Harga BBM Naik Tidak Membuat Konsumsi BBM Turun
Defisit neraca perdagangan masih berlanjut pada Februari
2013. Pemerintah panik dan melihat bahwa penyebab utama defisit ini adalah sektor
migas, lebih tepatnya sektor minyak bumi (BBM), yang mengalami defisit besar
sekali. Oleh karena itu, untuk mengatasi defisit neraca perdagangan ini, pemerintah
berpendapat konsumsi BBM bersubsidi harus dikendalikan. Salah satu cara
mengendalikannya adalah dengan menaikkan harga BM bersubsidi. Seolah-olah, harga
BBM bersubsidi naik akan membuat konsumsi BBM turun, dan pada gilirannya akan
membuat impor BBM turun, sehingga neraca perdagangan BBM membaik.
Di bawah ini data defisit neraca perdagangan BBM (dan Gas) dari
tahun 2004 - 2012. Ternyata, harga BBM naik, defisit perdagangan BBM juga naik.
Tahun 2005, harga BBM bersubsidi dinaikkan dua kali, yaitu 1 Maret dan 1
Oktober 2005, dengan kenaikan yang sangat signifikan (premium naik dari Rp 1.810
menjadi Rp 4,500 per liter, solar naik dari Rp 1.650 menjadi Rp 4.300 per liter
dan minyak tanah naik dari Rp 1.800 menjadi Rp 2.000 per liter). Kenaikan harga
BBM ini diharapkan dapat mengurangi konsumsi BBM dan dapat mengurangi defisit
Migas. Tetapi, fakta mengatakan lain. Defisit BBM tahun 2005 malah meningkat
dari defisit 3,8 miliar dolar AS tahun 2004 menjadi defisit 7,3 miliar dolar
AS.
Begitu juga tahun 2008. Kenaikan harga BBM bersubsidi pada
24 Mei 2008 tidak membuat defisit BBM turun, tetapi malah sebaliknya, defisit tahun
2008 naik dari defisit 9,7 miliar dolar AS tahun 2007 menjadi defisit 14,3
miliar dolar AS.
Data historis ini menunjukkan kenaikan harga BBM bersubsidi ternyata
tidak mengurangi defisit neraca perdagangan BBM. Hal ini sangat masuk akal
karena BBM adalah barang yang masuk dalam kategori price inelastic. Artinya, perubahan harga BBM tidak mempengaruhi
permintaan terhadap BBM. Harga BBM naik, permintaan tidak serta merta turun:
semua kendaraan dan alat produksi akan tetap berjalan, berapa pun harga
BBM-nya.
Oleh karena itu, menaikkan harga BBM bersubsidi bukan merupakan jalan keluar untuk mengatasi defisit neraca perdagangan Indonesia. Hanya ada dua cara untuk mengatasi permasalahan defisit neraca perdagangan ini. Pertama, meningkatkan produksi minyak dalam negeri karena peningkatan produksi minyak akan mengurangi impor sehingga mengurangi defisit BBM. Atau, kedua, meningkatkan daya saing produk-produk non-migas/industrial agar bisa bersaing dengan produk-produk asing baik di pasar internasional maupun di pasar dalam negeri. Sayangnya, surplus perdagangan non-migas Februari 2013 turun lagi, dari Rp 1,255 miliar dolar AS Januari 2013 menjadi 778 juta dolar AS. Apakah ini menandakan produk Indonesia kalah bersaing dengan produk Asing? Coba kita perhatikan di sekeliling kita dengan seksama, produk asing rasanya sudah menguasai pasar domestik, yang tentu saja mengakibatkan meningkatnya impor produk non-migas sehingga meningkatkan defisit neraca perdagangan semakin besar.
Oleh karena itu, menaikkan harga BBM bersubsidi bukan merupakan jalan keluar untuk mengatasi defisit neraca perdagangan Indonesia. Hanya ada dua cara untuk mengatasi permasalahan defisit neraca perdagangan ini. Pertama, meningkatkan produksi minyak dalam negeri karena peningkatan produksi minyak akan mengurangi impor sehingga mengurangi defisit BBM. Atau, kedua, meningkatkan daya saing produk-produk non-migas/industrial agar bisa bersaing dengan produk-produk asing baik di pasar internasional maupun di pasar dalam negeri. Sayangnya, surplus perdagangan non-migas Februari 2013 turun lagi, dari Rp 1,255 miliar dolar AS Januari 2013 menjadi 778 juta dolar AS. Apakah ini menandakan produk Indonesia kalah bersaing dengan produk Asing? Coba kita perhatikan di sekeliling kita dengan seksama, produk asing rasanya sudah menguasai pasar domestik, yang tentu saja mengakibatkan meningkatnya impor produk non-migas sehingga meningkatkan defisit neraca perdagangan semakin besar.
Comments
Post a Comment