Negara Demokratis, Pemimpin Otoriter: Mungkinkah?

Setelah reformasi 1998 yang penuh dengan pengorbanan, sistem politik Indonesia beralih menuju sistem demokrasi yang akan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Setelah hampir 20 tahun reformasi berlalu, bagaimana hasilnya?

Pertama, apa yang menjadi barometer demokrasi? Apakah pemilihan kepala pemerintahan, baik Pemilihan Presiden maupun Pemilihan Kepala Daerah, secara langsung oleh rakyat bisa dianggap sudah mewakilkan sistem demokrasi?

Seperti diketahui, pada 2004 Indonesia untuk pertama kalinya malaksanakan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung (oleh rakyat). Banyak pengamat internasional memuji keberhasilan Indonesia melaksanakan pesta demokrasi akbar ini yang berjalan relatif aman, meskipun harus diakui belum (atau jauh?) dari sempurna: Pemilihan anggota DPR/D (Dewan Permakilan Rakyat / Daerah) masih banyak diwarnai laporan-laporan kecurangan, misalnya saling menghilangkan hak suara atau bahkan saling membeli hak suara. Politik uang masih terasa kental menjelang pemilihan anggota Dewan atau Pilpres dan Pilkada. Meskipun demikian, banyak pengamat internasional berpendapat Indonesia cukup berhasil dalam transisi menuju negara demokrasi. Cukup membanggakan. Di samping itu, ada juga suara-suara sumbang yang mengatakan bahwa rakyat Indonesia masih belum siap menghadapi Pilpres dan Pilkada langsung. Alasannya, banyak rakyat Indonesia yang masih “buta” politik sehingga mudah dimanipulasi oleh keadaan. Ada studi yang mengatakan, demokrasi hanya dapat berjalan baik apabila tingkat kesejahteraan masyarakat memadai. Mantan Wakil Presiden Budiono dalam disertasinya mengatakan batas kritis pendapatan per kapita adalah USD 6.600 sebagai prasyarat demokrasi dapat berjalan dengan baik. Batas ini jauh di atas pendapatan per kapita Indonesia yang hanya sebesar USD 3.346 per kapita pada 2015 (sumber: world bank).

Selain itu, demokrasi juga bukan hanya representasi dari Pilpres atau Pilkada secara langsung yang dipilih oleh rakyat. Di atas semua itu, demokrasi juga harus disertai penegakan hukum yang adil dan berlaku universal bagi seluruh rakyat. Artinya, semua orang harus mendapat perlakuan yang sama di depan hukum: The Rule by Law. Bukan the Rule by Individual.

Tanpa perlakuan hukum yang adil bagi semua orang, maka demokrasi hanyalah ilusi. Kalau pemerintah dan penguasa menerapkan diskriminasi hukum maka pemerintahan cenderung otoriter. Biasanya, dalam kondisi tersebut, hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, dan tumpul sekali ke kelompok sendiri. Artinya, hukum berpihak kepada sekelompok orang kaya dan atau sekelompok penguasa. Dengan kata lain, orang kaya dan penguasa dapat memengaruhi hasil pengadilan. Dalam kondisi ini, jual beli perkara sudah menjadi rahasia umum. Di dalam pemerintahan yang cenderung otoriter, pemerintah (penguasa) dan orang berduit akan menguasai institusi penegak hukum: Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dan Institusi Pemberantasan Korupsi. Penguasaan institusi hukum sangat penting bagi pemerintahan otoriter untuk memberantas berbagai hal yang dapat menjadi penghalang demi melanggengkan kekuasaan. Kalau ini terjadi, maka jelas pemilihan langsung sebagai tanda demokrasi hanyalah kamuflase saja dan demokrasi hanyalah ilusi. 

Sebagai contoh penegakan hukum tanpa tebang pilih yang cukup populer sedang terjadi akhir-akhir ini di Amerika Serikta. FBI (Federal Bureau Investigation) baru-baru ini mengatakan akan membuka kembali investigasi terhadap Hillary Clinton atas dugaan pelanggaran penggunaan email pribadi ketika menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara Amerika Serikat ketika itu. Dalam hukum Amerika Serikat, penggunaan email pribadi bagi pejabat publik adalah melanggar hukum. Dikhawatirkan, penggunaan email pribadi dapat membocorkan rahasia negara karena sistem keamanan email pribadi ini jauh dari memadai untuk dapat menangkal ancaman hackers. Padahal, Hillary Clinton dari Partai Demokrat saat ini sedang sibuk-sibuknya bertarung melawan Donald Trump dari Partai Republik  pada Pemilihan Presiden 8 November yang akan datang. Ini adalah contoh supremasi hukum tanpa tebang pilih, alias semua orang sama di depan hukum, yang berjalan di Amerika Serikat.

Bagaimana dengan kondisi Indonesia? Apakah Anda sudah puas dengan penegakan hukum di Indonesia? Apakah supremasi hukum yang menjadi tonggak demokrasi sudah ditegakkan seadil-adilnya di Indonesia yang tercinta ini? Dari skala 1 sampai 10, di mana 10 adalah yang terbaik, berapa nilai penegakan hukum di Indonesia menurut Anda? Inti dari demokrasi adalah supremasi hukum tanpa tebang pilih. Tanpa supremasi hukum maka demokrasi hanyalah ilusi.

--- 000 ---

Comments

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial