Kiat Pemerintah Mengatasi Defisit Perdagangan Salah Arah
Di muat di Harian Investor Daily, Senin, 8 April 2013
Pada tanggal 24 mei 2008 pemerintah menaikkan lagi harga BBM bersubsidi. Tetapi, sekali lagi, defisit neraca perdagangan BBM tahun 2008 malah naik, dari defisit 9,7 miliar dollar AS pada tahun 2007 menjadi defisit 14,3 miliar dolar AS tahun 2008.
Neraca
perdagangan Indonesia tahun 2012 mengalami defisit yang untuk pertama kalinya
lagi sejak tahun 1961. Defisit ini masih berlanjut pada awal tahun 2013 ini. Neraca
perdagangan Indonesia pada Januari 2013 mengalami defisit sebesar 171 juta
dollar AS. Defisit ini meningkat cukup tajam pada Februari 2013 menjadi 327
juta dollar AS, atau naik hampir dua kali lipat dari defisit bulan sebelumnya.
Dengan demikian, total defisit neraca perdagangan untuk dua bulan pertama 2013
menjadi 498 juta dollar AS.
Penyebab
utama meningkatnya defisit pada Februari 2013 ini karena kinerja perdagangan
sektor Non-Migas semakin memburuk.
Surplus Non-migas semakin tergerus dan
tidak dapat menutupi defisit sektor Migas pada dua bulan pertama tahun 2013 ini.
Tahun 2012 surplus non-migas turun 21,3 miliar dollar AS, yaitu dari surplus 25,2
miliar dollar AS tahun 2011 menjadi surplus 3,9 miliar dollar AS tahun 2012.
Sektor
Non-Migas sangat diharapkan dapat mengangkat perekonomian nasional, karena
total kontribusi sektor Non-migas terhadap total ekspor lebih dari 80 persen. Namun,
realisasi kinerja sektor non-migas tahun 2013 masih jauh dari harapan. Surplus
Non-Migas pada bulan Februari 2013 turun
lagi, dari 1,255 miliar dollar AS pada Januari 2013 menjadi 778 juta dollar AS pada
Februari 2013 (lihat tabel 1), atau turun 477 juta dollar AS. Sedangkan di
sektor Migas, defisit neraca
perdagangan Februari 2013 sedikit membaik. Defisit Januari 2013 sebesar 1,426 miliar
dollar AS sedangkan defisit Februari 2013 turun menjadi 1,105 miliar dollar AS,
atau turun 321 juta dollar AS.
Harga BBM dan Tingkat Konsumsi: Tidak Ada Korelasi
Tetapi, pemerintah
membaca defisit neraca perdagangan ini dari sudut pandang yang lain. Pemerintah
menyoroti, defisit sektor Migas, dalam hal ini BBM, merupakan faktor utama
meningkatnya defisit neraca perdagangan nasional.
Mereka
berargumen bahwa defisit neraca perdagangan ini disebabkan karena terjadi defisit
di sektor BBM yang semakin besar, yang dipicu oleh meningkatnya konsumsi BBM
dalam negeri, yang disebabkan karena harga BBM yang sangat murah akibat disubsidi.
Oleh karena itu, salah satu solusi yang diwacanakan untuk mengatasi
permasalahan defisit neraca perdagangan ini adalah menaikkan harga BBM
bersubsidi sehingga dapat meredam konsumsi BBM, sehingga dapat menurunkan impor
BBM, sehingga dapat mengurangi defisit neraca perdagangan BBM dan nasional.
Ada
dua hal yang harus dikritisi dari alur pikiran di atas. Pertama, jumlah impor
BBM lebih dipengaruhi oleh jumlah produksi minyak dalam negeri: jumlah produksi
lebih fluktuatif dari konsumsi. Meskipun konsumsi BBM dalam negeri turun, tetapi,
apabila produksi minyak dalam negeri juga turun, dan turunnya lebih besar dari
konsumsi BBM, maka impor BBM akan naik juga. Realisasi konsumsi BBM bersubsidi sampai
akhir Februari 2013 ternyata masih di bawah kuota yang ditetapkan dalam APBN
2013 (lihat tabel 2). Januari 2013 konsumsi BBM bersubsidi 70 ribu kiloliter di
bawah kuota bulanan, sedangkan Februari 2013 konsumsi BBM bersubsidi bahkan
hampir 387 ribu kiloliter, atau lebih dari 10 persen, di bawah kuota bulanan. Berdasarkan
fakta ini maka alasan defisit neraca perdagangan dipicu oleh lonjakan konsumsi BBM
bersubsidi tidak terbukti, sehingga tidak ada alasan untuk mengatakan lonjakan konsumsi
BBM bersubsidi menjadi penyebab defisit neraca perdagangan, karena ternyata
tidak ada lonjakan sama sekali.
