Tax Amnesty: Kontroversi 2
Pemerintah saat ini sedang mewacanakan memberikan tax amnesty kepada para pengemplang
pajak nasional. Ada dua alasan utama yang menjadi dasar pemerintah memberikan tax amnesty 2016. Yang pertama sudah
saya bahas di tulisan sebelumnya dengan judul Tax Amnesty: Kontroversi 1. Di dalam tulisan ini dijelaskan bahwa alasan
pertama pemerintah yang menjadi dasar utama pemberian tax amnesty tidak dapat dipertanggung jawabkan sama sekali, dan
oleh karena itu rencana tax amnesty sudah
sepantasnya dihentikan. Lihat http://bit.ly/1VNTqtZ.
Alasan pemerintah yang kedua akan saya bahas di sini.
Mitos 2: Capital Inflow Hasil Repatriasi Tax Amnesty Meningkatkan Pertumbuhan
Ekonomi
Alasan kedua, pemerintah berteori bahwa tax amnesty akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia (menjadi
lebih tinggi).
Bagaimana caranya?
Menurut pemerintah tax
amnesty akan mengalirkan dana dari luar negeri milik warga negara Indonesia
masuk kembali ke Indonesia. Artinya akan terjadi capital inflow hasil repatriasi tax
amnesty. Kemudian pemerintah berpendapat, capital
inflow ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi lebih
tinggi. Mungkin maksudnya capital ini
akan diinvestasikan di Indonesia sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Diperkirakan
ada sekitar Rp 3.000 triliun sampai Rp 4.000 triliun dana WNI yang disimpan di
luar negeri.
Apakah hipotesis pemerintah ini benar dan dapat
dipertanggung jawabkan?
Pendapat yang mengatakan capital
inflow dari repatriasi tax amnesty
akan membuat pertumbuhan ekonomi meningkat adalah naïf dan tidak masuk akal.
Pertama, pertumbuhan ekonomi bukan tergantung dari capital (inflow): selama ada kesempatan
investasi yang menarik dan menguntungkan, maka capital dengan sendirinya akan mengalir masuk. Sebagai contoh, ekonomi
(= PDB) Indonesia pada tahun 2005 hanya sebesar Rp 2.774 triliun, sedangkan
pada tahun 2014 sudah mencapai Rp 10.095 triliun, atau sekitar 3,64 kali dari
tahun 2005. Selama periode ini, kita tidak mengalami kesulitan pendanaan sama
sekali, kita tidak mengalami kekurangan pendanaan untuk membiayai pertumbuhan
ekonomi tersebut, karena pada prinsipnya capital
secara otomatis akan mencari investment
opportunity yang menguntungkan, dan mampu membiayai investasi tersebut.
Kalau kita perhatikan lebih lanjut, maka jelas sekali bahwa permasalahan
ekonomi Indonesia dewasa ini bukan karena kekurangan pendanaan, dan oleh karena
itu tidak membutuhkan dana dari repatriasi tax
amnesty. Dana di dalam perbankan Indonesia masih berlimpah. Hal ini dapat
dilihat dari Loan-to-Deposit Ratio
(LDR) perbankan nasional yang cukup rendah, sekitar 85-88 persen. Jauh lebih
rendah dari negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia atau Singapore. Artinya,
sektor perbankan Indonesia masih mempunyai kapasitas yang cukup besar untuk membiayai
pertumbuhan ekonomi nasional. Bahkan tahun lalu (2015) perbankan Indonesia juga
harus kecewa karena realisasi pertumbuhan kredit tidak sesuai dengan harapan
mereka: realisasi pertumbuhan kredit nasional 2015 hanya sekitar 10 persen,
jauh lebih rendah dari target yang ditetapkan sekitar 16-18 persen, dan juga
lebih rendah dari realisasi pertumbuhan kredit 2014 yang mencapai sekitar 13
persen. Bahkan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) semula mengira pertumbuhan kredit perbankan nasional dapat
mencapai 18 persen. Semua data di atas menjelaskan penyebab pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang rendah bukan karena kekurangan pendanaan atau capital, tetapi karena belum cukup tersedianya
investment opportunity yang menguntungkan mengingat kondisi ekonomi dewasa ini (oversupply).
Di samping itu, kondisi ekonomi Indonesia saat ini ditandai
dengan kelebihan kapasitas produksi dibandingkan dengan permintaan (global
maupun domestik). Artinya, total kapasitas produksi nasional jauh lebih besar
dari total permintaan: agregat supply
lebih besar dari agregat demand. Oleh
karena itu, kondisi seperti ini tidak menarik untuk investasi.
Kedua, dari sisi moneter, capital inflow akan membuat nilai tukar rupiah menguat sehingga membuat
produk Indonesia relatif menjadi lebih mahal di pasar internasional, dan mengakibatkan
ekspor turun. Di sisi lain, penguatan nilai tukar rupiah akan membuat produk
luar negeri relatif menjadi lebih murah sehingga menyebabkan impor naik.
Penurunan ekspor dan peningkatan impor akan membuat pertumbuhan ekonomi tertekan
dan neraca perdagangan defisit.
Ketiga, capital inflow
akan mengakibatkan jumlah uang beredar di dalam negeri meningkat yang akan
berdampak negatif pada tingkat inflasi: inflasi meningkat. Kenaikan inflasi
akan membuat daya beli turun dan menekan pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, pendapat pemerintah yang mengatakan capital inflow (karena adanya tax amnesty) akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi hanyalah sebuah ilusi.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa capital inflow karena tax amnesty tidak akan membuat
pertumbuhan ekonomi meningkat (lebih tinggi) seperti yang dikatakan, atau lebih
tepatnya diharapkan, oleh pemerintah. Karena, pertumbuhan ekonomi pada intinya tidak
tergantung dari capital inflow melainkan
dari apakah tersedia investment opportunity
yang menarik: capital akan dengan
sendirinya masuk kalau ada investment
opportunity yang menarik dan menguntungkan. Kedua, capital inflow dari repatriasi malah berpotensi membuat pertumbuhan
ekonomi tertekan melalui (1) apresiasi nilai tukar rupiah dan (2) kenaikan
harga (inflasi).
Apresiasi nilai tukar rupiah akan berdampak negatif pada
ekspor dan impor (ekspor turun, impor naik) dan pertumbuhan ekonomi, seperti
dijelaskan di atas.
Oleh karena itu, alasan pemerintah bahwa capital inflow (karena tax amnesty) akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi tidak mempunyai dasar sama sekali, terlihat sangat
amatir dan kurang menguasai ekonomi.
Oleh karena itu, demi kepentingan nasional inisiatif tax amnesty sudah sepantasnya dihentikan.
--- 000 ---
Comments
Post a Comment