Dapat Dipercayakah Informasi Pemerintah? Sekali Lagi Tentang Konsumsi dan Subsidi BBM
Pemerintah kelihatannya sangat ingin sekali menaikkan harga
BBM bersubsidi (untuk menjaga agar subsidi BBM yang dianggarkan di dalam APBN
2013 tidak membengkak). Berbagai alasan dibeberkan. Saat ini, ada dua alasaan
utama yang dapat menjadi dasar pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi.
Pertama, subsidi BBM dikatakan salah sasaran karena yang menikmatinya
kebanyakan berasal dari kalangan menengah dan atas. Kedua, dikatakan konsumsi
BBM bersubsidi meningkat terus sehingga kuota yang ditargetkan dapat jebol, dan
akibatnya APBN dapat jebol.
Untuk alasan yang pertama, pada prinsipnya kita dukung
sepenuhnya. Pemerintah harus secara tegas menyatakan pihak mana yang boleh
menikmati BBM “murah”, dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga tidak terjadi lagi
salah sasaran. Menurut Menteri ESDM, Jero Wacik (Kompas 5 April 2013, hal. 18),
77 persen BBM “murah” ini dinikmati kelompok masyarakat menengah ke atas. Artinya,
hanya 23 persen BBM “murah” ini yang dikonsumsi kelompok masyarakat kurang
mampu serta angkutan umum. Nah, untuk kelompok yang sudah tepat sasaran ini, seyogyanya
pemerintah masih terus menyediakan harga BBM “murah” tersebut. Kita juga harus mendorong
pemerintah menyediakan BBM jenis premium (baru) dengan harga “pasar”, katanya sekitar
Rp 7.000 per liter, untuk kelompok menengah tersebut. Jadi bukan hanya jenis pertamax
saja yang tersedia di SPBU “non-subsidi”. Karena banyak sekali kendaraan yang
tidak perlu menggunakan BBM dengan oktan yang tinggi, sehingga mengisinya
dengan pertamax merupakan pemborosan yang luar biasa besarnya.
Untuk alasan kedua yang mengatakan kuota BBM bersubsidi
sudah jebol, harus kita sikapi dengan kritis agar tidak membuat masyarakat bingung
dan linglung. Judul berita di harian kompas tersebut di atas tertulis “Kuota
BBM Bersubsidi Bulanan Sudah Jebol 6 Persen”. Tetapi, menurut berita di situs
Ditjen Migas, www.migas.esdm.go.id/wap/?op=Berita&id=3130,
realisasi konsumsi BBM jenis Premium dan Solar sepanjang kuartal pertama hanya mencapai
10,74 juta kiloliter. Padahal, kuota konsumsi jenis BBM tersebut dalam APBN ditetapkan
44,310 juta kiloliter per tahun, atau 11,08 juta kiloliter per kuartal. Dari
data ini jelas terlihat bahwa realisasi konsumsi Premium dan Solar masih di
bawah kuota. Realisasi konsumsi Minyak tanah bahkan 35% di bawah kuota.
Informasi yang menyebutkan kuota konsumsi sudah jebol jelas
tidak benar. Kita harapkan pemerintah dapat memberi informasi dan data kepada publik
secara jelas, benar dan mendidik. Apabila pemerintah merasa harga BBM dalam negeri
sudah sangat kemurahan, dan ingin menaikkannya, silahkan saja, tetapi komunikasikanlah
secara benar dan seadanya. Dengan perkiraan produksi minyak bumi tahun ini di
bawah target, kita dapat memaklumi kalau pada akhirnya harga BBM naik. Tetapi, sekali
lagi, pemerintah harus jujur dan komunikasikan secara benar dan mendidik,
misalnya: “Dapat dipastikan produksi minyak dalam negeri akan di bawah target yang
ditetapkan dalam APBN, sehingga membuat APBN dalam tekanan berat (alias akan
jebol), sehingga mengakibatkan impor BBM dan defisit neraca perdagangan meningkat.
Oleh karena itu, pemerintah “terpaksa’ harus menaikkan harga BBM demi menyelamatkan
APBN agar tidak jebol”. Jelas dan tegas. Karena, indikasi produksi minyak bumi tidak
tercapai sudah lebih jelas daripada indikasi kuota konsumsi akan jebol.
Comments
Post a Comment