Restrukturisasi Tata Kelola Perdagangan Sapi: Membangkitkan Kesejahteraan Peternak Rakyat Serta Meningkatkan Konsumsi Daging

Tata kelola perdagangan sapi dan daging sapi di Indonesia dewasa ini membuat pasar domestik menjadi tidak efisien karena cenderung dapat menciptakan pasar oligopoli. Tata kelola perdagangan ini terkait kebutuhan impor (daging) sapi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Siapa yang boleh impor, dan berapa banyak, semua ditentukan oleh pemerintah melalui sistem penjatahan atau kuota.

Bagaimana sistem kuota ini mengakibatkan pasar terdistorsi dan membuat harga daging melonjak dapat dilihat di tulisan sebelumnya: http://bit.ly/29giBDP

Untuk memperbaiki tata kelola perdagangan (daging) sapi, pemerintah harus berani membuka keran impor seluas-luasnya kepada semua pihak yang berminat dan mampu mengimpor sapi. Tujuannya adalah untuk membentuk struktur pasar persaingan sempurna (perfect competition) di perdagangan (daging) sapi sehingga semua pemasok menjadi price taker: artinya, tidak ada satupun pemasok yang mampu "memainkan" (baca: memanipulasi) harga karena setiap pemasok hanya menguasai sebagian kecil pangsa pasar. Artinya, para pemasok (daging) sapi akan terdiri dari banyak “pemain-pemain” (pelaku usaha) kecil, dan oleh karena itu, tidak bisa memengaruhi harga. Pemain-pemain kecil ini secara struktur sebenarnya sangat cocok dengan profil petani dan peternak Indonesia yang mempunyai modal terbatas (kecil). Dengan kata lain, pasar persaingan sempurna di industri penggemukan sapi diharapkan dapat mencetak puluhan ribu peternak sapi yang akan mencukupi kebutuhan daging di Indonesia.

Untuk jangka pendek, impor sapi dapat dilakukan untuk sapi bakalan (sapi potong) maupun daging beku. Dalam hal ini, pemerintah harus pastikan harga daging beku impor tidak lebih murah dari harga daging lokal (yang berasal dari sapi bakalan impor). Caranya bisa melalui pengaturan bea masuk dan atau subsidi. Untuk jangka panjang, diharapkan Indonesia hanya impor sapi bakalan saja, yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan konsumsi domestik.

Dengan dibukanya keran impor seluas-luasnya, harga daging diharapkan turun mendekati harga persaingan sempurna, di mana artinya para peternak sapi hanya dapat menikmati tingkat keuntungan yang normal. Kalau harga sapi (yang berasal dari impor) lebih murah dari harga sapi (asli) lokal, maka peternak sapi lokal akan menghadapi masalah dan lambat laun dapat bangkrut. Hal ini dapat disebabkan apabila biaya pembiakan sapi (impor) di luar negeri lebih rendah dari biaya pembiakan sapi (asli) lokal: artinya, produktivitas pembiakan sapi di luar negeri lebih tinggi dari produktivitas di Indonesia. Kalau ini terjadi, maka peternak sapi lokal yang tidak efisien akan kalah bersaing dan keluar dari bisnis. Ini adalah dampak negatif dari persaingan sempurna. Namun demikian, dampak positifnya adalah konsumen dapat menikmati harga daging yang murah.

Kalau pemerintah berniat mempertahankan sapi asli lokal maka pemerintah harus membantu peternak sapi lokal dengan cara memberi subsidi. Bukankah di negara-negara maju, memberi subsidi kepada para petani dan peternak merupakan hal yang wajar?

Semoga Indonesia bisa segera lepas dari belenggu oligopoli dan kartel, dan semoga konsumen dapat menikmati harga daging yang wajar, yaitu yang tidak jauh di atas negara-negara tetangga kita seperti Malaysia atau Singapura yang sudah lebih sejahtera dari kita.

Saya yakin, penurunan harga daging di Indonesia akan membantu meningkatkan konsumsi daging masyarakat Indonesia yang masih rendah. Karena, saya juga yakin, tingginya harga daging selama ini menjadi penyebab utama rendahnya konsumsi daging di Indonesia. Kalau harga daging turun maka konsumsi daging akan meningkat. Oleh karena itu, pemerintah tidak perlu khawatir kebanjiran sapi kalau membuka keran impor sebesar-besarnya, karena konsumsi akan meningkat.

--- 000 --- 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial