Bersama IMF dan World Bank, Dunia Semakin Liberal: Krisis Finansial Semakin Sering Terjadi
Menjelang Perang Dunia II berakhir, PBB menyelenggarakan
konferensi moneter dan finansial di Bretton Woods, New Hampshire, Amerika
Serikat (AS), Juli 1944. Pertemuan yang juga dikenal dengan Bretton Woods Conference bertujuan
mencari solusi mempercepat pembangunan ekonomi dunia, khususnya Eropa (Barat),
dari kehancuran akibat perang.
Bretton Woods
Conference yang didominasi oleh Amerika Serikat dan Inggris sepakat
mendirikan dua institusi dunia dalam bidang moneter dan finansial: 1. International
Bank for Reconstruction and Development (IBRD) atau yang dikenal dengan World
Bank, dan (2) International Monetary Funds (IMF). Tugas utama World Bank untuk mempercepat
pembangunan ekonomi global, sedangkan tugas utama IMF untuk menjaga stabilitas
sistem moneter dunia dan nilai tukar, yang sebelumnya sangat bergejolak akibat banyak
negara melakukan “manipulasi” mata uangnya dengan cara devaluasi, alias currency war.
Namun, sistem Bretton Woods tidak bertahan lama. Pemulihan ekonomi
Eropa Barat dan Jepang, di tambah pengeluaran AS untuk membiayai militernya di
seluruh dunia yang sangat besar, termasuk membiayai berbagai perang seperti
perang Vietnam, menyebabkan neraca pembayaran AS defisit berkepanjangan sejak 1958.
Defisit ini membuat cadangan emas AS turun tajam selama periode 1958-1971, turun
hampir 60 persen, akibat defisit tersebut dikonversi menjadi emas. Anjloknya
cadangan emas ini membuat Presiden AS ketika itu, Richard Nixon, menghentikan
konversi dolar ke emas pada Maret 1971, yang mana menandai berakhirnya sistem
moneter Bretton Woods.
Pasca runtuhnya Bretton Woods, sistem moneter dunia menjadi
liar. Dolar AS, termasuk Eurodollar dan Petrodollar, mengalir deras keluar masuk
negara-negara berkembang (emerging markets) secara bebas, yang mana menjadi pemicu
utama krisis finansial. Pada 1980-an, hampir semua negara Amerika Latin
mengalami krisis finansial karena dolar yang masuk pada akhir 1970-an dan awal
1980-an tiba-tiba ditarik keluar, membuat neraca pembayaran defisit,
menyebabkan kurs mata uangnya anjlok. Dalam kondisi seperti itu, tidak ada
jalan lagi kecuali harus minta bantuan “dana talangan” IMF.
Peran IMF pun berubah dari supervisi sistem moneter menjadi aktor
utama dalam mentransformasi ekonomi global menjadi semakin liberal, atau yang
dikenal neoliberalism, alias neolib. IMF akan mengenakan prasyarat yang “mematikan”
kepada negara yang memerlukan pinjaman dari IMF, yang dikenal dengan LPG:
Liberalisasi, Privatisasi, Globalisasi, untuk menciptakan pasar bebas: free trade, free financial market, free
capital market. Tetapi, sayangnya pasar tenaga kerja yang menjadi
comparative dan competitive advantage dari negara-negara berkembang tidak ikut
dipasar-bebaskan menjadi free labor
market. Setiap orang seharusnya boleh bekerja di negara manapun. Borderless world seharusnya tidak hanya berlaku
untuk capital saja tetapi juga untuk tenaga kerja, seperti yang terjadi di Uni
Eropa. Jadi, pasar bebas pun dipilih-pilih yang mana yang bermanfaat bagi
negara maju.
Akibat LPG, sistem moneter global menjadi sangat tidak
stabil. Pertengahan tahun ini Argentina harus menghadap tuan besar IMF lagi karena
terjadi cash outflow dolar besar-besaran
yang membuat mata uangnya anjlok dan inflasi tinggi. Sebelumnya Argentina sudah
mengalami tiga kali krisis keuangan dan krisis mata uang pada 1982, 1989, 2001.
Pergerakan keuangan global yang sangat bebas juga terjadi di
Indonesia dan mengakibatkan krisis moneter tahun 1997/1998 akibat terjadi penarikan
dolar yang besar pada pertengahan kedua 1997 yang menyebabkan krisis neraca
pembayaran dan krisis mata uang. Kurs rupiah yang ketika itu menggunakan fixed exchange rate terhadap dolar AS menjadi
kemahalan, kemudian rupiah diserang dan anjlok. Krisis moneter yang menjalar ke
sektor perbankan membuat pemerintah terpaksa mem-bailout perbankan nasional, dan menanggung utang swasta menjadi
utang negara. Untuk mengatasi masalah likuiditas ini, pemerintah akhirnya minta
bantuan IMF. Sejak itu, sistem ekonomi Indonesia menjadi sangat liberal: transaksi
pasar modal (saham dan obligasi) dikuasai asing.
Awal Oktober 2018 kurs rupiah melemah lagi dan sempat
menyentuh Rp 15.200 per dolar AS. Neraca pembayaran dari Januari hingga
September 2018 (8 bulan) mengalami rekor defisit sebesar 17 miliar dolar AS. Yang
lebih memprihatinkan lagi, tekanan terhadap rupiah masih belum reda. Kalau dolar
outflow terus berlanjut seperti
sekarang, bukan tidak mungkin Indonesia akan terjadi krisis neraca pembayaran
lagi, dan kurs rupiah akan semakin terpuruk. Akankah kita menghadap IMF lagi?
Tujuan utama didirikan IMF dan World Bank adalah untuk
menjaga stabilitas sistem moneter dunia. Tetapi, faktanya sangat berlawanan. Sistem
moneter dunia kini semakin tidak stabil. Krisis finansial semakin sering
terjadi terutama di negara berkembang yang menjadi sasaran keluar masuk dolar
untuk mencari imbal hasil yang lebih besar. Oleh karena itu, pada pertemuan di
Bali 12-14 Oktober ini, Indonesia dan negara berkembang harus berani mengusulkan
reformasi terhadap institusi IMF dan World Bank kembali kepada misinya: menjaga
stabilitas moneter dunia. Atau sebaiknya kedua institusi tersebut dibubarkan saja
dan sistem moneter dunia kembali ke era sebelum Bretton Woods 1944?
--- 000 ---
Comments
Post a Comment