Kiat Pemerintah Mengatasi Defisit Perdagangan Salah Arah

Di muat di Harian Investor Daily, Senin, 8 April 2013


Neraca perdagangan Indonesia tahun 2012 mengalami defisit yang untuk pertama kalinya lagi sejak tahun 1961. Defisit ini masih berlanjut pada awal tahun 2013 ini. Neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2013 mengalami defisit sebesar 171 juta dollar AS. Defisit ini meningkat cukup tajam pada Februari 2013 menjadi 327 juta dollar AS, atau naik hampir dua kali lipat dari defisit bulan sebelumnya. Dengan demikian, total defisit neraca perdagangan untuk dua bulan pertama 2013 menjadi 498 juta dollar AS.
Penyebab utama meningkatnya defisit pada Februari 2013 ini karena kinerja perdagangan sektor Non-Migas semakin memburuk. Surplus Non-migas  semakin tergerus dan tidak dapat menutupi defisit sektor Migas pada dua bulan pertama tahun 2013 ini. Tahun 2012 surplus non-migas turun 21,3 miliar dollar AS, yaitu dari surplus 25,2 miliar dollar AS tahun 2011 menjadi surplus 3,9 miliar dollar AS tahun 2012.
Sektor Non-Migas sangat diharapkan dapat mengangkat perekonomian nasional, karena total kontribusi sektor Non-migas terhadap total ekspor lebih dari 80 persen. Namun, realisasi kinerja sektor non-migas tahun 2013 masih jauh dari harapan. Surplus Non-Migas pada bulan Februari 2013 turun lagi, dari 1,255 miliar dollar AS pada Januari 2013 menjadi 778 juta dollar AS pada Februari 2013 (lihat tabel 1), atau turun 477 juta dollar AS. Sedangkan di sektor Migas, defisit neraca perdagangan Februari 2013 sedikit membaik. Defisit Januari 2013 sebesar 1,426 miliar dollar AS sedangkan defisit Februari 2013 turun menjadi 1,105 miliar dollar AS, atau turun 321 juta dollar AS.



Harga BBM dan Tingkat Konsumsi: Tidak Ada Korelasi
Tetapi, pemerintah membaca defisit neraca perdagangan ini dari sudut pandang yang lain. Pemerintah menyoroti, defisit sektor Migas, dalam hal ini BBM, merupakan faktor utama meningkatnya defisit neraca perdagangan nasional.
Mereka berargumen bahwa defisit neraca perdagangan ini disebabkan karena terjadi defisit di sektor BBM yang semakin besar, yang dipicu oleh meningkatnya konsumsi BBM dalam negeri, yang disebabkan karena harga BBM yang sangat murah akibat disubsidi. Oleh karena itu, salah satu solusi yang diwacanakan untuk mengatasi permasalahan defisit neraca perdagangan ini adalah menaikkan harga BBM bersubsidi sehingga dapat meredam konsumsi BBM, sehingga dapat menurunkan impor BBM, sehingga dapat mengurangi defisit neraca perdagangan BBM dan nasional.
Ada dua hal yang harus dikritisi dari alur pikiran di atas. Pertama, jumlah impor BBM lebih dipengaruhi oleh jumlah produksi minyak dalam negeri: jumlah produksi lebih fluktuatif dari konsumsi. Meskipun konsumsi BBM dalam negeri turun, tetapi, apabila produksi minyak dalam negeri juga turun, dan turunnya lebih besar dari konsumsi BBM, maka impor BBM akan naik juga. Realisasi konsumsi BBM bersubsidi sampai akhir Februari 2013 ternyata masih di bawah kuota yang ditetapkan dalam APBN 2013 (lihat tabel 2). Januari 2013 konsumsi BBM bersubsidi 70 ribu kiloliter di bawah kuota bulanan, sedangkan Februari 2013 konsumsi BBM bersubsidi bahkan hampir 387 ribu kiloliter, atau lebih dari 10 persen, di bawah kuota bulanan. Berdasarkan fakta ini maka alasan defisit neraca perdagangan dipicu oleh lonjakan konsumsi BBM bersubsidi tidak terbukti, sehingga tidak ada alasan untuk mengatakan lonjakan konsumsi BBM bersubsidi menjadi penyebab defisit neraca perdagangan, karena ternyata tidak ada lonjakan sama sekali.

Di sisi lain, produksi minyak diperkirakan di bawah target yang ditetapkan sebesar 900.000 barel per hari. Produksi minyak diperkirakan paling tinggi 830.000 barel per hari, jadi jauh di bawah target. Penurunan produksi minyak ini harus dipenuhi dari impor sehingga memicu impor serta menambah defisit neraca perdagangan. Jadi, faktor produksi minyak sebenarnya jauh lebih dominan mempengaruhi defisit neraca perdagangan.
Kedua, dan lebih penting, berdasarkan data historis dapat diambil kesimpulan bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi tidak dapat meredam permintaan konsumsi BBM nasional. Oleh karena itu, kenaikan harga BBM ini tidak dapat mengurangi jumlah impor BBM, dan, dengan demikian, tidak dapat mengurangi defisit neraca perdagangan. Kenaikan harga BBM hanya akan berdampak pada neraca keuangan pemerintah, bukan neraca perdagangan. Oleh karena itu, kalau alasan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi adalah untuk menekan impor BBM serta defisit neraca perdagangan, maka alasan ini tidak dapat dibenarkan.
Mari kita simak data historis tersebut secara lebih detil. Pada tahun 2005 harga BBM bersubsidi dinaikkan sebanyak dua kali, yaitu pada tanggal 1 Maret 2005 dan 1 Oktober 2005. Namun demikian, defisit neraca perdagangan BBM (= minyak mentah dan hasil minyak) malah naik dari defisit 3,8 miliar dolar AS pada tahun 2004 menjadi defisit 7,3 miliar dolar AS pada tahun 2005 (Lihat tabel 3). (Pada tahun 2004, neraca perdagangan BBM sudah defisit (net importir), tetapi neraca perdagangan gas mengalami surplus sehingga total Migas masih surplus.)



Pada tanggal 24 mei 2008 pemerintah menaikkan lagi harga BBM bersubsidi. Tetapi, sekali lagi, defisit neraca perdagangan BBM tahun 2008 malah naik, dari defisit 9,7 miliar dollar AS pada tahun 2007 menjadi defisit 14,3 miliar dolar AS tahun 2008.

Sebaliknya meskipun harga BBM bersubsidi turun pada awal tahun 2009, tetapi neraca perdagangan BBM tahun 2009 malah membaik, yaitu dari defisit 14,3 miliar dolar AS pada tahun 2008 menjadi defisit 8,4 miliar dolar AS pada tahun 2009.
Berdasarkan uraian ini, maka dapat disimpulkan dengan jelas bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi tidak dapat mengurangi defisit neraca perdagangan BBM. Sebaliknya, penurunan harga BBM bersubsidi juga tidak membuat neraca perdagangan BBM menjadi lebih buruk. Fakta historis malah menunjukkan kebalikannya.
Hal ini sangat masuk akal karena BBM adalah barang yang masuk dalam kategori price inelastic. Artinya, perubahan harga BBM tidak mempengaruhi permintaan terhadap BBM. Harga BBM naik, permintaan tidak serta merta turun: semua kendaraan dan alat produksi harus tetap berjalan, berapa pun harga BBM-nya.
Oleh karena itu, menaikkan harga BBM bersubsidi bukan merupakan jalan keluar untuk mengatasi defisit neraca perdagangan Indonesia. Hanya ada dua cara untuk mengatasi permasalahan ini. Pertama, meningkatkan produksi minyak dalam negeri sehingga mengurangi impor BBM. Atau, kedua, meningkatkan daya saing produk-produk non-migas/industrial agar bisa bersaing dengan produk-produk asing baik di pasar internasional maupun di pasar dalam negeri. Coba kita perhatikan sekeliling kita dengan seksama, produk asing sudah menguasi pasar domestik, yang tentu saja mengakibatkan meningkatnya impor produk non-migas sehingga meningkatkan defisit neraca perdagangan semakin besar.

Comments

Popular posts from this blog

Ini Alasannya Mengapa Petani Menjadi Miskin Dalam Jangka Panjang

Realisasi dan Target Penerimaan Pajak 2015 dan 2016: tersandung di lubang yang sama?

BUMN dan Pemerintah: Mesin Utang Luar Negeri