Di sisi
lain, produksi minyak diperkirakan di bawah target yang ditetapkan sebesar
900.000 barel per hari. Produksi minyak diperkirakan paling tinggi 830.000
barel per hari, jadi jauh di bawah target. Penurunan produksi minyak ini harus
dipenuhi dari impor sehingga memicu impor serta menambah defisit neraca perdagangan.
Jadi, faktor produksi minyak sebenarnya jauh lebih dominan mempengaruhi defisit
neraca perdagangan.
Kedua, dan
lebih penting, berdasarkan data historis dapat diambil kesimpulan bahwa kenaikan
harga BBM bersubsidi tidak dapat meredam permintaan konsumsi BBM nasional. Oleh
karena itu, kenaikan harga BBM ini tidak dapat mengurangi jumlah impor BBM,
dan, dengan demikian, tidak dapat mengurangi defisit neraca perdagangan.
Kenaikan harga BBM hanya akan berdampak pada neraca keuangan pemerintah, bukan neraca
perdagangan. Oleh karena itu, kalau alasan pemerintah menaikkan harga BBM
bersubsidi adalah untuk menekan impor BBM serta defisit neraca perdagangan,
maka alasan ini tidak dapat dibenarkan.
Mari
kita simak data historis tersebut secara lebih detil. Pada tahun 2005 harga BBM
bersubsidi dinaikkan sebanyak dua kali, yaitu pada tanggal 1 Maret 2005 dan 1
Oktober 2005. Namun demikian, defisit neraca perdagangan BBM (= minyak mentah
dan hasil minyak) malah naik dari defisit 3,8 miliar dolar AS pada tahun 2004
menjadi defisit 7,3 miliar dolar AS pada tahun 2005 (Lihat tabel 3). (Pada
tahun 2004, neraca perdagangan BBM sudah defisit (net importir), tetapi neraca
perdagangan gas mengalami surplus sehingga total Migas masih surplus.)Pada tanggal 24 mei 2008 pemerintah menaikkan lagi harga BBM bersubsidi. Tetapi, sekali lagi, defisit neraca perdagangan BBM tahun 2008 malah naik, dari defisit 9,7 miliar dollar AS pada tahun 2007 menjadi defisit 14,3 miliar dolar AS tahun 2008.
Sebaliknya
meskipun harga BBM bersubsidi turun pada awal tahun 2009, tetapi neraca
perdagangan BBM tahun 2009 malah membaik, yaitu dari defisit 14,3 miliar dolar
AS pada tahun 2008 menjadi defisit 8,4 miliar dolar AS pada tahun 2009.
Berdasarkan
uraian ini, maka dapat disimpulkan dengan jelas bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi
tidak dapat mengurangi defisit neraca perdagangan BBM. Sebaliknya, penurunan
harga BBM bersubsidi juga tidak membuat neraca perdagangan BBM menjadi lebih
buruk. Fakta historis malah menunjukkan kebalikannya.
Hal ini sangat
masuk akal karena BBM adalah barang yang masuk dalam kategori price inelastic. Artinya, perubahan harga
BBM tidak mempengaruhi permintaan terhadap BBM. Harga BBM naik, permintaan
tidak serta merta turun: semua kendaraan dan alat produksi harus tetap berjalan,
berapa pun harga BBM-nya.
Oleh karena
itu, menaikkan harga BBM bersubsidi bukan merupakan jalan keluar untuk
mengatasi defisit neraca perdagangan Indonesia. Hanya ada dua cara untuk
mengatasi permasalahan ini. Pertama, meningkatkan produksi minyak dalam negeri
sehingga mengurangi impor BBM. Atau, kedua, meningkatkan daya saing
produk-produk non-migas/industrial agar bisa bersaing dengan produk-produk
asing baik di pasar internasional maupun di pasar dalam negeri. Coba kita
perhatikan sekeliling kita dengan seksama, produk asing sudah menguasi pasar domestik,
yang tentu saja mengakibatkan meningkatnya impor produk non-migas sehingga
meningkatkan defisit neraca perdagangan semakin besar.
Comments
Post a Comment