Mengapa Harga Daging Sapi Tetap Tinggi: Siapa Yang Bertanggung Jawab?

Beberapa hari menjelang hari raya Idul Fitri, harga daging sapi di Indonesia masih bertahan tinggi dan belum dapat diturunkan ke tingkat harga yang diinginkan oleh pemerintah, yaitu sekitar Rp 80.000 per kg. Harga daging sapi masih bertengger di sekitar Rp 110.000 hingga Rp 120.000 per kg.

Banyak orang mengatakan, tingginya harga daging sapi ini karena ulah para Mafia Daging, yang dengan sengaja membuat harga daging tinggi untuk mengeruk keuntungan yang besar.

Masyarakat pun bertanya-tanya, siapa sih sebenarnya yang dimaksud dengan Mafia Daging? Apakah mereka ini para pengusaha sapi (feedloter) dan atau importir daging sapi? Kalau memang benar ada Mafia Daging dan mereka ini merugikan masyarakat (konsumen), apakah pemerintah dapat memberantasnya? Kalau memang benar ada Mafia Daging, ini salah siapa, tanggung jawab siapa?


Terciptanya Mafia Daging
Yang dimaksud dengan Mafia Daging tentu saja bukan mafia yang menggunakan senapan untuk meraih keuntungan yang besar. Mafia Daging dalam hal ini menunjuk kepada sekelompok (kecil) orang atau perusahaan yang ditengarai dapat mengatur dan mengendalikan harga daging. Di dalam istilah ekonomi, struktur pasar yang terdiri dari sekelompok (kecil) orang tersebut dinamakan oligopoli dan mereka dapat mengendalikan harga untuk meraih keuntungan besar. Sekelompok (kecil) orang ini biasanya secara bersama-sama menguasai setidak-tidaknya 40 persen pangsa pasar sehingga dapat mengendalikan pasokan dan harga. Kalau setiap perusahaan tersebut masing-masing mempunyai pangsa pasar yang cukup signifikan, maka dapat terjadi kartel atau persekongkolan untuk menentukan harga. Kondisi inilah yang dinamakan dengan istilah mafia.

Mengapa bisa ada Mafia Daging? Mengapa bisa terjadi oligopoli di pasar daging sapi?

Menurut saya, permasalahan utama melonjaknya harga daging sapi (belakangan ini) disebabkan oleh tata kelola perdagangan daging sapi yang diatur oleh pemerintah yang men-distorsi pasar dan memicu terjadinya oligopoli.

Pertama, seperti kita ketahui, permintaan daging sapi di Indonesia masih jauh lebih tinggi dari ketersediaan pasokan domestik, sehingga terjadi kekurangan pasokan yang harus dipenuhi dari impor. Siapa yang boleh mengimpor (daging) sapi ini? Yang jelas, tidak semua orang dapat atau boleh melakukan impor (daging) sapi, Artinya, tata kelola impor (daging) sapi diatur ketat oleh pemerintah dengan cara memberi kuota atau jumlah tertentu kepada perusahaan tertentu. Cara penjatahan seperti ini bisa menimbulkan distorsi pasar menjurus pasar oligopoli, karena importir (daging) sapi biasanya dikuasi oleh beberapa gelintir perusahaan besar dengan kuota impor yang besar pula, sehingga mereka dapat menguasai pasar dan secara alami akan terbentuk oligopoli yang sangat rentan terjadi kartel.

Kedua, sistem kuota atau penjatahan impor (daging) sapi, apalagi kalau dilakukan per kuartal seperti yang terjadi sekarang, akan membuat pasar terdistorsi dan tidak efisien, serta memicu harga daging sapi meroket, meskipun tidak terjadi kartel dalam menentukan harga jual akhir. Kenapa ini bisa terjadi? Karena sistem kuota dilakukan berdasarkan perkiraan konsumsi. Siapa yang dapat menjamin perkiraan konsumsi ini akan benar terjadi/terealisasi? Namanya juga perkiraan, maka kemungkinan melesetnya juga sangat besar. Kalau ternyata realisasi permintaan konsumsi lebih besar dari perkiraannya maka akan terjadi kekurangan pasokan dan memicu harga dagiang sapi meroket. Itu dilihat dari sisi permintaan (demand).

Dari sisi pasokan, siapa yang dapat menjamin kuota impor yang diberikan kepada beberapa importir tersebut akan terealisai 100 persen? Bisa saja terjadi hambatan impor yang mengakibatkan realisasi impor jauh di bawah kuota yang diberikan. Dalam hal ini, maka akan terjadi kekurangan pasokan yang juga akan memicu kenaikan harga.

Sistem kuota sebenarnya sama dengan sistem ekonomi “central planning” yang dulu dianut oleh negara-negara sosialis dan komunis yang bubar pada akhir 1980an dan awal 1990an. Sistem ini terbukti sangat tidak efisien karena realisasi permintaan ternyata jauh berbeda dengan jumlah produksi yang direncanakan. Oleh karena itu, sistem “central planning akhirnya tumbang dan negara-negara yang menganut sistem tersebut, salah satunya China, akhirnya beralih ke sistem mekanisme pasar.

Permasalahan daging sapi adalah salah satu contoh banyaknya pasar yang tidak sempurna di Indonesia. Bagaimana dengan komoditas lainnya seperti, misalnya, beras, gula, garam, kedelai? Bagaimana dengan distribusi BBM non-subsidi (petramax dan patramax plus) yang hanya ada 3 perusahaan distributor (Pertamina, Shell, Total)?


Kesimpulan
Mafia Daging sebetulnya tercipta karena kondisi pasar oligopoli yang rentan dengan persekongkolan bisnis yang sangat merugikan masyarakat. Dalam banyak hal, tanpa disadari, kondisi seperti ini sebetulnya “diciptakan” oleh pemerintah sendiri melalui tata kelola perdagangan yang di atur seperti sistem “central planning”, yaitu melalui sistem penjatahan atau kuota. Oleh karena itu, kalau pemerintah berteriak ada Mafia Daging yang membuat harga daging melonjak, pemerintah sebenarnya sedang menyalahkan dirinya sendiri atas tercipta Mafia Daging tersebut melalui penciptaan pasar oligopoli.

Untuk memberantas Mafia Daging sebenarnya bukan hal yang sulit. Dalam hal ini, kita tidak perlu memberantas (dalam arti harfiah) pelaku Mafia Daging, tetapi cukup memberantas pasar oligopoli dan menggantikannya dengan “Persaingan Sempurna” (Perfect Competition). Ini semua dapat dilihat di buku pelajaran mikro ekonomi dasar (micreconomics 101).

Untuk menciptakan pasar Persaingan Sempurna, pemerintah harus menghilangkan sistem kuota (= memberi ijin kepada perusahaan tertentu dengan jumlah impor tertentu), dan menggantikannya dengan membuka keran impor seluas-luasnya kepada perusahaan yang berniat untuk impor (tentu saja dengan mengikuti ketentuan impor yang berlaku). Sistem kuota bukan hanya buruk untuk persaingan bisnis dan konsumen, tetapi juga rentan kolusi dan korupsi antara pengusaha dan penguasa. Beberapa kasus sudah membuktikan hal ini.

Dengan menciptakan Perfect Competition atau Persaingan Sempurna maka harga daging diharapkan turun ke tingkat harga di mana setiap pemasok hanya dapat memperoleh laba yang normal. Akibatnya, kalau harga (daging) sapi impor lebih murah dari harga (daging) sapi lokal, maka peternak sapi lokal, khususnya peternak kecil, akan tergerus dan keluar dari bisnis alias bangkrut. Ini adalah dampak negatif dari Persaingan Sempurna. Harga (daging) sapi impor bisa lebih murah dari harga (daging) sapi lokal karena banyak negara (maju) memberi subsidi kepada peternaknya untuk meningkatkan pendapatannya.

Bagaimana pemerintah menghadapi permasalahan yang dilematis ini: di satu sisi pemerintah mau konsumen bisa menikmati harga daging sapi yang murah, tetapi di lain sisi pemerintah mau melindungi peternak sapi agar tetap dapat bersaing (meskipun harga produksi lokal lebih tinggi dari harga impor)?

Untuk permasalahan ini, saya akan membahasnya di tulisan berikutnya.


--- 000 ---

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial