Perpajakan dan Kebijakan Fiskal: Blunder APBNP 2015

Tulisan ini merupakan bagian 1 dari tulisan berserial yang diambil dari makalah “Anomali Perpajakan Indonesia: Perpajakan dan Pertumbuhan Ekonomi 2015” yang saya sampaikan pada seminar nasional yang diselenggarakan oleh Kwik Kian Gie School of Business pada 16 Juni 2015.


Pada 18 November 2014, pemerintahan Joko Widodo–Jusuf Kalla (JKW-JK) yang baru dilantik pada 20 Oktober 2014 menaikkan harga BBM bersubsidi jenis premium (RON88) dari Rp 6.500 per liter menjadi Rp 8.500 per liter. Kenaikan harga BBM ini dilakukan ditengah-tengah anjloknya harga minyak dunia yang sudah turun lebih dari 30 persen dari harga tertingginya pada Juni 2014.

Salah satu alasan dinaikkannya harga BBM jenis premium adalah untuk mengurangi atau menghapus “subsidi” BBM yang dikatakan memboroskan uang negara lebih dari Rp 300 triliun. Desakan untuk menghapus “subsidi” BBM dan menaikkan harga BBM jenis premium datang dari segala penjuru, termasuk dari para pengusaha dan asosiasinya seperti KADIN dan APINDO dengan suara lantang.

Menjelang akhir tahun 2014 pemerintahan JKW-JK juga mengajukan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015 (APBNP 2015). Perubahan APBNP 2015 ini pada dasarnya sangat mendasar. Target pertumbuhan ekonomi 2015 ditetapkan 5,7 persen, jauh lebih tinggi dari pertumbuhan 2014 sebesar 5,01 persen meskipun kondisi perekonomian global masih tidak menentu dan cenderung melemah. Namun demikian, menurut pemerintah target pertumbuhan ini tidak terlalu sulit dicapai karena pemerintah akan menciptakan stimulus fiskal yang luar biasa besarnya pada anggaran 2015. Stimulus fiskal yang dimaksud adalah "realokasi subsidi BBM menjadi belanja negara yang lebih produktif seperti infrastruktur”. Selain itu, target penerimaan pajak (tanpa PPh Migas) pada APBNP 2015 juga dinaikkan secara drastis, yaitu 38,69 persen dari realisasi tahun 2014. 

Optimisme pemerintah terhadap ekonomi 2015 sangat luar biasa tingginya, dengan semangat “sky is the limit”.


Waktu berlalu, gegap gempita dan optimisme awal tahun 2015 yang sangat luar biasa perlahan-lahan mulai surut. Pengusaha mulai mengeluh bisnis sepi. Data pun menunjang keluh kesah tersebut, dan pertumbuhan ekonomi kuartal I (Q1) 2015 tercatat 4,71 persen: jauh lebih rendah dari target pertumbuhan 2015 (5,7 persen), dan juga lebih rendah dari realisasi pertumbuhan 2014 (5,01 persen).

Ada apa? Mengapa kinerja ekonomi Q1 2015 bisa seburuk itu? Mengapa kinerja tersebut tidak seperti yang diperkirakan pada awal tahun dengan optimisme tinggi? Yang paling gampang tentu saja menyalahkan kondisi ekonomi global yang sedang melemah untuk dijadikan kambing hitam.

Memang ekonomi global sedang melemah, dan sebenarnya sudah diperkirakan sebelumnya. Mengapa ekonomi global masih disalahkan? Bukankah seharusnya kita memperhitungkan factor ini sewaktu menyusun anggaran?

Tetapi, kalau kita mau jujur, permasalahan utama keterpurukan ekonomi Q1 2015 ini adalah karena factor internal, khususnya kebijakan fiskal 2015 yang tertuang pada APBNP 2015. kebijakan fiskal APBNP 2015 merupakan kecelakaan fiskal yang dapat dikatakan sebagai “blunder APBNP 2015”.

Pertama, pemahaman bahwa realokasi “subsidi” BBM menjadi belanja infrastruktur dapat diartikan sebagai stimulus fiskal merupakan pemahaman yang keliru. Stimulus fiskal adalah peningkatan defisit (atau pengurangan surplus) anggaran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dicapai melalui peningkatan belanja negara dan atau pengurangan pajak. Sedangkan realokasi “subsidi” BBM untuk belanja infrastruktur tidak meningkatkan belanja negara secara total, karena hanya realokasi, sehingga bukan termasuk stimulus fiskal dan tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Realokasi subsidi BBM menjadi belanja infrastruktur malah berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi karena kenaikan harga BBM akan berdampak secara langsung kepada penurunan konsumsi masyarakat, sedangkan belanja infrastruktur masih belum terjadi (karena ada time lag). Lihat tabel di bawah ini.
Dari tabel dapat dilihat bahwa konsumsi masyarakat pada Q1 2015 hanya naik 7,87 persen (dibandingkan dengan Q1 2014). Sedangkan konsumsi masyarakat untuk periode 2011-2014 masing-masing naik 12,52 persen, 11,94 persen, 12,25 persen dan 10,43 persen. Jadi konsumsi masyarakat pada Q1 2015 mengalami penurunan yang sangat tajam dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Sebagai perbandingan, pertumbuhan konsumsi masyarakat Q1 2014 terhadap Q1 2013 sekitar 13 persen.

Kedua, target penerimaan pajak (tanpa PPh Migas) pada APBNP 2015 ditetapkan naik 38,69 persen dari realisasi penerimaan pajak 2014. Lihat tabel di bawah. Sejujurnya kenaikan target pajak yang luar biasa tingginya ini penuh misteri. Secara logika, kalau penerimaan pajak naik sedemikian tingginya maka pertumbuhan ekonomi seharusnya lebih dari 10 persen. Ini kok hanya 5,7 persen saja?
Coba bayangkan, penerimaan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dalam negeri ditargetkan naik 40,35 persen. PPN adalah pajak yang dipungut melalui konsumsi (= penjualan) sehingga PPN dapat dijadikan sebagai barometer aktivitas ekonomi. Artinya, kalau PPN dalam negeri naik 40,35 persen hal ini mengindikasikan terjadi peningkatan aktivitas ekonomi domestik yang sangat tinggi sehingga pertumbuhan ekonomi juga pasti spektakuler, bisa jauh di atas 10 persen. Tetapi, perkiraan pertumbuhan ekonomi hanya 5,7 persen. kalau begitu berarti kenaikan target penerimaan PPN tersebut bukan berasal dari peningkatan aktivitas ekonomi tetapi dari pengenaan pajak-pajak baru. Ternyata memang benar demikian. Pada awal Januari 2015 pemerintah mengumumkan akan mengenakan PPN kepada pelanggan listrik rumah tangga di atas 2.200 VA hingga 6.600 V. Dan awal Maret 2015 pemerintah juga mengumumkan akan mengenakan PPN jalan tol. Dan mungkin akan diikuti dengan pengenaan PPN-PPN baru lainnya untuk memenuhi target penerimaan pajak tersebut.

Kelihatannya target penerimaan pajak ketika menyusun APBNP 2015 ditentukan secara imajiner saja. Artinya, pemerintah berimajinasi barang dan jasa apa saja yang belum dikenakan PPN dan berapa besar potensi penerimaannya kalau barang dan jasa tersebut dikenakan PPN: berapa potensi PPN jalan tol, berapa potensi PPN listrik, dan sebagainya. Nah, di sinilah awal terjadinya chaos anggaran karena anggaran belanja negara sudah ditentukan secara fixed tetapi rencana penerimaannya masih di awang-awang dan belum pasti. Artinya, penerimaan pajak menurut kondisi ekonomi ketika itu jauh di bawah target yang ditetapkan karena termasuk unsur potensi penerimaan pajak-pajak baru yang masih dalam tahap imajinasi saja. Dengan kata lain, terjadi gelembung target belanja negara di APBNP 2015. Selain itu, pemerintah juga tidak memperhitungkan konsekuensi pengenaan pajak-pajak baru terhadap pertumbuhan ekonomi. Atau memnag pemerintah berpendapat bahwa pengenaan pajak-pajak baru tidak ada pengaruh sama sekali terhadap pertumbuhan ekonomi? Sungguh sangat naif.

Kalau stimulus fiskal dipercaya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi maka sebaliknya destimulus fiskal akan mendorong pelambatan ekonomi: destimulus fiskal adalah kebalikan dari stimulus fiskal karena adanya peningkatan dan pengenaan pajak-pajak baru kepada masyarakat. destimulus fiskal biasanya digunakan sebagai salah satu upaya untuk memperlambat pertumbuhan ekonomi (misalnya dari bahaya inflasi yang kian meninggi). Dengan demikian pengenaan PPN baru untuk memenuhi target penerimaan PPN akan bertentangan dengan kebijakan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Perlu ditegaskan di sini, pada hakekatnya subsidi adalah termasuk stimulus fiskal: oleh karena itu penghapusan subsidi adalah termasuk destimulus fiskal yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Kesimpulan: penghapusan subsidi BBM merupakan faktor penting atas pelambatan pertumbuhan ekonomi Q1 2015 menjadi 4,71 persen.

Bersambung ke Bagian 2 ... tentang prospek pertumbuhan ekonomi Q2 2015?

--- 000 ---

Comments

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial