PERPU Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan: Keliru Sasaran

Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director Political Economics and Policy Studies (PEPS)

Belum lama berselang banyak pihak dikejutkan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2017 tentang AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN yang ditandatangai tanggal 8 Mei 2017. PERPU tersebut mengejutkan karena biasanya PERPU dikeluarkan dalam keadaan yang memaksa alias genting. Apa yang membuat pemerintah merasa saat ini kondisi Negara dalam keadaan genting sehingga perlu mengeluarkan PERPU tersebut?

PERPU Nomor 1 Tahun 2017 ini mengejutkan karena isinya sangat sensitif, yaitu memberi akses seluas-luasnya kepada aparat pajak terhadap informasi keuangan (baca: kekayaan finansial) milik semua orang yang tinggal di Indonesia, baik itu Warga Negara (WN) Asing maupun WN Indonesia.

Memang PERPU tersebut diembel-embeli dengan “Untuk Kepentingan Perpajakan”. Apa yang dimaksud dengan “Untuk Kepentingan Perpajakan”? Tidak ada definisinya sama sekali. Oleh karena itu, PERPU ini secara gamblang dan eksplisit memberi akses kepada aparat pajak atas informasi kekayaan finansial (saldo bank, deposito, saham dan surat berharga lainnya) yang dimiliki oleh setiap orang di Indonesia, tanpa syarat apapun.

Berdasarkan informasi, dan di dalam pertimbangannya, penerbitan PERPU ini didorong oleh perjanjian internasional mengenai pertukaran informasi secara otomatis yang dikenal dengan Automatic Exchange of Financial Account Information (AEOI) for Tax Purpose guna memerangi praktik penghindaran pajak secara internasional.

Di dalam pertimbangan PERPU butir c tertulis: bahwa Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional di bidang perpajakan yang berkewajiban untuk memenuhi komitmen keikutsertaan dalam mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information) dan harus segera membentuk peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.

Jadi, kalimat “Untuk Kepentingan Perpajakan” sebenarnya harus diartikan dalam konteks memerangi praktik penghindaran pajak (secara) internasional, bukan pajak Indonesia: dalam konteks “Automatic Exchange of Financial Information for Tax Purpose”.

Oleh karena itu, PERPU Nomor 1 Tahun 2017 yang memberi akses kepada aparat pajak terhadap kekayaan finansial suluruh rakyat (WN) Indonesia dapat dikatakan keliru sasaran.

AEOI: Automatic Exchange of Information
Di dalam perjanjian internasional, yang dimaksud dengan pertukaran informasi secara otomatis adalah hanya terkait WN Asing saja. Artinya, Pemerintah Indonesia hanya WAJIB menyediakan informasi keuangan yang dimiliki oleh WN ASING (misalnya Malaysia) yang tinggal di Indonesia kepada Pemerintah Malaysia. Demikian juga sebaliknya, Negara Asing (misalnya Malaysia) juga wajib menyediakan informasi keuangan milik WN Indonesia yang tinggal di Malaysia kepada Pemerintah Indonesia. Ini yang dimaksud dengan pertukaran informasi keuangan secara internasional untuk mendeteksi praktik penghindaran pajak (yang ditempatkan di luar negeri).

Jadi, AEOI, atau pertukaran informasi, ini hanya terkait dengan WN Asing, bukan WN Indonesia. Oleh karena itu, PERPU Nomor 1 Tahun 2017 tersebut seharusnya juga hanya terkait akses informasi keuangan yang dimiliki oleh semua WN Asing yang tinggal di Indonesia “Untuk Kepentingan Penghindaran Perpajakan Internasional”. Oleh karena itu, PERPU Nomor 1 Tahun 2017 tersebut seharusnya tidak diperluas dengan mengikutsertakan informasi keuangan yang dimiliki oleh WN Indonesia yang tinggal di Indonesia karena hal tersebut bukan sebagai objek pertukaran informasi keuangan dalam konteks AEOI.

Akses informasi untuk kepentingan perpajakan di dalam negeri bagi WN Indonesia sebenarnya sudah diatur di dalam Undang-Undang (UU) terkait lainnya, yaitu
  • Pasal 40 dan pasal 41 UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998
  • Pasal 47 UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
  • Pasal 17, pasal 27 dan pasal 55 UU Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 2011
  • Pasal 41 dan Pasal 42 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah    

Namun, pasal-pasal yang terkait dengan akses informasi keuangan tersebut justru dihapus melalui PERPU ini. Akibatnya, akses informasi keuangan yang dulu terkait dengan kepentingan perpajakan sekarang menjadi hilang dan menjelma menjadi akses informasi tanpa batas dan tanpa syarat. Artinya, aparat pajak bisa minta informasi keuangan yang dimiliki oleh setiap WN Indonesia kapan saja dari setiap pihak terkait (Perbankan, Pasar Modal, dan lainnya).

Bagaimana dampak PERPU terhadap investasi? Yang pasti, tidak ada satu orangpun yang senang kekayaannya dapat diintip setiap saat oleh pihak lain, khususnya aparat pajak. Kemungkinan besar transaksi berbasis kas akan meningkat tajam pasca diberlakukannya PERPU ini.

Kesimpulan
PERPU Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan didorong oleh perjanjian internasional yang sudah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia terkait Pertukaran Informasi Keuangan Secara Otomatis Untuk Kepentingan Perpajakan: Automatic Exchange of Financial Account Information for Tax Purpose. Di dalam perjanjian pertukaran informasi ini Pemerintah Indonesia wajib memberi informasi keuangan WN Asing yang tinggal di Indonesia kepada Pemerintah bersangkutan, dan sebaliknya. Oleh karena itu, PERPU Nomor 1 Tahun 2017 tersebut seharusnya hanya terkait dengan keterbukaan informasi keuangan bagi WN Asing yang tinggal di Indonesia. Namun, PERPU tersebut juga memasukkan keterbukaan informasi keuangan bagi WN Indonesia yang sebenarnya sudah diatur di setiap Undang-Undang terkait: Undang-Undang Perbankan, Pasar Modal, Perdagangan Berjangka Komoditi, Perbankan Syariah.

Apakah ini yang dinamakan penyelundupan Pasal di dalam Undang-Undang?

--- 000 ---

LAMPIRAN

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Pasal 41
(1) Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.

(2) Perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang dikehendaki keterangannya.


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

Pasal 47
(1) Kustodian atau Pihak terafiliasinya dilarang memberikan keterangan mengenai rekening Efek nasabah kepada Pihak mana pun, kecuali kepada:
a.     Pihak yang ditunjuk secara tertulis oleh pemegang rekening atau ahli waris pemegang rekening;
b.     Polisi, Jaksa, atau Hakim untuk kepentingan peradilan perkara pidana;
c.   Pengadilan untuk kepentingan peradilan perkara perdata atas permintaan Pihak-Pihak yang berperkara;
d.     Pejabat Pajak untuk kepentingan perpajakan;
e.   Bapepam, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Emiten, Biro Administrasi Efek, atau Kustodian lain dalam rangka melaksanakan fungsinya masing-masing; atau
f.      Pihak yang memberikan jasa kepada Kustodian, termasuk konsultan, Konsultan Hukum, dan Akuntan.

(2) Setiap Pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f yang memperoleh keterangan mengenai rekening Efek nasabah dari Kustodian atau afiliasinya dilarang memberikan keterangan dimaksud kepada Pihak mana pun, kecuali diperlukan dalam pelaksanaan fungsinya masing-masing.

(3) Permintaan untuk memperoleh keterangan mengenai rekening Efek nasabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d diajukan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung atau pejabat yang ditunjuk, dan Direktur Jenderal Pajak kepada Bapepam untuk memperoleh persetujuan dengan menyebutkan nama dan jabatan polisi, jaksa, hakim atau pejabat pajak, nama atau nomor pemegang rekening, sebab-sebab keterangan diperlukan, dan alasan permintaan dimaksud.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Pasal 41
Bank dan Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan Investasinya.

Pasal 42
(1) Untuk kepentingan penyidikan pidana perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis serta surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor tertentu kepada pejabat pajak.


(2) Perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyebutkan nama pejabat pajak, nama nasabah wajib pajak, dan kasus yang dikehendaki keterangannya.

--- 000 ---

Comments

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial