Tax Amnesti Indonesia: Sukses Berburu di Kebun Binatang?

Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak (atau Tax Amnesty, atau disingkat TA) menjelaskan:
Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pada prinsipnya, semua Wajib Pajak boleh mengikuti program TA kecuali Wajib Pajak sedang:
  • dalam penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan,
  • dalam proses peradilan, atau
  • menjalani hukuman pidana
Adapun kewajiban pajak yang dapat diampuni meliputi:
  • Pajak Penghasilan, atau
  • Pajak Pertambahan Nilai atau Pejak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Seperti diberitakan di banyak media masa, TA ini pada awalnya ditujukan untuk menarik harta Wajib Pajak Indonesia yang disimpan di luar negeri yang konon mencapai lebih dari Rp 4.000 triliun, dan kebanyakan dari Harta tersebut ditengarai belum bayar pajak di Indonesia. Oleh karena itu, TA diharapkan dapat membawa pulang (repatriasi) dana di luar negeri tersebut yang katanya akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia meroket.

Sekilas terdengar berita, target repatriasi setidak-tidaknya akan mencapai Rp 2.000 triliun sampai Rp 3.000 triliun. Sedangkan target Uang Tebusan yang berasal dari total Harta Luar Negeri yang dideklarasi diharapkan mencapai Rp 100 triliun. Secara keseluruhan, target Uang Tebusan termasuk deklarasi Harta Dalam Negeri yang dipasang di APBNP 2016 sebesar Rp 165 triliun. 

Realisasi Pencapaian TA
Periode pertama TA akan selesai akhir September 2016. Hampir dapat dipastikan, Wajib Pajak yang mau ikut TA akan mengikutinya pada periode ini karena tarif tebusannya rendah, yaitu 2% (tarif tebusan deklarasi Harta Luar Negeri yang tidak direpatriasi sebesar 4%). Oleh karena itu, saya perkirakan deklarasi Harta akan menumpuk di periode pertama ini, setidak-tidaknya 70% dari total keseluruhan.

Sampai tanggal 27 September 2016, total Uang Tebusan TA sudah mencapai Rp 54,27 triliun seperti dapat dilihat di gambar di bawah ini yang diambil dari website pemerintah: (http://www.pajak.go.id/statistik-amnesti). Meskipun capaian ini masih jauh dari target penerimaan TA di APBNP 2016 sebesar Rp 165 triliun, tetapi capaian ini dapat dikatakan cukup sukses.


Di bawah ini kita akan lihat lebih detil faktor apa saja yang membuat TA sukses.

Per 27 September 2016, total Harta yang dideklarasi mencapai Rp 2.513,94 triliun dengan Uang Tebusan sebesar Rp 54,27 triliun, terdiri dari: 
  • Deklarasi Harta Bersih Repatriasi: Rp 127,61 triliun (setara 5,08% dari Total Harta), dengan Uang Tebusan sebesar Rp 2,55 triliun (setara 4,70% dari Total Uang Tebusan);
  • Deklarasi Harta Bersih Luar Negeri: Rp 666,03 triliun (setara 26,49% dari Total Harta), dengan Uang Tebusan sebesar Rp 26,64 triliun (setara 49,09% dari Total Uang Tebusan); dan
  • Deklarasi Harta Bersih Dalam Negeri: Rp 1.720,30 triliun (setara 68,43% dari Total Harta), dengan Uang Tebusan sebesar Rp 25,08 triliun (setara 46,21% dari Total Uang Tebusan).
Lihat juga tabel di bawah ini.


Dari data di atas dapat dilhat bahwa deklarasi Harta Bersih yang paling besar berasal dari Dalam Negeri, yaitu mencapai Rp 1.720 triliun, atau setara 68,43% dari total Harta yang dideklarasi.

Sedangkan Harta Repatriasi dari Luar Negeri hanya Rp 127,61 triliun, masih sangat jauh dari target sekitar Rp 2.000 hingga Rp 3.000 triliun. Adapun Uang tebusa dari hasil Repatriasi baru tercapai Rp 2,55 triliun. Meskipun masih jauh dari target, deklarasi Harta Bersih Luar Negeri yang tidak direpatriasi cukup tinggi, mencapai Rp 666,03 triliun, dengan Uang Tebusan Rp 26,64 triliun.

Jadi cukup mengejutkan, ternyata deklarasi Harta Dalam Negeri menjadi yang tertinggi dalam TA ini, yang pada awalnya menyasar untuk menarik Harta Wajib Pajak yang disimpan di Luar Negeri yang ditengarai belum bayar pajak. 

Mengapa hal ini dapat terjadi? Ada dua alasan untuk itu.

Pertama, Pasal 18 Undang-Undang Pengampunan Pajak tersebut di atas mengandung “ancaman” atau “teror” kepada wajib pajak untuk mengungkapkan semua harta yang dimilikinya yang belum dilaporkan di SPT. Yang dimaksud dengan “teror” karena, secara eksplisit, Pasal 18 (3) mengatur sanksi administrasi perpajakan di mana Wajib Pajak akan dikenakan sanksi sebesar 200% atas harta yang tidak atau kurang dilaporkan, meskipun harta tersebut, boleh jadi, dibeli dari penghasilan yang sudah dikenakan pajak. Bagi wajib pajak dalam negeri, mau tidak mau harus melapor semua hartanya yang ada di bumi Indonesia dan rela membayar 2% dari pada kena sanksi 200% karena harta di dalam negeri tidak dapat disembunyikan. Artinya, pasti ketahuan. Apalagi sudah beredar rumor di masyarakat bahwa aparat pajak akan mengejar dan memeriksa wajib pajak yang tidak ikut TA. Sekali lagi, dari pada diperiksa aparat pajak, kebanyakan wajib pajak memilih ikut TA agar tidak menjadi sasaran pemeriksaan, di mana kalau terjadi pemeriksaan pasti akan ada “temuan” (terlepas “sebersih” apapun wajib pajak).

Kedua, banyak wajib pajak menggunakan TA sebagai cara untuk menghindari agar tidak diperiksa oleh aparat pajak seperti di atur di Pasal 11. Seperti kita ketahui, Undang-Undang perpajakan memberi wewenang kepada Direktorat Jenderal Pajak memeriksa wajib pajak (badan) untuk lima tahun kebelakang. Dengan mengikuti TA wewenang ini dihapus sehingga aparat pajak tidak dapat memeriksa wajib pajak untuk tahun buku 2015 ke bawah.

Oleh karena itu, meskipun wajib pajak sudah melaporkan seluruh hartanya di dalam SPT, banyak wajib pajak tetap berupaya untuk ikut TA dengan alasan sederhana yaitu agar tidak menjadi target pemeriksaan pajak serta agar tidak diperiksa untuk tahun-tahun pajak sebelumnya.

Kedua alasan ini menjadi factor utama deklarasi harta dalam negeri melonjak tinggi, jauh lebih tinggi dari deklarasi harta luar negeri.

Tidak terlalu berlebihan kalau ada yang mengatakan sukses TA adalah sukses berburu di kebun binatang.


--- 000 ---

Comments

  1. Harta di luar negri, sulit dilacak kan pak? Kecuali ada pembocor2, itu pun masih sulit dibuktikan. Kekuatan politik pemerintah saat ini sudah cukup kuat kah dalam mengejar pejabat2 yang notabene adalah mantan2 president kita.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

Peran Perpajakan Sebagai Instrumen Redistribusi Pendapatan untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial