Tax Amnesty: Kontroversi 1

Pemerintah saat ini sedang mewacanakan memberikan pengampunan pajak nasional atau tax amnesty 2016. Draft Rancangan Undang-Undang Pengampunan (Pajak) Nasional  sudah diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dan disahkan. Pengampunan pajak nasional digulirkan setelah tahun pembinaan wajib pajak 2015 dapat dikatakan gagal total.

Pemerintah beralasan, banyak wajib pajak beberapa tahun belakangan ini yang  mengemplang pajak, alias tidak patuh lagi membayar kewajiban pajaknya. Khususnya sejak 2009 di mana tax ratio, yaitu rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), anjlok dari 13,31 persen menjadi sekitar 11,06 persen saja. Oleh karena itu, tahun 2015 dicanangkan sebagai tahun pembinaan wajib pajak agar tingkat kepatuhan wajib pajak meningkat, dan tax ratio penerimaan pajak juga meningkat.

Namun, ternyata tax ratio 2015 malah turun dibandingkan 2014, bahkan lebih rendah dari tax ratio 2009 ketika krisis keuangan dan krisis ekonomi global dimulai. Lihat gambar di bawah ini: tax ratio 2015 = 10,75 persen; 2014 = 11,36 persen; 2009 = 11,06 persen.
Gambar 1: Tax Ratio Indonesia 2005 - 2015

Oleh karena itu, pemerintah saat ini sedang mewacanakan tax amnesty untuk mendongkrak penerimaan pajak dan tax ratio, serta mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

Mitos 1: Pertumbuhan Ekonomi Membuat Penerimaan Pajak dan Tax Ratio Meningkat
Pemerintah berteori, kalau pertumbuhan ekonomi meningkat (positif) maka penerimaan pajak dan tax ratio seharusnya juga meningkat. Artinya, pertumbuhan penerimaan pajak seharusnya lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Pendapat ini merupakan asumsi yang sangat penting yang mendasari pemerintah memberikan tax amnesty: pemerintah berpendapat penurunan tax ratio selama ini di tengah-tengah pertumbuhan ekonomi yang positif disebabkan karena banyak wajib pajak yang tidak membayar pajak. Oleh karena itu, diperlukan tax amnesty untuk menghapus dosa-dosa pengemplang pajak, dan penerimaan pajak serta tax ratio dengan sendirinya akan meningkat.

Apakah hipotesis pemerintah ini dapat dipertanggungjawabkan? Bagaimana faktanya?

Korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan penerimaan pajak serta tax ratio hanyalah sebuah ilusi. Pertumbuhan ekonomi faktanya tidak selalu meningkatkan penerimaan pajak dan tax ratio, meskipun wajib pajak membayar pajak secara benar. Bagaimana pemerintah dapat mengambil kesimpulan yang salah kaprah seperti ini?

Dalam keadaan normal, pertumbuhan ekonomi mungkin bisa meningkatkan tax ratio. Tetapi tidak selalu demikian seperti dapat dilihat dari ilustrasi yang sederhana di bawah ini: pertumbuhan ekonomi dapat terjadi di tengah-tengah anjloknya harga produk (komoditas) dan penerimaan pajak. karena, pertumbuhan ekonomi (riil) dihitung berdasarkan kuantitas, sedangkan penerimaan pajak dihitung berdasarkan satuan moneter (harga). Lihat ilustrasi dan tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1: Ilustrasi Ekonomi - Pertumbuhan Ekonomi dan Tax Ratio

Ilustrasi
Dari tabel 1 dapat dilihat sebuah ekonomi pada tahun 0 mempunyai produksi 100.000 ton dengan harga satuan Rp 60 per ton. Dengan tarif PPN 10 persen maka penerimaan PPN pada tahun 0 sebesar Rp 600.000 (lihat kolom 5). Margin laba bersih pada tahun 0 sebesar 30 persen, sehingga laba bersih menjadi Rp 1.800.000 (kolom 7 = 30% x Rp 6.000.000). Dengan menggunakan tarif pajak progresif, laba bersih ini dikenakan tarif PPh rata-rata 25 persen pada tahun 0 sehingga penerimaan PPh menjadi Rp 450.000 (= 25% x Rp 1.800.000). Dengan demikian, total penerimaan pajak pada tahun 0 menjadi Rp 1.050.000 (PPN = Rp 600.000 + PPh = Rp 450.000). Oleh karena itu, tax ratio pada tahun 0 tercatat sebesar 17,50 persen (= Rp 1.050.000 / Rp 6.000.000 x 100%).

Pada tahun 1, produksi meningkat menjadi 105.000 ton, tetapi harga jual turun menjadi Rp 45 per ton. Sedangkan tarif PPN pada tahun 1 sama dengan tahun sebelumnya, yaitu 10 persen, sehingga penerimaan PPN pada tahun 1 sebesar Rp 472.500 (= 10% x Rp 472.500), turun dari tahun sebelumnya. Penurunan harga juga membuat tingkat keuntungan perusahaan menciut sehingga margin laba bersih juga turun dari 30 persen menjadi hanya 15 persen saja, dan mengakibatkan laba bersih juga turun menjadi Rp 708.750 (= 15% x Rp 472.500). Penurunan laba bersih ini membuat tarif PPh progresif turun dari rata-rata 25 persen menjadi 10 persen. Hal ini mengakibatkan penerimaan PPh juga anjlok dari Rp 450.000 pada tahun 0 menjadi Rp 70.875 pada tahun 1. Dengan demikian, total penerimaan pajak pada tahun 1 turun drastis dibandingkan dengan tahun 0, yaitu dari Rp 1.050.500 pada tahun 0 menjadi Rp 543.375 pada tahun 1. Tentu saja tax ratio juga turun dari 17,5 persen pada tahun 0 menjadi 11,5 persen pada tahun 1. Meskipun demikian, realisasi pertumbuhan ekonomi (secara riil = kuantitas) pada tahun 1 mencapai 5 persen = (105.000 ton – 100.000 ton) / 100.000 ton x 100%.

Dari ilustrasi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa penerimaan pajak dan tax ratio dapat turun meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi (yang positif).

Jadi, pernyataan pemerintah yang mengatakan pertumbuhan ekonomi selalu membuat penerimaan pajak serta tax ratio meningkat tidak beralasan dan salah kaprah.

Contoh Kasus Ekonomi Indonesia 2009: PDB, Penerimaan Pajak, dan Tax Ratio
Fenomena di atas juga terjadi di kehidupan riil ekonomi kita. Dari Gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa tax ratio pada 2006 turun dari 12,51 persen menjadi 12,25 persen dan pada 2009 anjlok dari 13,31 persen menjadi 11,06 persen. Di sampimh itu, tax ratio 2013 sampai 2015 juga turun. Semua penurunan tax ratio tersebut terjadi di tengah-tengah pertumbuhan ekonomi yang positif. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Untuk lebih jelasnya mari kita lihat lebih detil ekonomi pada tahun 2009 seperti diberikan pada tabel di bawah.
Tabel 2: Pertumbuhan Ekonomi, Penerimaan Pajak, Tax Ratio 2009

Secara nominal pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 mengalami pertumbuhan 13,29 persen (lihat tabel 2 sebelah kanan), yaitu dari Rp 4.948,69 triliun (2008) menjadi Rp 5.606,20 triliun (2009). Sedangkan pertumbuhan ekonomi riil tercatat sebesar 4,5 persen. Meskipun demikian, penerimaan pajak pada 2009 malah lebih rendah dibandingkan dengan 2008, yaitu Rp 658,70 triliun (2008) versus Rp 619,92 triliun (2009) (lihat baris Total Pajak + Bea dan Cukai pada sebelah kiri Tabel 2). Akibatnya, tax ratio anjlok dari 13,31 persen pada 2008 menjadi 11,06 persen pada 2009.

Penurunan penerimaan pajak dan tax ratio pada 2009 bukan berarti tingkat kepatuhan pajak menurun seperti diuraikan pada ilustrasi di atas. Penurunan penerimaan pajak dan tax ratio ini terjadi karena harga komoditas pada 2009 turun tajam akibat krisis keuangan global 2007/2008. Di samping itu, pemerintah juga memberi stimulus pajak yang cukup besar untuk menopang pertumbuhan ekonomi 2009 agar tidak anjlok dari hantaman krisis global 2008: pada tahun 2009 pemerintah melakukan revisi terhadap Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) yang intinya memangkas tarif PPh Perorangan termasuk Dividen serta PPh Badan. Sebagai contoh, tarif dividen turun dari 20 persen menjadi 10 persen (final) pada tahun 2009. Tentu saja penurunan tarif PPh ini membuat penerimaan pajak dan tax ratio turun drastis.

Oleh karena itu, kesimpulan pemerintah yang mengatakan bahwa penurunan penerimaan pajak dan tax ratio pada 2009 di tengah-tengah pertumbuhan ekonomi yang positif (nominal tumbuh 13,29 persen, riil tumbuh 4,5 persen) diakibatkan karena meningkatnya pengemplang pajak tidak beralasan.

Kesimpulan
Berdasarkan fakta di atas, tax amnesty seharusnya tidak boleh dilanjutkan karena berdasarkan analisis yang salah. Tax amnesty seharusnya tidak serta merta akan meningkatkan tax ratio. Kalau harga-harga komoditas masih turun maka tax ratio juga dipastikan masih akan turun.

Sebaliknya, kalau harga komoditas meningkat maka tax ratio dengan sendirinya juga akan meningkat, meskipun tidak ada tax amnesty. Pemerintah seharusnya bersabar menunggu harga-harga komoditas kembali meningkat, sehingga tax ratio juga akan meningkat.

Rencana tax amnesty saat ini sangat tidak masuk akal dan mencederai keadilan. Apakah sedemikian daruratnya keuangan negara sehingga pemerintah sampai harus memberlakukan tax amnesty. Terlebih-lebih, tarif tebusan tax amnesty ini sangat rendah sekali, yaitu hanya 2 persen, 4 persen atau 6 persen (tergantung kapan pelaku mendaftarkan permohonan tax amnesty. Semakin cepat permohonan tax amnesty maka semakin rendah tarif tax amnesty). Kalau pemohon melakukan repatriasi (mengembalikan dana dari luar negeri ke Indonesia) malah tarif tebusannya dipotong 50 persen sehingga menjadi 1 persen, 2 persen atau 3 persen saja. Tarif ini sungguh mencederai keadilan. Bayangkan saja, tarif PPh karyawan yang selama ini patuh membayar pajak dikenai pajak tertinggi hingga 30 persen. Tetapi, bagi mereka yang tidak patuh membayar pajak selama ini dapat diberikan pengampunan dan hanya dikenai tarif tebusan maksimum 6 persen? Sungguh tidak adil!

Di samping itu, timbul pertanyaan mengapa pemerintah mau memberlakukan  tax amnesty tahun ini? Bukankan pada tahun 2018 semua data perbankan (simpanan dan deposito) di seluruh dunia akan terbuka bagi setiap negara melalui Automatic Exchange of Information (AEoI). Dengan kata lain, pemerintah Indonesia pada tahun 2018 dapat mengetahui berapa besar dana Warga Negara Indonesia yang disimpan di luar negeri. Dengan adanya AEoI maka sangat sulit bagi wajib pajak untuk tidak melaporkan penghasilannya secara benar. Seharusnya pemerintah bersabar menunggu tahun 2018 untuk mengetahui berapa uang wajib pajak Indonesia yang di simpan di luar negeri. 

Oleh karena itu, kita patut curiga bahwa program tax amnesty tahun 2016 ini diberikan untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu.

Oleh karena itu, demi kepentingan nasional inisiatif tax amnesty seharusnya dihentikan.

--- 000 ---

Comments

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial