APBN dan Pertumbuhan Ekonomi 2017 (bagian 2, selesai)

Di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, pendapatan negara ditetapkan Rp 1.750,3 triliun dan belanja negara ditetapkan Rp 2.080,5 triliun, sehingga terjadi defisit Rp 330,2 triliun atau 2,41 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto).

Di dalam penyusunan APBN 2017 tersebut pemerintah mengasumsikan:
1. Pertumbuhan ekonomi 2017: 5,1persen
2. Kurs rupiah: Rp 13.300 per dolar AS
3. Inflasi: 4 persen
4. Harga minyak mentah: 45 dolar AS per barel

Target pertumbuhan ekonomi 2017 yang ditetapkan 5,1 persen sungguh sangat mengejutkan. Angka ini lebih rendah dari asumsi pertumbuhan ekonomi di APBN-Perubahan 2016 yang sebesar 5,2%. Dan angka ini juga tidak jauh lebih tinggi dari realisasi pertumbuhan selama 3 kuartal (Januari – September) 2016. Ada apa dengan pemerintah, kok sangat pesimistis? Bukankah Tax Amnesti (TA) sangat sukses, yang katanya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan? Bukankah dana repatriasi yang ratusan triliun akan mendongkrak investasi dan pertumbuhan ekonomi?

Sepertinya, pemerintah sudah belajar dari pengalaman dua tahun terakhir ini yang membuat target pertumbuhan ekonomi sangat tinggi tetapi akhirnya toh tidak tercapai dan perlu dikoreksi: target pertumbuhan 2015 dipatok 5,8 persen, tercapai 4,8 persen. Target pertumbuhan 2016 dipatok 5,3 persen, tercapai hanya 5,04 persen (3 kuartal).

Sepertinya pemerintah sedang berusaha untuk lebih realistis dengan menetapkan target pertumbuhan 5,1 persen ini. Namun demikian, bukan berarti target tersebut akan mudah dicapai. Bahkan masih banyak risiko target tersebut akan meleset lagi.

Ekonomi Global dan Ekonomi Amerika Serikat
Ekonomi Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh ekonomi global yang saat ini masih terus melemah. Pertumbuhan ekonomi global melambat dari 2,63 persen (2015) menjadi 2,4 persen (perkiraan 2016). Sedangkan untuk euro area, sebutan kawasan negara-negara di Uni Eropa yang menggunakan mata uang euro, pertumbuhan ekonomi melambat dari 2,0 persen (2015) menjadi 1,6 persen (Q3 2016). Pertumbuhan ekonomi China juga melambat dari 6,9 persen (2015) menjadi sekitar 6,7 persen (Q3 2016). Di samping itu, banyak pihak memperkirakan pertumbuhan ekonomi China akan melambat lagi pada 2017 menjadi sekitar 6,1 persen.

Seirng dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS) periode 2017-2021, ekonomi global menghadapi ketidakpastian. Dalam kampanyenya dengan slogan Make America Great Again, Trump berjanji akan membuat AS berjaya kembali melalui kebijakan proteksi industri dalam negeri, yang tentu saja akan berdampak pada terkontraksinya perdagangan internasional (dengan AS). Yang akan terkena dampak langsung atas kebijakan ini tentu saja China yang mempunyai surplus perdagangan terbesar dengan AS, yaitu senilai 366 miliar dolar AS, atau setara Rp 4.900 triliun, pada tahun 2015. Untuk mengurangi defisit ini, AS akan mengenakan tarif tambahan bagi produk-produk China. Kalau kebijakan proteksi ini benar terjadi, maka pertumbuhan ekonomi China akan turun drastis yang dapat memicu resesi global.

Namun demikian, tidak mudah bagi Trump untuk merealisasikan janjinya. Ekonomi AS saat ini sebenarnya dalam kondisi sangat baik, terutama kalau ditinjau dari sudut tenaga kerja. Tingkat pengangguran di AS per November 2016 hanya 4,6 persen, yang artinya mendekati full employment. Oleh karena itu, peningkatan ekonomi dan perluasan tenaga kerja secara tergesa-gesa berpotensi memicu inflasi dan suku bunga naik.

Sejalan dengan itu, ekonomi AS pada kuartal III 2016 secara mengejutkan juga menunjukkan peningkatan yang spektakuler dengan tingkat pertumbuhan 3,5 persen (secara tahunan). Tingkat inflasi tahunan sampai akhir November 2016 juga cukup tinggi, yaitu mencapai 1,7 persen, dan mendekati target inflasi the Fed (Federal Reserve, Bank Sentral AS) sebesar 2 persen. Oleh karena itu, secara perlahan-lahan the Fed akan menaikkan suku bunga acuan (Federal Funds Rate, Fed Rate) untuk menjaga agar ekonomi AS tidak terperangkap ke dalam gelembung ekonomi lagi. Seiring dengan itu, pada 14 Desember 2016 the FED menaikkan batas atas suku bunga acuan dari 0,5 persen menjadi 0,75 persen, di mana suku bunga acuan ini merupakan yang tertinggi di antara negara-negara maju. Kenaikan suku bunga the Fed pada gilirannya akan membuat nilai tukar dolar AS terapresiasi terhadap mata uang lainnya, termasuk rupiah.

Berdasarkan penjelasan di atas, diperkirakan Fed funds rate berpeluang besar akan naik lagi pada tahun 2017. Kebijakan ini juga akan memaksa Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan BI, yang pada akhirnya akan menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia, serta menekan kurs rupiah terhadap dolar AS.

Pada bulan Desember 2016 kurs rupiah sudah di atas Rp 13.300 per dolar AS. Pada 23 Desember 2016, kurs JISDOR (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate) tercatat Rp 13.470 per dolar AS.

Harga Komoditas: Batubara, Minyak Sawit, Karet
Batubara, minyak sawit dan karet merupakan komoditas non-migas yang cukup penting bagi ekonomi Indonesia. Total ekspor tiga jenis komoditas non-migas tersebut (HS code: 15, 27, 40) pada 2011 memberi kontribusi sekitar hampir 40 persen dari total ekspor Indonesia, dengan nilai ekspor 63,45 miliar dolar AS dari total ekspor Indonesia sebesar 162,02 miliar dolar AS. Anjloknya harga komoditas tersebut membuat nilai ekspor turun menjadi 40,65 miliar dolar AS pada tahun 2015 dengan kontribusi 30,84 persen dari total ekspor Indonesia. Anjloknya harga komoditas ini menjadi salah satu faktor pemicu utama melemahnya pertumbuhan ekonomi kita sejak 2012: anjloknya harga komoditas andalan ekspor tersebut membuat daya beli juga anjlok.

Untuk periode Januari – Oktober 2016, kontribusi ekspor komoditas tersebut masih turun menjadi 28,18 persen dengan nilai ekspor 30 miliar dolar AS (sepuluh bulan). Namun demikian, kita patut bergembira karena harga komoditas pada tahun 2016 menunjukkan ada kenaikan seperti dapat dilihat di gambar di bawah ini. Kenaikan harga komoditas ini juga memberi kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi 2016 yang dapat bertahan di 5,04 persen (3 kuartal 2016).


Kalau harga komoditas 2017 dapat bertahan di tingkat harga saat ini, maka surplus neraca perdagangan non-migas dapat dipertahankan, tekanan terhadap kurs rupiah berkurang, dan memberi kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, kalau harga komoditas 2017 kembali melemah dibandingkan tahun 2016 maka pertumbuhan ekonomi 2017 serta kurs rupiah dapat tertekan lagi.

Kesimpulan
Pertumbuhan ekonomi global 2017 diperkirakan masih melemah, ekonomi AS 2017 berpotensi overheated yang akan membuat inflasi dan tingkat suku bunga naik, dan harga komoditas andalan ekspor Indonesia kemungkinan besar sulit untuk naik lebih tinggi lagi. Dengan demikian, asumsi pertumbuhan ekonomi 2017 yang ditetapkan 5,1 persen nampaknya tidak mudah terealisasi, dengan kecenderungan akan lebih rendah dari target. Saya tidak terkejut kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia 2017 hanya mencapai 4,8 persen, atau bahkan di bawahnya. Nilai tukar rupiah juga cenderung melemah, mudah-mudahan intervensi Bank Indonesia dapat membuat rupiah bertahan tidak lebih rendah dari Rp 14.000 per dolar AS.

--- 000 ---

Comments

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial