempunya efek menetralkan dampak stimulus.

Selain itu, penghapusan PPnBM belum tentu meningkatkan permintaan terhadap barang tersebut secara berarti mengingat barang-barang tersebut mempunyai karakteristik tidak “elastis”. Artinya penurunan harga tidak berpengaruh besar terhadap permintaan.

Kemudian, penghapusan PPnBM ini hanya memberi manfaat kepada kelompok masyarakat menengah dan atas. Seharusnya, manfaat stimulus fiskal dapat dinikmati juga oleh kelompok masyarakat menengah bawah.

Beberapa jenis barang mewah di atas kebanyakan berasal dari impor sehingga penghapusan PPnBM berpotensi meningkatkan impor.

PPnBM Rumah dan Apartemen, dan lainnya
Harga rumah dan apartemen mewah yang dikenakan PPnBM diturunkan dari Rp 10 miliar menjadi Rp 5 miliar. Kebijakan ini tentu saja bukan termasuk stimulus fiskal tetapi mempunyai tujuan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Tetapi, dampak dari kebijakan ini dapat memperlambat penjualan rumah mewah di atas Rp 5 miliar, dan oleh karena itu memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Jalan Tol dan Listrik
Pemerintah sejak awal tahun sudah merencanakan mengenakan PPN jalan tol dan PPN listrik untuk pelanggan rumah tangga dengan kapasitas 2.200 VA – 6.600 VA, tetapi sampai saat ini masih tertunda. Atau sudah dibatalkan? Pengenaan PPN ini pada dasarnya merupakan kebalikan dari stimulus fiskal dan akan mengakibatkan konsumsi masyarakat turun sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Pengampunan Pajak
Pemerintah kelihatannya mengandalkan pengampunan pajak untuk medongkrak penerimaan pajak 2015. Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi terkait wacana ini. Pertama, pemerintah sempat mengatakan telah mengetahui siapa saja yang tidak bayar pajak dengan semestinya. Kalau memang pemerintah sudah ada data “pengemplang” pajak maka pemerintah seharusnya mengusut dan menindak para pelanggar pajak demi mengamankan penerimaan pajak dan keadilan. Karena pajak merupakan kontribusi wajib dari rakyat untuk negara yang pembayarannya dapat dipaksakan berdasarkan undang-undang. Bukan malah pemerintah memberi pengampunan pajak seperti yang diwacanakan belakangan ini. Kedua, pengampunan pajak akan menimbulkan moral hazard, yaitu wajib pajak yang selama ini sudah bayar pajak dengan tertib bisa menjadi tidak tertib karena mungkin berharap pemerintah akan memberi pengampunan pajak lagi untuk beberapa tahun kedepan. Hal ini menjadi preseden mengingat pada 2008 sudah diberlakukan sunset policy, dan kemudian disusul pengampunan pajak pada tahun ini (kalau jadi). Jadi rakyat dapat berpikir apakah tahun-tahun selanjutnya akan ada pengampunan pajak lagi? Mungkin tahun 2020?

Selain itu, harapan pemerintah bahwa pengampunan pajak akan melambungkan penerimaan pajak merupakan harapan yang sangat spekulatif. Pemerintah berasumsi bahwa sejak 2009 banyak wajib pajak yang dengan sengaja tidak membayar pajak dengan semestinya. Hal ini, menurut pemerintah, dapat dilihat dari rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) yang juga terus menurun sejak 2009. Lihat tabel di bawah ini (realisasi penerimaan pajak 2007-2014). Dari tabel dapat dilihat tax ratio pada 2007 sebesar 12,43%, pada 2008 naik menjadi 13,30 persen (karena sunset policy), dan pada 2009 turun menjadi 11,04 persen. Tax ratio kemudian naik lagi, dan pada 2012 hampir mencapai 12 persen lagi. Pelambatan pertumbuhan ekonomi sejak 2013 membuat tax ratio turun, dan hanya mencapai 11,32 persen pada 2014. Meskipun demikian pemerintah menargetkan tax ratio sebesar 12,53 persen pada APBNP 2015, suatu target yang sangat ambisius mengingat kondisi ekonomi sedang mengalami tren menurun.
Penurunan tax ratio pada 2009 sebenarnya dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, krisis keuangan global 2007/2008 yang juga berimbas ke Indonesia menekan pertumbuhan ekonomi dari 6,01 persen (2008) menjadi 4,63 persen (2009). Penurunan ekonomi ini dapat tertahan di 4,63 persen karena pemerintah segera memberlakukan stimulus fiskal senilai Rp 71 triliun pada 2009, atau hampir 12 persen dari total penerimaan pajak 2009, atau setara dengan 1,26 persen dari PDB.

Kedua, perubahan undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) tahun 2008 yang berlaku efektif tahun 2009 mengakibatkan penerimaan pajak untuk tahun 2009 dan seterusnya berkurang drastis. Lihat tabel di bawah ini: Perkembangan Tarif Pajak dan PTKP sejak 1983 hingga kini (berdasarkan UU PPh tahun 2008).

UU PPh 2008 ini membuat penerimaan PPh berkurang sangat signifikan seperti diringkas di tabel di bawah ini: lapisan 1: tarif pajak berkurang dari 10 persen menjadi 5 persen; lapisan 2: tarif pajak berkurang dari 25 persen menjadi 15 persen; lapisan 3: tarif pajak berkurang dari 35 persen menjadi 15 persen; lapisa 4: tarif pajak berkurang dari 35 persen menjadi 25 persen; lapisan 5 tarif pajak berkurang dari 35 persen menjadi 30 persen.
Di samping itu, PPh Badan juga turun dari 30 persen (sebelum 2009) menjadi 28 persen (2009) dan turun lagi menjadi 25 persen (2010). PPh (final) yang berasal dari dividen juga dipangkas setengahnya dari 20 persen (sebelum 2009) menjadi 10 persen (setelah 2009).

Pengurangan pajak yang sedemikan besarnya membuat penerimaan pajak negara berkurang drastis, dan faktor inilah yang memicu tax ratio setelah 2009 turun jauh dibandingkan dengan sebelum 2009. Jadi, penurunan tax ratio sejak 2009 bukan disebabkan karena kepatuhan wajib pajak menurun.

Penutup
Melihat dari berbagai kebijakan perpajakan yang sudah diberlakukan sejauh ini, pemerintah kelihatannya belum mempunyai kebijakan yang terarah yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berarti. Tersirat kebijakan fiskal yang masih dalam rencana atau yang sudah diambil sangat jauh dari tujuan peningkatan ekonomi. Bahkan kebijakan fiskal tersebut saling tumpang tindih dan bertentangan satu dengan lainnya. Sebagai contoh, rencana penaikan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp 24 juta menjadi Rp 36 juta bertentangan dengan pengenaan Bea Materei pada penjualan ritel (de-stimulus fiskal).

Untuk meningkatkan kinerja ekonomi secara signifikan, pemerintah harus segera menggelontorkan stimulus fiskal secara agresif, terarah dan terukur. Yang dimaksud dengan agresif adalah stimulus fiskal tersebut harus cukup besar untuk dapat menggerakkan ekonomi, setidak-tidaknya menurut saya tidak kurang dari Rp 100 triliun (sekitar 1 persen dari PDB). Stimulus fiskal seyogyanya diarahkan kepada kelompok masyarakat menengah bawah karena kelompok ini akan membelanjakan dana stimulus fiskal yang diperolehnya sehingga kebijakan ini menjadi efektif.

Sebagai contoh, stimulus fiskal melalui peningkatan PTKP sebesar Rp 12 juta (dari Rp 24 juta menjadi 36 juta) mempunyai implikasi memberi manfaat yang lebih besar kepada orang pribadi yang mempunyai pendapatan besar. Bagi orang pribadi yang mempunyai pendapatan dengan tarif pajak 5 persen berarti memperoleh stimulus pajak (benefit) Rp 600.000 (= 5% x Rp 12 juta). Bagi orang pribadi yang mempunyai pendapatan dengan tarif pajak 15 persen berarti memperoleh benefit pajak Rp 1.800.000 (= 15% x Rp 12 juta), dan bagi orang pribadi yang mempunyai pendapatan dengan tarif pajak 30 persen berarti memperoleh benefit pajak Rp3.600.000 (30% x Rp 12 juta). Jadi kita bisa perkirakan bahwa stimulus fiskal melalui peningkatan PTKP akan kurang efektif dalam meningkatkan ekonomi. Karena bagi orang yang berpendapatan tinggi kemungkinan besar tidak semua benefit stimulus fiskal yang diperolehnya akan dibelanjakan seluruhnya.

Selain itu, stimulus fiskal juga dapat ditujukan kepada eksportir untuk meningkatkan ekspor dan atau para pekerja eksportir yang terkena imbas penurunan ekonomi global.

Semoga pemerintah segera mengeluarkan paket stimulus fiskal sebelum terlambat dan sebelum pertumbuhan ekonomi anjlok lebih dalam lagi.

--- 000 ---




Comments

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial